Secret Mission for Love -2

5.8K 483 9
                                    

Kalau ada typo boleh coment dibawah ya, aku nggak sempat edit 😁

Jangan lupa follow dulu sebelum baca, biar kalian tahu notif kalau aku update dan kita semakin kenal 😉

Selamat Membaca
🍄🍄🍄

Duka dan kesedihan itu masih dirasakan Nara hingga saat ini, walaupun sudah 1 tahun berlalu sejak kematian suaminya. Nara masih tetap bisa merasakan kesepian dan kosong yang mendera hatinya. Untuk cinta Nara memang masih ragu, namun untuk rasa sayang Nara sudah bisa memastikan kalau dirinya memang benar-benar menyayangi laki-laki yang telah menghalalkannya itu.

Ketika siang saat banyak orang yang menemaninya sepi itu sedikit terobati, tapi ketika malam saat sang surya telah menyembunyikan sinarnya dan dirinya sedang sendiri hanya dengan Kenzie yang menemani, sepi itu terasa menggerogoti hati. Kadang bila malam tiba Nara akan menangis apabila teringat kenangannya dengan sang suami. Nara seakan terpasung di masa lalu dalam rasa penyesalan yang dalam terhadap mendiang suaminya.

Mata lentik itu mulai mengerjap pelan ketika mendengar suara tangisan bayi. Mata itu kemudian menoleh ke sampingnya dan menemukan seorang balita tampan yang tengah duduk sambil menangis.

Ah jagoan ku bangun.

Pemilik mata indah yang tak lain adalah Nara, segera mendudukkan dirinya sambil tersenyum kearah putranya yang saat ini sudah berusia satu tahun lebih. Kenzie tumbuh menjadi anak yang sehat dan aktif.

“Hai jagoan Bunda sudah bangun hm?” Tanya Nara sambil mengangkat Kenzie ke atas pangkuan nya. Putranya itu sangat lucu dan menggemaskan, hanya Kenzie yang bisa mengubah hari Nara yang suram menjadi cerah.

“Ah ... popoknya sudah penuh ya sayang? Kenzie mandi sekalian aja ya nak biar ganteng dan wangi.” Dengan perlahan Nara segera menggendong tubuh gembul Kenzie menuju kamar mandi untuk memandikannya.

“Ih ... anak Bunda ganteng banget deh, sekarang sama eyang dulu ya Bunda mau mandi soalnya,” ucap Nara setelah memandikan Kenzie dan mendandaninya. Nara menggendong Kenzie menuju dapur untuk mencari Bundanya.

Setelah kematian suaminya, Nara memang memutuskan untuk tinggal kembali dengan kedua orang tuanya. Selain agar Kenzie ada yang merawat ketika dirinya bekerja, Nara juga tidak ingin selalu terbayang almarhumah suaminya jika menempati rumahnya sendiri. Karena demi Tuhan, di setiap sudut rumahnya ada kenangan indah diantara dirinya dan sang suami yang berhasil membuat air mata Nara menganak sungai bila mengingatnya.

Saat ini rumah itu dibiarkan kosong, namun Nara tetap membayar orang untuk membersihkannya setiap minggu. Jadi meskipun tidak ditempati rumah itu masih tetap terawat hingga saat ini. 

Saat kematian Hendra, Nara cuti hampir satu bulan penuh karena terlalu syok dan belum siap menerima keadaan, bahwa di usianya yang baru 24 tahun dirinya sudah harus menjadi janda dengan satu anak. Miris memang, tapi inilah hidup yang harus Nara jalani. Untungnya bos besar di kantornya memaklumi dan tidak memecat Nara yang seenak jidatnya tidak masuk kerja. Lelaki paruh baya dan istrinya yang seorang dokter itu begitu baik pada Nara. Nara sudah bekerja di perusahaan itu selama 3 tahun, bahkan sebelum dirinya menikah dan menjadi istri Hendra. Sebenarnya jikalau pun dirinya tidak bekerja, Nara masih mendapat uang pensiunan dari suaminya yang merupakan aparatur negara di Bea cukai. Tapi Nara tetap ingin bekerja, karena selain untuk mencari uang lebih guna masa depan Kenzie, juga agar dirinya punya kesibukan sehingga pikirannya teralih dari mendiang suaminya.

