02

793 70 27
                                    

semua nama tokoh, tempat, organisasi, karakter, dan kejadian adalah fiksi/karangan penulis.

happy reading🍃

*****

Hari ini jadwalku padat sekali, fitting baju, menentukan desain undangan, dan menentukan honeymoon dimana. Yang terakhir itu sebenarnya tidak begitu penting menurutku, aku bahkan sudah bilang kepada Jeon urusan honeymoon bisa menyusul. Jeon dengan tegas, mengatakan honeymoon sangatlah penting.

Oh astaga, jadi dia mengincarku seperti ini hanya karna tubuhku begitu? Huh, dari dulu tidak pernah berubah. Ingin ku pukuli wajah tampan itu dengan panci ibu, biar hancur sekalian.

Aku sudah bersiap, tak lama Jeon dan supirnya datang. Aku berpamitan pada ibu, lalu memasuki mobil kesayangan Jeon. Aku duduk berjauhan dengan Jeon, bahkan aku tak meliriknya sedikitpun. Aku tidak terpikir akan se-rumit ini mempersiapkan pernikahan dengannya.

“Kau bermusuhan denganku? Mengapa jauh sekali, mendekatlah.” suruh Jeon, aku hanya melirik sekilas lalu membuka tas ku mengeluarkan ponsel. Aku mengabaikan suruhan Jeon.

Tiba tiba lenganku ditarik cukup kuat, hingga badanku bergeser ke sebelah Jeon. Bahkan jarak ini sangat dekat, aku membenarkan agar tak terlalu mepet. Lagian untuk apa sih mepet sekali, mobil ini luas.

“Aku tak suka diabaikan, Jin-ah. Letakkan ponselmu, aku ada disini.” Jeon berkata sambil menyandarkan kepalanya di pundakku, nadanya sangat manja seperti anak balita. Aku memutar bola mata malas.

“Belum menjadi suami sudah mengatur, aigu.” kataku, tapi tetap aku lakukan permintaannya. Bagaimanapun juga, Jeon sudah mulai melunasi hutang ibu. Belum semua, tapi setidaknya sudah tidak menumpuk lagi.

“Jin-ah,” panggil Jungkook, aku hanya bergumam. Biasanya juga langsung mengatakan, mengapa sekarang harus memanggil dulu?

“Bagaimana jika nanti kau dan aku sama sama nyaman? Haruskah aku membayarmu terus?” Jeon yanh bersandar padaku, mengarahkan kepalanya menatapku sambil bersandar.

Aku mengerutkan kening, maksudnya bagaimana? Mengapa dirinya sangat percaya diri aku akan nyaman dan mencintainya? “Mengapa kau sangat percaya diri aku akan mencintaimu?” tanyaku sinis.

Jeon menggeleng pelan dipundakku, “Aku tidak mengatakan begitu, Jin-ah. Tapi jika kau ingin begitu, maka lebih baik.” ucapnya, aku pun merutuki kebodohanku karna aku salah mengartikan ucapannya.

Jeon malah memelukku dari samping, badanku menegang. Bukan bagaimana, hanya saja terakhir aku skinship itu saat berpacaran dengannya juga. Jeon adalah mantan terakhirku, dan aku merasa geli saat tangan kekarnya melingkari pinggangku.

“Y-ya, jangan seperti ini.” ucapku, bergerak gelisah. Aku juga berusaha melepaskan pelukan Jeon, dia sangat erat memelukku. Seperti aku akan kabur saja.

“Wae? Kau terangsang?” Jeon berkata dengan santai, seolah kami hanya berdua. Tidakkah ia nenyadari sejak tadi supirnya melirik ke bagian belakang? Itu salah satu alasan aku menerima perlakuannya.

“Sehari saja, tidak berkata kotor. Sepertinya kau yang terangsang, Jeon-ssi.” ucapku, dan menyerah karna pelukannya tak kunjung lepas. Malah semakin erat.

“Dan tidak bisakah mata cantikmu itu tidak melirik adikku? Sepertinya kau sangat penasaran akan adikku, Jin-ah.” Jeon semakin melantur saja, dan mengapa butiknya jauh sekali?!

“Jeon-ssi, apakah tadi pagi kau meminum alkohol? Mengapa bicaramu melantur?” aku memutar bola mata malas, dan menghela nafas lelah. Jeon Jungkook memang bayi besar.

“Dan bisakah kau berhenti menggunakan panggilan itu? Kau ini calon istriku, bukan bawahanku. Panggil aku seperti dulu, aku bahkan memanggilmu seperti dulu juga.” Jeon mendengus, aku tidak menggunakan panggilan itu karna aku malas mengingat masa lalu. Kelam.

“Mulut ini milikku, terserahku jika aku ingin mengatakan apapun. Kau tidak memiliki hak.” sahutku menggunakan nada yang sinis, sifatnya benar benar tak berubah. Selalu mengatur.

“Sebentar lagi akan menjadi milikku, Jin-ah.” ucapnya kembali manja, oh tuhan anak ini inginku tenggelamkan saja di lautan.

