Tiga Puluh

3.5K 512 152
                                    

"Gav? Kamu sehat?" Marshella menyentuh kening Gavin seakan merasa bahwa kata-kata Gavin adalah racauan iseng.

"Marshella," Gavin memegang tangan Marshella, menyingkirkan dari keningnya, lalu menggenggam tangan itu erat. "Aku serius."

"Eh?" Marshella tidak percaya. "Kamu jangan gampang ngomong sayang dong. Kamu kan baru putus dari Eliza. Aku bisa ngira kamu cuma jadikan aku pelarian."

Marshella tertawa untuk menyembunyikan kegugupannya.

"Maaf," Gavin melepaskan tangan Marshella lalu menunduk. Marshella semakin kebingungan. "Maaf karena aku gak pernah bilang ini sejak lama. Seharusnya aku bilang ke kamu tanpa ragu-ragu. Tapi aku takut. Kita sudah terlalu dekat. Kita bahkan kenal dari waktu kita masih belum bisa ngomong. Aku gak mau kalau aku bilang, kamu malah pergi."

Marshella merasa seperti udara ditarik dari paru-parunya. Dia tidak bisa bernapas dan dia sangat ragu dengan apa yang didengarnya. Suara di kepalanya terus berkata bahwa ini tidak mungkin. Bahwa ini semua bohong. Gavin hanya mengatakan itu karena dia baru putus dari Eliza. Gavin pasti tidak serius.

Gavin tidak pernah mencintai Marshella.

Gavin tidak pernah menganggap Marshella lebih dari sekedar sahabat.

Gavin sedang mempermainkannya.

"Aku gak mau ya kalau kamu bercanda. Gak lucu sama sekali, Gav," Marshella menggeleng berkali-kali. Dia melipat kedua tangannya dan memandang Gavin dengan tatapan menyipit.

"Kamu nyangka aku bercanda?" Gavin tampak terpukul.

"Kamu aktor, Gavin. Kamu memang jago akting. Aku bisa tahu dari mana kalau kamu jujur?"

"Aku gak akan bercanda hal sepenting ini sama kamu!" Gavin merasa sedikit tersinggung karena Marshella meragukannya.

"Bukannya sering sahabatan bercanda hal-hal yang gak biasa? Karena kita sama-sama tahu sifat satu sama lain. Jadi kamu pasti udah mikirin reaksi aku sebelum ngomong gitu."

"Marshella...." Gavin mendesah.

"Kamu sengaja ya bercanda kayak gitu buat ngehukum aku? Karena aku kabur dari rumah?"

"Marshella! Aku cemas setengah mati kamu kabur. Aku takut kamu terluka atau semacamnya. Mana sempet aku mikirin prank segala?!"

"Lalu kenapa kamu bilang I love you segala?"

"Ya because I mean it!"

Marshella masih menyipitkan matanya menatap Gavin. Sedetik dia merasa senang karena pria yang disukainya sejak dulu akhirnya mengatakan perasaan cintanya pada Marshella. Tapi Marshella tidak bodoh, dia harus memastikan bahwa Gavin jujur. Marshella tahu bahwa Gavin adalah tipe orang yang sesuka hati. Jangan sampai Marshella terperangkap dalam taktiknya.

"Aku janji sama diri aku sendiri," Gavin merogoh tas kecil yang dia bawa. "Untuk menyerahkan ini ke kamu kalau aku ketemu kamu lagi setelah kamu menghilang."

Gavin menyodorkan sebuah buku kecil yang tampak lusuh.

"Aku gak mau jadi kayak Om Arthur. Terlambat nyatakan perasaan ke sahabatnya sejak kecil."

Marshella termenung. Dia tidak pernah tahu bahwa Gavin menulis sebuah diary. Buku itu kecil, setengah ukuran A5. Di depannya ada tulisan "Gavin's" disertai tanda tangan Gavin yang masih amburadul. Lama kelamaan tanda tangan itu Gavin perbaiki dan dijadikan tanda tangan resminya. Tangan Marshella bergetar saat dia mengambil buku itu dan membalik halaman pertamanya.

Baru naik kelas 5. Yeay! Sebentar lagi kelas 6, baru deh SMP.  Mau minta SMP yang swasta aja biar gampang ijinnya, jadi bisa banyak syuting.
Ada yang cantik di kelas sebelah. Temen-temen cowok pada sibuk ngomongin dia. Tapi buat aku, yang cantik gak ada di sini. He he he.
<3 MAI.

Kilatan Kisah Kita - END (CETAK)Where stories live. Discover now