~Bagian 3~

6 4 0
                                    

    "Perhatian semuanya! Kita kedatangan pekerja baru. Mulai hari ini, dia akan bekerja sebagai koki disini. Daniella, kamu sebagai koki utama, tolong bimbing dia, ya! Sekarang, perkenalkan diri kamu," silah Mr. Kenan, disampingnya ada seorang wanita cantik berpakaian ala chef.

    "Perkenalkan nama saya Salsabila Rivano. Kalian bisa panggil saya Salsa. Mohon bimbingannya."

    Semua orang tersenyum. Lalu Mr. Kenan meninggalkan mereka menuju ruangannya. Daniella mendekati Salsa. Ia menghela Salsa menuju tempat para koki bekerja. Ia memberikan instruksi apa saja yang harus dilakukan oleh Salsa selama bekerja di sini dan tampaknya Salsa mudah memahaminya.
Daniella tersenyum lalu meninggalkan Salsa ketika pekerjaannya selesai.

****

    "Tampaknya kekasihku ini sedang bahagia. Ada apa, hmm?" tanya Alfar. Kini mereka sedang ada di rumah Daniella, bersantai di ayunan yang ada di taman belakang rumah.

    "Tidak ada apa-apa. Aku hanya senang saja, aku punya teman baru. Namanya Salsa. Dia itu cantik sekali," jelas Daniella sembari bersandar di bahu Alfar. Alfar pun menyandarkan kepalanya di atas kepala Daniella sambil merangkul bahunya. Mengikis jarak di antara mereka.

    "Secantik-cantiknya dia, kamulah wanita yang paling cantik di mataku, Sayang."

    Tangan Alfar beralih ke rambut coklat Daniella. Mengusapnya perlahan. Sesekali bibirnya mencium puncak kepala kekasihnya itu.

"Dasar gombal." Alfar terkekeh. Ia menjauhkan kepala Daniella dari bahunya. Menangkup wajah Daniella seraya tersenyum manis.

    "Aku tidak pernah menggombal. Memang hanya kamu yang cantik di mataku. Bahkan model tercantik pun kalah cantik dengan dirimu." Mata Alfar berbinar penuh cinta, menatap pada Daniella yang sudah merona karenanya. Gemas melihat rona merah di pipi kekasihnya, Alfar mendekatkan wajahnya. Mencium gemas pipi bulat Daniella.

****

    Sepulang kerja, Natasha, sahabat Daniella, mengajak Daniella ke taman bermain. Mereka baru saja menerima gaji bulanan mereka. Setelah puas bermain, mereka singgah di cafe di taman tersebut.

"Daniella, kamu tidak curiga sama Salsa?" Daniella berhenti menyeruput jus nya. Ia menatap Natasha dengan bingung.

    "Memangnya ada apa dengan Salsa?" tanya Daniella.

    "Kalau dilihat-lihat, Salsa itu cantik, baik lagi. Tidak ada yang kurang dari dirinya," lanjut Daniella.

    "Justru karena dia cantik, seharusnya dia itu jadi model atau artis. Lagipula kalau dilihat dari latar belakangnya, dia orang yang lebih dari berkecukupan. Lagipula, sepertinya aku pernah melihat Salsa, tapi aku lupa dimana pernah melihatnya." Daniella memutar bola matanya malas.

    "Jelas saja kau pernah melihatnya. Itu kan di restoran."

    "Tidak! Bahkan aku sudah merasa familiar dengan wajahnya saat pertama kali dia memperkenalkan dirinya."

    "Sudahlah. Mungkin yang kau lihat hanya miripnya saja. Sekarang, lebih baik kita pulang. Sepertinya hujan akan turun," saran Daniella sambil menatap langit yang kelabu menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Natasha menganggukkan kepalanya setuju. Mereka bergegas pergi setelah sebelumnya menaruh uang di meja.

****

    Hujan kini sedang mengguyur bumi. Natasha baru saja pulang. Menyisakan Daniella yang menunggu taksi datang. Namun, setelah 1 jam ia menunggu, tak ada satupun taksi yang lewat.