*****

Ini sudah kali ketiga aku mencoba dress pengantinku, dan kali ketiga juga Jungkook menolaknya. Saat aku menyuruhnya memilih, ia mengatakan terserah. Saat sudah ku coba pilihan ku, ia menolaknya. Jeon Jungkook benar benar ingin ku botakkan kepalanya.

“Jeon, kau menolak pilihanku lagi. Maka aku akan memaksamu untuk memilih, kau fikir gampang mengganti setiap dress?” aku mengomel pada Jungkook, yang hanys menatapku dengan santai.

“Kau memakai lagi panggilan itu, sudah baik tadi kau menggantinya.” ia malah mengalihkan pembicaraan, aku hanya mendengus dan balik lagi bersama pegawai yang membantuku sedari tadi. Mengganti pilihan terakhir.

“Jin-ah, jika kau memanggilku seperti dulu. Aku akan memberikan kebebasan untuk gaun-mu!” teriak Jungkook, aku menghela nafas. Mengapa pria itu ter-obsesi untuk panggilan yang pernah ku berikan?

Aku tak menyahut, tapi aku juga lelah jika disuruh berganti terus. Sepertinya Jungkook bukan tidak suka atau tidak cocok, melainkan hanya menjailiku karna saat keluar dari mobil aku menggunakan panggilan formal lagi.

Baiklah, ku putuskan untuk menuruti permintaannya lagi. Aku memilih dress terakhir yang menurutku cocok, gaun berwarna putih selutut tanpa bahu, dengan bintik kecil berwarna emas dibagian dada. Membentuk V di pas belahan dadaku.

Aku keluar menggunakan dress simple ini, dan sepertinya Jungkook sengaja memunggungiku. “Bunny, bagaimana dengan ini?” aku menahan jijik sekaligus mual saat memanggil panggilan lamaku, Jungkook membalikkan badan sambil tersenyum cerah.

Jungkook berpura pura menilai gaunku, padahal sudah jelas ia menerima ini. “Hmm, ini bagus. Terlihat simple tapi elegan, baiklah. Bungkus yang ini. Tetap serasi kan, dengan pakaianku nanti?” Jungkook berkata sambil tersenyum senang, aku ingin menjitak kepalanya.

“Baik tuan, silahkan tunggu sebentar. Akan kami persiapkan.” aku kembali masuk ke ruang ganti bersama pegawai tadi, lalu menyerahkan gaun itu untuk dibeli. Aku kembali keluar setelah selesai berganti pakaian, menghampiri Jungkook yang duduk disofa.

Jungkook sibuk memainkan ponselnya, dan ponselku disita karna aku sibuk memainkan ponsel saat ia mencoba pakaiannya. Aku melihat lihat beberapa gaun, bukan untuk pernikahanku. Untuk acara acara formal, jika diundang temanku.

“Ingin beli lagi untuk acara pesta?” tanya Jungkook yang entah sejak kapan sudah mengikutiku, aku sedikit terkejut lalu berusaha biasa saja.

“Hmm, tidak. Aku sedang malas membeli gaun. Kapan kapan saja.” aku meninggalkan beberapa koleksi gaun yang tadi ku hampiri, Jungkook tetap disana. Aku duduk disofa yang diduduki Jungkook tadi.

Jungkook kembali dengan membawa tiga tas belanja, aku mengerutkan kening. Tiga? Bukankah harusnya dua? “Mengapa ada tiga kantong?” tanyaku langsung, sambil berdiri dan menghampiri.

“Aku membelikanmu gaun satu lagi, untuk acara formal yang akan kau hadiri setelah pernikahan bersamaku. Tidak mungkin kau memakai gaun pernikahan ke acaraku, atau gaun murahan yang kau punya. Kajja, supir sudah menunggu.” Jungkook berjalan terlebih dahulu meninggalkanku.

Hatiku tercubit mendengar kata 'murahan' dari bibirnya, ini salah satu faktor akj memutuskan Jungkook. Jungkook selalu berkata semaunya, tanpa memikirkan perasaan lawan bicaranya. Aku sering menunduk malu jika Jungkook kelepasan berbicara, dan dengan angkuhnya tak meminta maaf.

Aku malah menjadi musuh bagi teman temanku dulu, apalagi tau jika aku yang tidak dari keluarga berada, memacari Jungkook sang anak warisan keluarga Jeon yang memiliki perusahaan investor terbesar di Korea selatan. Banyak yang berfikir aku yang kegatelan, atau aku menggunakan ilmu hitam. Tapi itu semua tidak benar.

Aku ikut berjalan menyusul Jungkook, menarik nafas dan menghembuskannya.

Tidak apa, Ryujin-ah. Kau sudah hampir setahun bersamanya, setidaknya hatimu sudah kebal. Batinku.

*****

aku bakal pub langsung 3 chap, menurut kalian chap ke dua ini gimana? makasih buat yang menghargai dengan menekan tombol bintang dipojok kiri bawah.

gummy bear,
050420

Sincerity.Where stories live. Discover now