Bab 7 | Semakin Terasa

7.7K 738 40
                                    

"Bun! Aku mau ayam gorengnya!" Harris bersorak manja pada ibunya, sebut saja dia memang terlalu kekanakan di umurnya yang terlalu tua itu. Tapi apa itu masalah bagi Hanum? Tidak! Sangat amat tidak mungkin! Malah, Hanum sangat senang melakukan itu, kepada anak kesayangannya.

"Makan yang banyak yaa....anak Bunda" ucap Hanum sambil mengelus pelan surai Harris dengan senyuman indahnya. Begitupun perlakuannya pada Rakha, sudah kembali kemesraan di antara keduanya. Kebahagiaan kembali berpihak pada keluarga kecil ini.

Dibalik setiap kebahagiaan, pasti ada sisi buruk yang selalu mengikutinya, entah itu di sisi yang sama, atau di sisi yang lain. Ardan masih berdiri di dapur, memandang sendu tawa dan senyuman indah yang terpancar pada keluarga bahagia di hadapannya. Tapi, tidak lama, karena penyakitnya itu mulai mengambil alih. Pandangannya memburam, pening menjalar kuat di kepalanya, tangannya ia buat mencengkram sisi meja dapur agar tubuhnya tidak tumbang sembarangan, ini bukan rumahnya, disini ia hanya menumpang, maka ia tidak boleh merepotkan.

Tubuh Ardan merosot, ia sandarkan punggungnya di meja dapur sepenuhnya. Binar di maniknya sudah mulai meredup, matanya memejam sekedar menahan sakit yang menyiksa tubuh ringkihnya. Bahkan, mati-matian Ardan tidak menghiraukan perih di punggungnya, ketika tubuhnya tak punya lagi bahan untuk bersandar.

"Sakit....Ya Alloh.....sakit...."

Setidaknya, masih ada tempatnya mengadu. Disaat tidak ada sosok Ayah tempatnya berlindung. Disaat tidak ada sosok Ibu sebagai tempatnya menemukan secercah kasih sayang. Ardan diam, meresapi rasa sakit yang menyerang tubuhnya, dalam hatinya ia sudah merapal puluhan kalimat do'a agar setidaknya Tuhan memberikannya yang terbaik, sekalipun ia harus meninggalkan dunia ini.

.

.

.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

.

.

.

Baru saja bangun pagi, rasa mual dari perutnya tiba-tiba naik ke bagian kerongkongannya, membuatnya langsung berlari menuju kamar mandi. Perutnya sakit sekali, cairan muntah yang keluar juga hanya cairan bening biasa yang tercampur dengan....

"Darah?"

Ardan langsung menekan tombol flash, matanya memejam dengan dahinya yang juga mengernyit sakit. Perut dan seluruh anggota tubuhnya sakit disertai lemas yang tak tertahankan. Kembali ia sandarkan tubuh ringkih itu di dinding kamar mandi, sebenarnya itu juga bagian dari caranya untuk mengembalikan energi tubuhnya yang telah menghilang. Ardan tidak pernah lupa kewajibannya untuk melayani keluarga itu, keluarga yang telah menampungnya disini.

Setelah setengah jam berkutat pada rasa sakit, Ardan mulai membuka mata sayunya, perlahan bangkit dari posisinya sebelum ia mati kedinginan di kamar mandi. Ardan melangkahkan kakinya perlahan, mempersiapkan diri untuk hari ini. Masak, membereskan rumah, sekolah, mengerjakan tugas sekolah, belum lagi mencuci baju dari semua anggota keluarga disini. Bi Yani hanya bertugas bersih-bersih halaman depan dan loteng, setelah itu ia diperbolehkan pulang, karena sisanya sudah menjadi tanggung jawab Ardan.

Ardan [TERBIT]Where stories live. Discover now