027 - slowly, they'll find out

47 8 0
                                    

Mengapa sakitnya begitu terasa?.
Ku rasa, aku telah melabuhkan hatiku kepada Nanda.
Apakah perasaanku hanyalah semu?.
Jika iya, mengapa Tuhan selalu membolak-balikkan hatiku?.
Apa sekarang sungguh, hatiku hanya terpatri pada Nathan?.

Sang puan kini memeluk kedua lututnya, ia kembali mengurung diri dalam intuisi. Matanya berpendar, seakan-akan dunia ini berputar seratus delapan puluh derajat.

Ia benar-benar tak paham dengan perasaannya sendiri. Jika ia sudah memantapkan diri untuk terjatuh dalam rengkuhan hangat tubuh Nanda, alih-alih Nathan yang selalu menghalangi.
Entahlah, memang Nathan yang menghalangi atau memang ia yang menolak. Hatinya masih bimbang mencari tempat pelabuhan.

Gadis itu beralih untuk meraih ponselnya, bertepatan pada saat itu kilat bergemuruh menyertai. Tiba-tiba Shinta berpikir untuk segera menelpon Nanda.

Tak di angkat. Kali ke tiga, masih tak ada yang menerima sambungan teleponnya. Entah kemana pemuda itu, apakah raganya masih berkelana pada jam yang sudah menunjukkan tepat pukul tengah malam?.

Tinggg!!!

Kak Nanda:'

Iya kenapa Shin?

Engga, aku cuma khawatir
aja, udah lama kakak hilang.

Aku baru juga
mau tidur. Aku tidur y.

Sebuah pesan yang singkat, tetapi sukses membuat kekhawatiran Shinta berkurang. Tetapi ada yang aneh, dari percakapan mereka terutama Nanda.
Shinta memutuskan untuk mengabaikannya, kemudian mulai memasuki alam mimpinya.

***

Mentari tampak lebih cerah dari biasanya, tetapi sang puan tampak tak menikmati harinya. Shinta melangkah sangat lambat, seperti tak ada semangat hidup. Shinta sangat ingin segera sampai di sekolah, tetapi apa dayanya harus menunggu sang adik yang masih berkemas-kemas mengingat ia akan kembali menuntut ilmu di luar negeri.

Gadis itu berdecak kesal, suasana hatinya sangat kacau. Tetapi ia harus menahan dirinya agar tak mudah tersulut emosi.

Setelah sekian lama ia terdiam di belakang jok motor, Shinta segera menuruni motor yang di kendarai adik bungsunya. Tanpa memberi beberapa kalimat kata, gadis itu berjalan sedikit sempoyongan menuju lorong sekolah.
Sementara Rama hanya menggeleng heran dengan kelakuan sang kakak, yang ia anggap budak cinta itu.

Shinta menghela napasnya kasar, kemudian sempat terkejut ketika Aryan menepuk pundaknya dari belakang. Lelaki itu tampak seperti biasa dengan tampang konyol dan cerianya, alih-alih memiliki beban justru ialah yang menjadi beban keluarga. Shinta berpikir keras, bagaimana cara lelaki itu menjalani hidupnya tanpa beban?.

"Sedih amat buk, belum tau aja lo, di lain tempat ada yang diam-diam mikirin lo terus.." ucap Aryan tanpa bisa membuat Shinta melontarkan beberapa kalimat untuknya. Gadis itu terlalu lelah, mengingat jam tidurnya yang semakin tak teratur.

Tepat saat Shinta terduduk di bangkunya, lantas ia menenggelamkan wajahnya pada tumpukan tangan. Jelas terlihat, ketika raut wajahnya menandakan bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.

Syera yang sedari tadi sibuk piket, kini beralih menatap Aryan setelah ia sedikit tak paham dengan kondisi yang menimpa Shinta.

Aryan mengedikkan kedua bahunya, tanda tak paham. Lelaki itu memilih keluar kelas untuk sesekali bersilahturahmi pada guru-guru yang menyimpan banyak kekesalan padanya.

Lelaki itu merogoh ponselnya yang semula berada di saku celananya. "Kenapa bang?," tanya Aryan dengan seseorang di seberang sana.

"Hah, gila. Lo masih drop banget bro, biar Shinta jadi urusan gue nanti. Gue gak mau bantu lagi buat jawab chat lo kemarin sama Shinta." pungkasnya kemudian memutuskan panggilannya dari Nanda.

"Itu kak Nanda?, dia sakit?." tanya Syera yang membuat Aryan terkejut bukan main. Sejak kapan temannya itu berada di belakangnya?. Aryan memutuskan untuk membawa Syera ke tempat yang lebih aman.

Mungkin memang saatnya, satu persatu akan tahu rahasia ini.

***

Masih dengan suasana hati yang semakin memburuk, Shinta dengan malas melangkahkan kedua kakinya menuju pagar sekolah. Tetapi ada dua orang yang membuatnya kembali berpikiran campur aduk, Nanda dan Nathan.

"SHINTA!." teriak Nanda dan Nathan secara bersamaan, lalu mereka saling adu tatap dalam jarak dua meter. Ada aura mencekam di antara kedua lelaki itu. Shinta memilih untuk membaca Nanda menjauh, agar tak ada acara baku hantam di saat suasana hatinya tengah kacau.

Nanda tersenyum manis, menampakkan dua lesung pipinya. Manis, lelaki yang sangat Shinta rindukan. "Kakak niat sekolah gak sih?!." teriak Shinta membuat Nanda harus menutup kedua telinganya.

"Maaf, gue harus bolak-balik karena ada kepentingan di sana.."

Shinta menatap sinis kakak tingkatnya itu. "Kakak bohong. Kakak sakit kan?.."

Nanda terdiam seperti batu, ia tak mampu berkata apapun lagi. Shinta mengetahui penyakitnya?

"Udah aku bilangin, jangan keluyuran terus. Jadi sakit kan, pucet lagi.." lanjut gadis itu membuat Nanda sedikit bernapas lega. Lelaki itu tersenyum kaku kemudian mengangguk. "Ayo pulang, gue anter."

Shinta mengangguk, kemudian kembali bertanya. "Gak ngemilin beku lagi?."

"Enggak lagi, gue mau berjuang." jawab Nanda seraya memasangkan sebuah helm pada gadisnya.

Dear My Best [✔️]Where stories live. Discover now