Bab 5 | Haram

8.8K 792 26
                                    

"Pak Harris, ada wanita yang menunggu bapak" Suara seorang wanita terdengar lembut di telinga Harris ketika mengangkat telfon yang terhubung di seluruh divisi kantor. Kening Harris berkerut mendengar berita itu, seorang wanita? Siapa yang ingin menemuinya di kantor? Seingatnya, ia belum mempunyai kekasih atau taksiran perempuan.

"Siapa? Kalau hanya sales, bilang saya sedang si--"

"Harris, ini Bunda. Kita bisa bicara sebentar saja?" Suara itu, sudah lama sekali Harris tak mendengarnya, masih sangat ia ingat suara itu, suara yang biasanya selalu menemani dalam tidurnya, suara yang ia dengar saat dibacakan dongeng sebelum tidur. Harris sangat merindukannya.

Setelah lama melamun, Harris akhirnya membuat perjanjian dengan wanita yang tak lain adalah ibunya sendiri. Ia dan ibunya akan bertemu di sebuah cafe yang dibangun di depan kantornya. Sedikit asupan americano mungkin bisa sedikit mencairkan suasana yang terlalu canggung. Harris dengan segala rasa rindunya, dan Hanum dengan berjuta rasa bersalahnya.

.

.

.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

.

.

.

"Heh....bangun!" Kaki jenjang itu menggoyangkan kasar kepala Ardan yang tergeletak lemah di lantai. Entah tertidur atau mungkin pingsan remaja itu semalam. Intinya, ia cukup bersyukur masih diberi kesempatan untuk lari dari semua rasa sakitnya, meskipun harus menerimanya lagi.

Mata Ardan membuka perlahan, berusaha menangkap banyak cahaya yang masuk. Pandangannya sedikit memburam untuk beberapa detik pertama, tapi tak lama normal kembali tepat saat matanya tertuju pada raut wajah tak suka dari ayahnya. Ardan masih terbaring di lantai, tak sanggup untuk sekedar menggeser punggungnya, seluruh tulangnya mungkin sudah patah, entahlah ia sendiri masih tidak yakin, tapi rasanya sakit dan perih bercampur, ditambah sensasi nyeri yang tak ingin pergi.

Sret!

Rahang Ardan dicengkeram, dipaksa mendongak, menatap Tuan Besarnya. Mata Ardan terlihat begitu sayu, bahkan dari sisi manapun ia tidak bisa dikatakan baik-baik saja. "Aku gak pernah sudi punya anak sepertimu, sialan!" Setelah kalimat sinis itu terlontar, cengkraman tangan Rakha juga terlepas dengan kasar. Ardan kembali tersungkur, kini tangannya mencengkram erat perutnya yang mulai terasa nyeri.

Ardan padahal berharap jika Rakha setidaknya membawakan makanan sisa untuknya, tapi harapan sekecil itu saja tidak akan pernah terjadi baginya. Semenit kemudian, Ardan merasakan perutnya seperti akan mengeluarkan sesuatu yang langsung naik ke bagian kerongkongannya, anak itu mual, ingin memuntahkan sesuatu, tapi tidak ada. Ardan sama sekali belum mebgonsumsi apapun pagi ini, jadilah ia hanya merasa mual dan sakit di perutnya, tanpa bisa mengeluarkan penyebab sakit itu.

Ardan [TERBIT]Where stories live. Discover now