3. Aku Benci Ada Dia di antara Kita

686 110 125
                                    

"Aku benci ketika ada nama dia diantara kita. Aku benci ketika bibirku tak henti tersenyum saat bersamamu. Malam ini, malam kemarin. Kau ciptakan setiap jengkal kebahagiaan untuk hidupku"

- Langit Anastasia

Langit kembali memutuskan melanjutkan membaca buku harian bersampul biru ini. Dia masih berusaha mengingat separuh ingatannya yang hilang.

"Masa lalu yang selalu gue pertanyakan. Masa lalu, yang kini gue tau, itu tentang lo, Sebastian Samudra," kata Langit sembari membuka lembar ketiga buku hariannya.

****
19 Februari 2020
Aku jujur gak tau harus mulai dari mana menceritakannya. Rasanya malam ini aku benar-benar tidak memiliki harapan untuk sekedar bersamamu atau mencintaimu.

Kali ini, aku kembali menjadi seseorang yang menahan perasaan seorang diri. Setelah kemarin aku tau kamu memiliki pacar, hari ini aku melihat pesan dari pacarmu.

"Semangat kuliahnya ya, jangan terlalu capek ngerjain tugasnya sayang"

Tak sengaja aku melihat pesan itu di ponselmu ketika aku menghampirimu di kelas.

Tubuhku langsung membeku membaca pesan itu. Padahal, beberapa menit sebelumnya kita menertawakan hal aneh bersama.

Dalam sekejap aku merasa bahagia bisa dekat dengan kamu, tetapi semesta kemudian menghempaskannya. Apakah Langit dan Samudra memang tak diijinkan bersama?

Perempuan itu bernama Yuna, ya perempuan beruntung yang bisa merebut hatimu.

Andai aku mengenalmu lebih dulu daripada Yuna, andai aku bertemu lebih dulu denganmu, adakah kesempatan untuk menyentuh hatimu, Sam?

Pertemuan kita memang singkat, bahkan aku gak tau sejak kapan aku benar-benar menyukaimu.

Aku hanya bahagia berada di dekatmu, mencium aroma tubuhmu, semangat kuliah ketika aku bisa satu kelas dengan kamu.

Padahal, kita jarang berinteraksi. Beberapa kali kamu mengirim pesan untukku hanya untuk bertanya tugas kuliah. Aku bahagia setiap mengawali hari dengan membaca pesanmu.

"Langit, hari ini masuk? Ikut kelas Phonology?"

Kita memang menempuh beberapa kelas yang sama sebagai mahasiswa Sastra Inggris.

"Iya masuk"

"OK, sampai bertemu di kelas. Saya agak telat hari ini, titip catatan dulu ya"

Aku juga bahagia ketika membaca panggilan 'saya' untuk dirimu sendiri.

Semua kebahagian hari ini sirna ketika membaca pesan Yuna. Bahkan, tanpa sadar air mata membasahi pipiku. Aku merasa sedih, marah, tapi tak tau alasannya.

"Hei, kenapa lo nangis?," tanya Laras.

"Tadi, gue membaca pesan dari Yuna di hp dia"

Laras mengetahui perasaanku terhadap Samudra. Aku memang menceritakannya beberapa hari lalu.

"Terus lo nangis gara-gara pesan itu? Udah gila lo ya, mereka emang uda berpacaran. Lo gak bisa melakukan apapun"

"Gue tau itu. Tapi, siapa sih yang bisa mengendalikan perasaan yang sedang tumbuh?"

"Lo harus sadar dia memang gak suka sama lo. Lo suka dia karena hati lo lagi sepi aja"

"Gue gak mau bahas itu deh. Dia pergi kemana?"

"Tadi dia pergi buru-buru sih, kayaknya mau ngejar kelas lain di gedung sebelah"

"Kok tumben dia gak say goodbye ke gue?"

"Apa urusannya dia sampe harus say goodbye dulu?"

Perkataan Laras memang benar, aku tak pantas mengharapkannya, bahkan hanya mengharapkan kata-kata perpisahan sebelum meninggalkan kelas.

Aku hanya tau aku gak mau kamu bersama Yuna. Aku tak membenci Yuna, hanya saja aku membenci keadaan ini kala aku mencintaimu seorang diri dalam diam. Aku pun belum pernah bertemu Yuna.

20 Februari 2020
Hai Samudra, apa kabar hari ini? Bagaimana harimu? Tadi aku menguping pembicaraan antara kamu dan Lintang di kelas, semalam kamu kehujanan. Bagaimana kondisimu?

"Gila, semalam gue kehujanan setelah ikut kelas Pak Jo. Gue neduh di gedung sebelah sampai jam 11 malam"

Hari ini, kita juga memiliki waktu cukup lama untuk bersama. Semesta sepertinya sedang berada di pihakku. Aku bisa duduk tepat di sampingmu, seperti itu saja aku bahagia.

"Lo suka nonton di Netflix ya?" ketika kamu membuka pembicaraan denganku hari ini.

"Sesekali sih untuk mengusir bosan. Lo juga suka film Netflix?"

"Engga sih, gak suka nonton film. Eh, tapi lo suka The Irish Man?"

"Suka, memangnya kenapa?"

"Mungkin karena bukan penggemar film ya, gue merasa bosan aja gitu nonton itu"

Kali ini kamu memanggil dirimu dengan panggilan 'gue'. Sepertinya kamu merasa gak ada rasa canggung lagi ngobrol denganku.

"Coba aja mulai nonton film lain yang sesuai genre lo suka"

"Ah uda jam 5 sore ya, gue harus pergi nih"

Kali ini, sebelum kamu pergi, kamu masih sempat menjabat tanganku sebagai tanda perpisahan. Tapi, kenapa kamu jalan kaki menuju kafe kampus? Atau kamu mau pergi ke tempat lain? Kenapa kamu gak mengendarai mobilmu?

Apakah kamu mau menghampiri Yuna? Ataukah kalian telah berjanji bertemu di suatu tempat?

Ah setidaknya hari ini aku bisa menatap wajahmu. Hari ini aku juga diam-diam mengabadikan dirimu dalam sebuah foto. Semoga harimu bahagia, Samudra.

****
Langit menutup kembali buku hariannya. Sekali lagi, dia termenung setelah membaca kisah cintanya sendiri.

Dia seolah tak percaya tentang kisah hidupnya di masa lalu. Dirinya terlalu mencintai Samudra saat itu.

"Gue mengabadikan foto Samudra?" Langit bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

Dia langsung mengecek ponselnya, ternyata memang ada sebuah folder foto yang terkunci.

Dia baru menyadari itu. Dia berusah membuka folder foto itu, tapi dia tak mengingat passwordnya.

"Apakah gue benar-benar mencintai Samudra di masa lalu? Lalu, kenapa Samudra menjauhi gue sekarang?"

The Unspoken Words of Langit and Samudra [PUBLISHED|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang