KABUR

8.4K 312 9
                                    

Anjeli memberanikan diri menemui Romi yang beberapa hari tergolek lemah di tempat tidurnya. Bibi yang membantu di rumah Romi tidak bersedia mengatakan yang sebenarnya.

"Bi, apa bibi mau menemani saya melihat keadaan Romi?" tanya Anjeli yang pagi itu merasa benar-benar penasaran dengan keadaan Romi.

"Iya Non. Mas Romi pasti senang Non Anjeli mau menjenguknya."

"Terimakasih Bi." Anjeli dan Bibi berjalan beriringan menuju ke kamar Romi. Anjeli menunduk sambil memilin ujung jilbabnya. Tampak ragu, namun dia hanya ingin tahu keadaan Romi.

"Tok tok tok." Bibi itu mengetuk pintu kamar Romi.

"Masuk." Sayup-sayup terdengar suara dari dalam kamar. Yang menandakan Romi mengizinkan mereka untuk masuk.

Ceklek.. Bibi menarik handle pintu kamar. Dan nampaklah kamar yang begitu luas. Seluas kamarnya.

"Mas Romi, Non Anjeli ingin bertemu Mas Romi." Romi yang sedang berbaring di tempat tidur menoleh ke arah pintu kamar di mana Anjeli dan Bibi berdiri. Anjeli menatap sekilas wajah Romi yang tampak pucat. Dia terlihat lemah tidak seperti biasanya.

"Saya tinggal ya Non."

"Jangan Bik. Bibik di sini saja bersama kami. Anjeli pasti tidak mau hanya berdua denganku di sini." Sergah Romi yang membuat Anjeli mendongak. Romi tahu apa yang dia pikirkan.

"Iya Mas Romi," jawab si Bibi

"Duduk di sana Bik. Jangan berdiri di situ." Titah Romi pada Bibi agar mau duduk di sofa yang tersedia di sudut kamarnya. Kamar yang luas dengan warna monochrom yang mendominasi.

"Iya Mas Romi." Bibi duduk di sofa, sedangkan Anjeli berjalan mendekati Romi. Mengambil kursi kayu berwarna putih dan di letakkan di samping ranjang.

"Kamu baik-baik saja, Rom?"

"Seperti yang kamu lihat. Tapi tidak usah khawatir. Aku akan baik-baik saja. Kamu tidak perlu cemas seperti itu. Lihat wajahmu kelihatan sedih begitu." Romi sedikit menggoda Anjeli. Ya dia selalu menghibur dirinya dengan bersikap percaya diri kalau Anjeli juga mencintainya. Walau ia tahu, hal itu tak akan pernah terjadi.

"Sakit saja masih sok ke PD an ya kamu. Siapa juga yang cemas sama kamu. Kalau kamu sakit, siapa yang akan mengantarkan aku bertemu Mas Mirza? hanya itu koq." Anjeli memalingkan wajahnya. Seolah benar-benar tak peduli dengan keadaan Romi.

"Hahaha.. Kamu ini bisa saja An. Tenang saja. Aku akan mengantarmu menemui Mirza dua tahun, lima bulan dua puluh hari lagi."

"Memangnya kamu menghitung setiap hari yang aku lewati?"

"Iya-- itu lihat saja kalender mejaku. Bahkan aku sudah memesan kalender tiga tahun. Karena setiap hari yang aku habiskan bersamamu itu sangat berarti An." wajah Romi berubah mendung.

"Tapi aku ini istri orang Rom."

"Aku tidak peduli. Seperti halnya takdir yang tidak pernah berpihak padaku."

"Kenapa ngomong seperti itu?"

"Kamu tidak tahu apa yang aku rasakan, An. Sudahlah. Kalau kamu ke sini hanya membicarakan hal itu, lebih baik aku tidur saja. Aku kira kamu benar-benar mencemaskan aku."

"Rom.."

"Hemm..Kenapa manggil-manggil. Jangan sok perhatian." Romi memiringkan badannya memunggungi Anjeli.

"Sebenarnya kamu sakit apa sih Rom? Apa ini ada hubungungannya dengan waktu tiga tahun?" Anjeli merasa iba dengan Romi yang sepertinya keadaannya tidak baik.

"Sudah sana kembali ke kamarmu, An. Kita bukan pasangan halal. Jadi jangan berlama-lama di kamarku." Romi enggan menjawab. Dia justru menggoda Anjeli agar perempuan itu mau pergi dari kamarnya.

(TAMAT) SINCERITY OF LOVEWhere stories live. Discover now