“Bun titip Kenzie, Nara mau mandi dulu soalnya.” Ucap Nara ketika menemukan bundanya sedang berkutat di dapur. Mendengar permintaan putrinya, Rima langsung meminta ART untuk melanjutkan  kegiatannya, sedangkan beliau langsung menggendong Kenzie. Bunda Nara adalah ibu rumah tangga biasa, sedangkan ayahnya seorang PNS yang mengabdi di dunia pendidikan sebagai Kepala Sekolah untuk Sekolah Menengah Atas.

Nara hanya memerlukan waktu sekitar 30 menit untuk membersihkan diri dan bersiap-siap. Nara memang tipikal wanita yang simple, yang tidak suka menghabiskan waktu berjam-jam didepan cermin hanya untuk melukis wajahnya dengan berbagai alat make up. Baginya dandan itu sebatas nya saja, karena dia lebih suka make up yang natural. Apalagi tempatnya bekerja saat ini lebih mengutamakan kecerdasan dari pada penampilan. Meskipun Nara juga tidak menampik jika jabatannya sebagai sekretaris CEO sebuah perusahaan besar, menuntutnya untuk selalu tampil rapi dan modis.

“Kamu sarapan dulu nak.” Tegur bundanya ketika melihat Nara berjalan menuju dapur dengan penampilan yang siap untuk bekerja.

“Nara bawa bekal aja bun, nanti kesiangan soalnya kalau harus sarapan dulu.” Ucap Nara sambil mengambil sebuah kotak bekal dan memasukkan nasi goreng buatan bundanya kedalam kotak itu. Setelah siap Nara langsung menghampiri Kenzie yang ada dalam gendongan neneknya.

“Anak Bunda nggak boleh nakal, jangan buat eyang repot. Bunda kerja dulu ya nak!” Pamit Nara pada putranya sambil menciumi pipi Kenzie yang gembul. Diusianya yang menginjak satu tahun Kenzie menjadi anak yang aktif dan cerdas. Dia bukan anak yang rewel dan banyak maunya. Bahkan dia sudah bisa mulai berjalan dan bicara walaupun masih menggunakan bahasa planet.

“Kamu dijemput Bima apa bawa kendaraan sendiri?” Tanya ibunya mengalihkan perhatian Nara dari Kenzie.

“Nara dijemput Bima Bun.” Seperti ucapannya dulu saat kematian kakaknya, Bima benar-benar menjadi sosok yang menggantikan peran Hendra yang akan selalu ada jika Nara maupun Kenzie membutuhkannya. Sering dia datang ke rumah untuk bermain dengan Kenzie atau mengantar dan menjemput Nara ketika berangkat ke kantor kalau dia tidak ada pekerjaan di luar. Sampai mama mertua dan orang tua Nara menyuruh kedua orang itu untuk bersatu dalam ikatan pernikahan saja, karena menurut mereka kedua orang itu sudah sangat cocok dan yang pasti akan saling mengerti dan memahami. Namun hal itu jelas-jelas ditentang dengan keras oleh Nara. Karena bagi Nara dia tidak mau mengulang kesalahan yang sama untuk kedua kalinya, menikah tanpa adanya ketertarikan emosional sama sekali. Nara juga ingin merasakan indahnya pernikahan yang dilandasi cinta dari kedua belah pihak.

Sedangkan untuk Bima sendiri, laki-laki itu setuju saja dengan ide ibunya asal Nara bersedia. Bagi Bima menikahi Nara merupakan anugerah, karena sejujurnya laki-laki itu mulai menaruh hati terhadap kakak iparnya itu entah sejak kapan.

