Bab 1 | Tentang Waktu

16.3K 1K 66
                                    

Plak!

Badannya limbung merasakan kerasnya lantai, tamparan yang ia terima tidak biasa, lidahnya bisa mengecap rasa asin darah dari sudut bibirnya, bibir tipisnya itu terkoyak lagi. Luka yang minggu lalu di bibirnya sudah mulai mengering, tapi tercipta goresan baru disana. Remaja itu hanya diam tanpa berargumen, ia sudah tau rasanya memang percuma, jika ia memberikan alasan atas keterlambatannya pagi ini.

"Siapa suruh bangun telat?! Nyusahin orang aja! Saya dan Harris itu harus sarapan, malah nggak disiapin! Mikir nggak sih?! Sudah mulai bodoh ya?!"

Duakh!

"Ergh...." Lirihan itu tercekat, saat sepatu ratusan juta Ayahnya mendarat sempurna di perutnya. Tendangan itu juga membuat baju seragamnya semakin kusut. Wajah kesakitannya ia sembunyikan di balik rambut hitam kelamnya, tangan kurusnya mencengkram bagian yang menjadi korban sarapan menyakitkan pagi ini.

"Harris! Ayo berangkat! Kita sarapan di kantor, anak ini nggak bisa diandalkan." Itu suara sang Ayah lagi, terdengar tegas di telinga Ardan, menciptakan getaran ketakutan dari tubuhnya setiap mendengar suara itu.

"Memang anak ini gak berguna kali, Yah." Sahutan yang terdengar mengejek itu menambah luka batin Ardan. Tapi tidak apa, itu sudah makanan sehari-hari, tidak akan mempan baginya jika hanya perkataan menghina itu.

Setelah Kakak dan Ayahnya pergi, remaja enam belas tahun itu masih berusaha bangkit dari posisinya. Sudah terlambat bangun dan tidak menyiapkan sarapan, kali ini ia tidak boleh terlambat ke sekolah. Jujur saja, ia masih mengaharapkan tidak lagi dijemur di tengah teriknya matahari saat upacara sudah dimulai, tapi ia baru datang.

Ardan mengayuh sepedanya sekuat tenaganya yang tersisa, berharap bisa menaikkan kecepatan lebih. Sayangnya, rasa nyeri didominasi perih di perutnya itu tidak bisa membuat kayuhan kakinya lebih cepat. Gerbang sekolah yang tinggal dua meter lagi, jadi terasa bagai 2 mil lagi. "Ayo cepat!" kata Ardan menyemangati dirinya sendiri. Hingga, akhirnya jarak yang bagai 2 mil itu bisa ia capai, meskipun tinggal sedikit celah yang masih terbuka dari gerbang itu.

"Buka dikit ya, Pak...." mohon Ardan dengan cengiran yang manis, bisalah untuk membujuk Pak Agus, si Guru sejarah yang hari ini tengah berjaga di depan gerbang, dengan kumis melintang di bawah hidungnya itu, menambah kesan tegas dan jangan lupakan istilah 'guru killer' menempel pada pria paruh baya di hadapan Ardan ini.

Pak Agus menghela nafasnya sabar, sebenarnya ia tak tega melihat Ardan dengan wajah pucat, nafas terengah, dan badan basah keringat begitu. Masalahnya, mau bagaimanapun ini tetap peraturan sekolah, "emangnya kamu gak bisa bangun lebih pagi, Dan?"

Ardan tersenyum kikuk ketika mendengar pertanyaan itu, "Kemarin Saya lupa ada tugas dari Bapak, jadi Saya kerjain sampe udah mau pagi deh, Pak. Maaf ya, Pak" Ardan menutupinya dengan begitu rapih, cengiran khasnya itu yang membuat semua orang percaya dia hanyalah anak remaja polos dengan kepribadian yang baik.

"Terserah alasan kamu itu apa, pelajaran pertama sampai istirahat kamu berdiri menghadap tiang bendera, paham?" ujar Pak Agus, nadanya tegas namun tidak galak dan kasar seperti seseorang yang memarahi Ardan pagi ini. Pak Agus malah terdengar pasrah, karena hatinya sudah terlanjur kasihan dengan muridnya ini.

"Udah biasa, Pak. Saya masuk ya, Pak! Makasih Pak Agus yang ganteng!" seru Ardan sambil mendorong sepedanya masuk ke dalam halaman sekolah, ia memarkirnya, kemudian kakinya itu sudah siap berdiri tegak selama tiga jam pelajaran Pak Agus. Melihat antusiasnya si Anak Murid, Pak Guru itu hanya menggelengkan kepalanya.

Ardan masih memandangi tiang bendera di hadapannya, bel jam kedua sudah berkumandang, ia hanya harus sedikit lebih bersabar. Suara-suara ribut yang tadinya disebabkan oleh murid-murid, kini sudah berganti dengan ocehan atau biasanya penjelasan pelajaran dari guru-guru yang suaranya bisa sampai ke gerbang sekolah, menggelegar hebatnya.

Ardan [TERBIT]Where stories live. Discover now