13# Titip Rindu Buat Bapak

375K 57.7K 26.9K
                                    

Ayah dalam hening sepi kurindu
Untuk menuai padi milik kita
Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang banyak menanggung beban

- EBIET G. ADE -

○○○●●●》♤♤♤《●●●○○○

Di luar hujan deras. Disertai angin kencang dan petir yang menyambar-nyambar. Sejak berjam-jam yang lalu, lampu kamar sudah dipadamkan. Hanya menyisakan lampu kemuning yang dibiarkan menyala di tengah-tengah tembok. Sejak Sastra menarik selimut satu setengah jam yang lalu, matanya masih tidak kunjung digerayangi kantuk. Setelah Sahara pamit untuk tidur, chat terakhirnya tidak dibalas. Itu artinya, gadis itu benar-benar sudah tidur. Kini, dia di dera sepi. Sendiri. Sebab entah sejak kapan, Jovan sudah tidak lagi bersuara.

Dengan tangan yang ia tangkupkan di bawah kepala, Sastra menatap jendela dengan tatapan kosong. Dari tempatnya berbaring, ia bisa melihat pantulan cahaya kilat dari kejauhan. Lalu tidak lama setelahnya, gelegar hebat terdengar. Mendebarkan dadanya yang semula berderap tenang.

Setelah itu hening lagi. Hanya suara rintikan hujan di atas genting dan gesekan ranting di luar rumah. Di saat-saat seperti ini, hanya ingatan tentang Bapak yang terlihat jelas. Sudah hampir 5 tahun lamanya Bapak pergi. Ada kalanya Sastra merasa begitu kosong. Dia rindu setengah mati. Namun kini, kerinduannya hanya sebatas rindu. Bapak sudah tidak bisa ia peluk lagi.

"Pak! Bapak!! Mosok jare Mas Jovan aku koyok kurcaci. Aku kapan iso duwur koyok Bapak?!"

Sore itu, hujan juga turun. Dengan intensitas sedang tanpa angin. Sastra mendatangi Bapak yang sedang minum kopi di teras depan. Menikmati sebatang nikotin dan aroma hujan persis anak senja jaman sekarang.

Saat itu Jaya masih berumur 1 tahun. Dan Sastra sedang galau-galaunya sebab merasa kurang kasih sayang. Mama dan Bapak lebih sering menghabiskan waktu bersama Nana dan Cetta. Dan setelah Jaya lahir, musuhnya untuk menarik perhatian Bapak dan Mama bertambah satu. Dia bisa saja menghabiskan waktu bersama kakak-kakaknya, tapi kalau ada Jovan- Sastra malas. Bocah itu terus-terusan membully dirinya.

Lalu saat Bapak menemukan Sastra mendekat hanya dengan balutan singlet dan kolor hijau muda, Bapak tersenyum terang. Kemudian ia matikan batang rokoknya detik itu juga. Tidak peduli jika rokoknya belum habis setengah.

"Nanti. Kalau Sastra sudah sunat." Kata Bapak, memangku Sastra setelahnya.

"Terus aku kapan disunat? Aku kan sudah kelas 2!"

"Emangnya Sastra udah berani?"

"Yo berani toh! Sastra gitu loh!"

Sampai sekarang pun, Sastra masih ingat suara tawa Bapak. Kerutan di sudut-sudut matanya, lengkungan pada bibirnya, juga pantulan dirinya pada sepasang mata Bapak yang jernih.

"Emangnya kalau Sastra sudah tinggi kayak Bapak, Sastra mau jadi apa?" Bapak bertanya, sambil mengusap keringat di wajah Sastra.

"Mau jadi dokter. Biar bisa suntik Mas Jovan. Soale loh Pak, Mas Jovan mesti nakal karo aku!" Sastra rungsing. Dia benar-benar sudah geram dengan kelakuan kakaknya itu.

Lagi-lagi Bapak tertawa. "Wah, bagus itu! Tapi Sastra, kadang untuk jadi orang hebat itu nggak harus jadi dokter."

Sastra geming. Saat itu dia tidak tahu Bapak sedang berkata apa.

"Kalau suatu saat kamu bisa jadi dokter, alhamdulillah. Berarti itu rejeki kamu. Tapi kalau kamu nggak bisa jadi dokter, kamu bisa jadi orang hebat dengan cara kamu sendiri. Jadi orang hebat itu nggak selalu harus 'wah', cukup jadi diri kamu sendiri- itu sudah hebat."

Tulisan Sastra✔Où les histoires vivent. Découvrez maintenant