Bima laki-laki yang baik dan mapan, dia bekerja di Bea cukai juga sama dengan mendiang kakak kandungnya. Tapi bagi Nara, dia hanya bisa menganggap Bima sebagai teman dan saudara saja sampai saat ini. Dan Nara juga memiliki keyakinan kalau Bima setuju menikah dengannya hanya demi memenuhi beban tanggung jawab yang diminta mendiang suaminya dulu sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Nara tidak tahu kalau adik iparnya itu sebenarnya menginginkannya karena menyukainya, bukan hanya karena permintaan mendiang kakaknya.

Nara memiliki prinsip akan lebih memilih sendiri sampai tua dari pada harus menjalani pernikahan tanpa cinta dengan Bima. Nara bukannya menutup hati dari pria lain, tapi sampai saat ini hatinya masih tertuju pada dia. Dia yang telah mengukir kenangan indah dimasa lalunya. Dia yang bisa membuat hati Nara bergetar dan membuat kerja jantungnya menjadi tidak normal. Dia yang dengan bodohnya sudah Nara sakiti dulu, saat ego dan emosinya masih belum tertata.

“Nara .... La anak ini malah melamun. Itu kayaknya mobil Bima sudah didepan.” Ucap Rima agak keras menyadarkan Nara dari pikirannya yang melayang ke kejadian beberapa tahun silam. Nara hanya meringis salah tingkah mendengar kata-kata wanita yang melahirkannya itu.

“Ya sudah Nara berangkat dulu Bun.” Pamit Nara sambil mencium tangan Rima, wanita yang melahirkan nya. Nara hanya bisa berpamitan dengan ibunya hari ini, karena ayahnya sudah berangkat duluan sejak pagi sekali. Entah ada acara apa di tempat ayahnya bekerja, sehingga sang ayah harus berangkat pagi-pagi buta. 

Melihat mobil Inova hitam yang terparkir didepan rumah, Nara langsung berjalan kerah mobil itu dan masuk kedalamnya tanpa disuruh.

Sorry lama!” Ucap Nara ketika berhasil duduk dengan nyaman di jok penumpang samping kemudi sambil memasang sabuk pengamannya.

“Nggak apa-apa, santai aja kali. Nunggu hati dan mata kamu buat mau melirik aku aja aku sabar, apalagi cuma nungguin kamu mau berangkat kerja.” Ucap Bima santai sambil menjalankan mobilnya.

“Bima please ... Jangan mulai lagi, ini masih pagi. Aku enggak mau mual denger gombalan kamu yang receh itu.” Ucap Nara jengah. Bima dan mulut lemesnya adalah paket lengkap yang bisa membuat Nara jadi gondok. Mendengar nada kesal dari wanita yang duduk disampingnya, Bima hanya terkekeh senang. Dirinya sudah mulai terbiasa dengan sikap ketus Nara bila dirinya sudah mulai merayu wanita itu.

“Memang kenapa? Aku hanya bilang yang sebenarnya Nara.” Sejak Hendra meninggal, Bima memang sudah mulai memanggil Nara tanpa embel-embel ‘mbak’ lagi. Bagi Bima kata ‘mbak'  itu membuat jarak diantara dirinya dan Nara. Apalagi usia mereka sepantaran, dan hal itulah yang dijadikan Bima alibi agar bebas memanggil Nara langsung dengan nama saja jika Nara mulai memprotes panggilannya. Dulu Bima memanggil Nara dengan embel-embel 'mbak' karena dia menghargai kakaknya, namun setelah kakaknya tidak ada dia sudah tidak menganggap Nara sebagai kakak iparnya lagi melainkan sebagai wanita yang diinginkannya mendampinginya di pelaminan nanti.

“Dan aku sudah sering bilang sama kamu Bima kalau hal yang kamu maksud enggak akan mungkin terjadi.” Ucap Nara dengan tenang. Ucapan Nara itu membuat senyum Bima yang sejak tadi menghiasi wajahnya, mendadak hilang tanpa bekas.

