Bab 4 | Ardan Sakit

11K 832 59
                                    

"kamu sering pusing dari kapan?"

"Nggak tau, mungkin sebulan yang lalu" Kepala Ardan miring sedikit, menunjukkan dirinya tengah sedikit berpikir dan mengingat. Ardan juga mulai membayangkan bagaimana hasil tes darahnya, apakah penyakit yang ada di dalam tubuhnya begitu parah?

"Kalau mimisan?"

"Baru-baru ini"

Dokter Syakir menghela nafasnya lagi, dia hanya ingin memastikan apakah hasilnya itu tepat atau tidak, rasanya terlalu kejam bila langsung melontarkan pernyataan tentang hasil tes itu, "bagaimana dengan nyeri di sekitar tulang atau persendian?"

Ardan mengernyit, pikirannya kemudian mengingat kejadian beberapa malam sebelum ini, dimana setiap dia ingin tidur, terlalu lama duduk, "iya, mungkin. Aku tidak terlalu peduli yang itu"

Syakir menyerahkan sebuah amplop berlogo rumah sakit pada Ardan, secara tidak langsung meminta Ardan untuk membaca hasilnya sendiri. Saat itu, Ardan merasa begitu takut, segala macam kemungkinan bisa saja terjadi di tubuhnya, entah itu baik, buruk, atau akan membuatnya hancur. Dilihat dari ekspresi wajah dokternya yang tidak sedikitpun mengisyaratkan bahwa kondisinya akan baik-baik saja, memunculkan perasaan tidak enak dalam hatinya.

Ardan membaca hasil tes darahnya itu dengan cermat, giginya menggigit bibir pucatnya ketika sudah terbaca bagian inti dari surat resmi itu. Ardan tak ingin menangis, meski nantinya ia akan tau jika ia akan mati dalam waktu dekat. Kemudian, suara Syakir kembali menginterupsi telinga Ardan, remaja itu menoleh, dan seketika itu Ardan seperti dibungkam paksa oleh suara-suara ayahnya yang terngiang di kepalanya.

"Ada banyak memar di tubuhmu, siapa yang melakukannya?"

"Aku terjatuh" jawab Ardan asal, pandangannya ia palingkan ke arah lain, intinya tidak ingin Syakir memandang wajahnya yang tengah berbohong itu.

"Ardan, kalo kamu bisa cerita denganku, cerita aja. Kenapa harus takut dengan orang yang memukulmu?"

"Berapa lama lagi umurku?" Alih-alih menjawab, Ardan malah berbalik bertanya, mengalihkan topik pembicaraan yang mungkin akan membuatnya lebih banyak lagi berbohong.

"Kenapa menanyakan itu? Kau masih muda, lagipun penyakitnya masih stadium awal, masih bisa sembuh"

"Kenapa memberiku harapan? Dokter, aku memang sakit, tapi aku tidak bodoh, leukimia itu kan sejenis kanker, dan sedikit sekali orang yang bisa sembuh dari kanker, mungkin satu dari seribu orang"

"Ardan....kamu mau menjadi satu dari seribu orang itu?"































Brak!

Tubuh ringkih itu dihempaskan kasar ke lantai dingin berdebu. Sakit dan perih kembali bercampur dalam persendiannya, fakta bahwa tubuhnya mungkin akan lebih mudah berdarah, membuatnya tak lagi heran jika nanti ada rasa sakit lebih dalam jangka waktu yang lama. Ardan menggigit bibir pucatnya, menahan segala ringisan yang akan membuatnya makin disiksa.

"Kau tau, kau itu tidak berguna kan? Kau menghabiskan banyak uangku di rumah sakit itu." Ardan menatap wajah ayahnya yang menyeringai, tak ada gurat sayang di mata sang Ayah. Menyakitkan memang, tapi rasa terbiasa itulah yang mengubur dalam rasa sakitnya.

Sret.

"Ini balasan karena kau sudah menghabiskan uangku" Mata Ardan membulat sempurna, ketika ia melihat sabuk ayahnya sudah terlepas dari tempatnya. Kemudian, tangan Rakha yang sudah diayunkan. Ardan memejamkan matanya, saat sabuk berbahan kulit itu menyambuk kasar punggung kurusnya. Rahang Ardan mengeras, akibat terus menahan ringisan dan sakit yang dirasakannya dari cambukan berkali-kali itu.

Ardan [TERBIT]Where stories live. Discover now