    Hujan makin deras, hingga tempatnya berteduh tak mampu melindunginya dari percikan hujan yang jatuh ke jalan. Daniella memutuskan masuk ke dalam cafe yang tak jauh dari tempatnya berteduh. Untung saja hari ini ia menerima gaji. Jadi, ia bisa memanfaatkan uangnya untuk sekadar membeli teh hijau hangat di tengah cuaca yang dingin.

    Begitu Daniella membuka pintu cafe, maniknya dapat melihat keadaan cafe yang ramai. Tampak pasangan muda-mudi menikmati suasana romantis, beberapa pria yang berbincang-bincang, serta beberapa wanita yang bergosip ria. Namun, dari semua pemandangan yang ditangkap maniknya, Daniella terfokus pada satu meja yang terdapat seorang pria dan seorang gadis. Ia mengenal gadis itu. Dengan langkah pelan, ia berjalan ke arah meja itu.

    "Salsa," panggil Daniella.

    Salsa yang tampak berbincang dengan seorang pria, menoleh. Senyum kikuk terbit di wajah cantiknya.

    "Hai, Daniella!" sapanya ramah.

    "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Salsa.

    "Aku hanya ingin berteduh sambil minum teh hijau."

    Masih dalam keadaan berdiri, Daniella mengalihkan pandangannya pada pria yang duduk di depan Salsa.
Benak Daniella berpikir untuk pergi saja dari meja itu. Salsa pasti ingin berduaan bersama kekasihnya dan Daniella tak ingin mengganggu. Ia kemudian menatap Salsa. "Salsa, aku pamit dulu."

    "Mau ke mana?" Bukan suara Salsa yang menyahut. Melainkan suara dalam nan berat seorang pria. Baik Daniella maupun Salsa memusatkan perhatian mereka pada pria itu.

    Merasa ditanya, Daniella berdehem sejenak sebelum menjawab, "Saya ingin mencari meja yang kosong." Gugup, satu kata yang mewakili perasaan Daniella saat ini. Tatapan pria itu tak terbaca, mengarah tepat padanya.

    "Duduklah, kau bisa bergabung dengan kami," kata pria itu. Daniella merasa tidak enak dengan keadaan ini. Apakah ia harus duduk seperti yang pria itu perintahkan atau ia harus menjauh demi kenyamanan sepasang kekasih ini?

    "Duduklah. Aku dan Salsa hanya sebatas teman." Seperti mampu membaca pikiran Daniella, pria itu kembali bersuara. Daniella tidak mengeluarkan sepatah kata. Ia hanya melaksanakan perintah pria itu untuk duduk di bangku yang kosong, tepat di samping Salsa. Seketika suasana menjadi canggung.

    Pria itu menjentikkan jarinya. Seorang pelayan tergopoh-gopoh menuju ke arahnya. "Buatkan teh hijau untuk gadis ini."

    "Baik, Tuan."

    Begitu pelayan pergi, Daniella menoleh ke arah pria itu yang ternyata sedang menatapnya tak terbaca. "Terima kasih," ucap Daniella tulus yang langsung dibalas deheman singkat dari pria itu dan langsung saja kontak mata itu terputus.

     Setelah itu, suasana kembali canggung. Hening. Raut wajah dari ketiga orang itu tampak berbeda. Daniella dengan raut kikuknya, pria itu dengan ekspresi tenangnya, dan Salsa dengan tatapan sendunya yang entah ditujukan pada siapa.

    "Sean, bukankah kau punya jadwal petang ini?" tanya Salsa memecah keheningan, bertepatan dengan datangnya pelayan tadi yang menaruh secangkir teh hijau di hadapan Daniella.

    Pria yang dipanggil Sean itu menatap dalam manik Salsa sebelum mengangguk.

    "Ya, kau benar. Terima kasih telah memperingatkanku." Pria itu kemudian bangkit dari duduknya dan berniat pergi. Namun, sebelum melangkah pergi, Sean menoleh ke arah Daniella.

    "Senang bertemu denganmu, Ella."

****

Tbc...

My Love Is On FireWhere stories live. Discover now