“Kenapa?” Kali ini Bima bertanya dengan serius kepada wanita yang duduk disampingnya itu. Bima memiringkan tubuhnya, menatap Nara serius karena kebetulan mobilnya berhenti karena lampu lalu lintas yang berwarna merah.

“Kamu tahu hati aku masih milik orang lain, dan aku enggak mau menjalani hubungan tanpa adanya ketertarikan emosi dari dua arah. Lagi pula jangan jadikan pesan Mas Hendra sebelum meninggal beban untuk kamu. Kamu masih bisa menjagaku tanpa kita terikat dalam satu hubungan serius. Carilah wanita yang baik dan mencintai kamu Bim!” Ucap Nara lembut sambil menatap laki-laki yang sudah dia anggap saudara itu.

“Tapi wanita yang aku inginkan itu kamu Nara. Wanita yang aku cinta kamu.” Ucapan bernada serius dan sedikit keras dari Bima benar-benar membuat Nara terpaku ditempatnya tanpa bisa menjawab apa-apa. Nara tidak pernah menyangka kalau akan tiba hari dimana Bima menyatakan cinta padanya seperti ini.

“Aku tidak minta kamu melupakan  mas Hendra Nara, aku cuma minta kamu kasih aku kesempatan buat lebih dekat sama kamu dalam artian antara lelaki dan wanita dewasa. Bukan mantan adik dan kakak ipar. Masalah hati kamu, aku yakin bisa merubahnya asal kamu kasih aku kesempatan.” Ucap Bima serius.

“Bima ... kamu bercanda kan?” tanya Nara dengan terbata ketika kesadarannya sudah mulai terkumpul akibat syok karena kata-kata Bima tadi. Bima hanya tersenyum sendu menatap wanita pujaannya itu.

“Aku tidak pernah bercanda Nara, aku cinta kamu sejak pertama kali kita bertemu. Tapi apalah daya kalau orang tuaku ternyata telah menjodohkan mu dengan Mas Hendra. Kalau menuruti kata hatiku aku ingin merebut mu dari kakakku, tapi logika ku masih berjalan Nar. Dan kematian Mas Hendra aku anggap kesempatan kedua untukku bisa memperjuangkan kamu. Kalau dulu aku mengalah untuk kakak ku, kali ini aku tidak akan mengalah untuk siapapun Nar. Aku akan tetap menanti hati kamu terbuka untuk menerima aku!” Nara tidak membalas kata-kata Bima, hingga pembicaraan mereka terputus karena bunyi klakson dari mobil dibelakang mobil mereka.

Setelah ungkapan hati Bima yang mendadak itu, Nara diam seribu bahasa sepanjang perjalanan. Bahkan ketika dirinya sampai di kantor pun Nara langsung turun dan tidak pamit pada Bima seperti biasanya.
Entahlah, Nara hanya merasa masih bingung mencerna semua kata-kata Bima.

Dimata Nara, Bima memang laki-laki yang baik, bertanggung jawab dan mapan. Untuk ukuran lelaki yang akan dijadikan pendamping hidup, Bima merupakan calon suami ideal dan potensial. Tapi Nara hanya menganggap Bima sebagai saudara yang tidak dimilikinya selama ini. Dan untuk mengubah ikatan diantara mereka menjadi lebih dari sekedar saudara, merupakan hal yang mustahil bagi Nara. Tidak ada getaran apapun yang dia rasakan saat berdekatan dengan Bima, tidak ada debar menyenangkan di jantungnya saat mereka secara tidak sengaja melakukan skin ship. Nara memang merasa nyaman saat berada di dekat Bima, namun semata-mata karena dia merasa dekat dengan keluarganya. Sama saja rasanya saat dirinya berdekatan dangan para sepupunya dari keluarga ayah atau bundanya.

Sepanjang hari itu karena terlalu banyak pikiran, Nara menjadi kurang berkonsentrasi. Beberapa pekerjaannya ada yang salah dan mendapat teguran dari atasannya. Sampai -sampai atasannya memanggilnya langsung ke ruangannya saat menjelang makan siang.

“Bapak memanggil saya?” Tanya Nara sopan ketika sudah berada di hadapan CEO perusahaan ini. Pria paruh baya yang ada di depannya itu langsung mengalihkan perhatiannya kepada Nara sepenuhnya dan tersenyum lembut.

“Kamu sakit Nara? Atau sedang banyak pikiran?” Tanya beliau dengan lembut, membuat Nara mengerutkan keningnya.

“Tidak Pak, saya baik-baik saja!” Jawaban Nara jelas bohong, karena memang dirinya merasa kepalanya sedikit pusing. Mungkin ini merupakan efek karena terlalu banyak pikiran.

“Hari ini kamu terlihat tidak konsentrasi, kalau kamu kurang enak badan kamu bisa ijin pulang dulu Nara. Saya bisa meminta asisten saya menggantikan kamu untuk hari ini.” Mendengar itu Nara langsung menggelengkan kepalanya cepat.

“Tidak Pak, saya tidak apa-apa. Lagi pula saya tidak enak dengan karyawan yang lain kalau harus dapat hak istimewa lagi dari bapak.” Jawab Nara sambil menunduk, yang langsung ditertawakan oleh bos besar didepannya itu. Bukan tanpa alasan Nara mengatakan itu, saat dirinya tertimpa musibah saat suaminya meninggal, Nara bahkan meninggalkan tugasnya begitu saja tanpa kabar namun tidak mendapat surat pemecatan. Padahal kantor ini memiliki aturan yang ketat.

“Kamu memang istimewa Nara, kamu anak orang kepercayaan saya. Dan sudah saya anggap seperti anak saya sendiri.” Nara memang anak dari tangan kanan CEO perusahaan ini, lebih tepatnya anak menantu. Papa Hendra dan Bima adalah orang kepercayaan beliau. Nara bisa bekerja disini juga karena Papa mertuanya yang melobi, kalau tidak mana mungkin Nara bisa bekerja di perusahaan besar seperti Rajata Group sebagai sekretaris CEO pula.

“Oh ya Nara, tolong kamu batalkan semua jadwal saya setelah ini, karena saya ada urusan penting.”

“Baik Pak, ada lagi Pak?”

“Saya mau bilang kalau seminggu lagi saya bukan bos kamu lagi.” Ucapan bernada santai itu otomatis langsung membuat Nara melotot maksimal.

Ini maksudnya aku di pecat?

“Maksud Bapak ... Saya di pecat?” tanya Nara dengan nada syok. Tapi CEO Rajata Group itu malah tertawa lepas. Pria bernama lengkap Kevin Samudra Rajata itu benar-benar terlihat tampan saat tertawa, padahal usianya sudah lebih dari setengah abad.

“Bukan Nara, mulai minggu depan saya akan mundur dari jabatan saya dan akan digantikan oleh putra sulung saya. Jadi mulai minggu depan kamu akan jadi sekertaris putra saya.” Diam-diam Nara menghembuskan nafas lega begitu mendengar penuturan Kevin. Dirinya benar-benar takut jika dipecat dari perusahaan ini.

“Baik Pak.”

“Kamu yang sabar sama dia ya, orangnya dingin dan irit bicara. Tapi secara kepemimpinan saya bisa menjamin kalau dia lebih baik dari saya dan profesional.” Nara hanya mengangguk saja tanpa menimpali ucapan Kevin. Nara pasti akan kehilangan sosok bos baik seperti Kevin, yang sudah menganggap dirinya seperti putrinya sendiri.
Nara hanya berdoa semoga bos barunya nanti pembawaan dan sifatnya sama seperti Kevin walaupun katanya irit bicara.

TBC

Udah bisa nebakkan ini kisah siapa?Kisah putra Sulung dari Kevin dan Vena.

Kalian pasti ingat siapa kan?

Terima kasih sudah mau baca cerita ini apalagi meninggalkan jejak 🙏

8 April 2020

Rajata Series 1 : Secret Mission for Love (REVISI) Where stories live. Discover now