~Bagian 6~

5 3 0
                                    

    "Apalagi yang kau rencanakan, Kak?" Pertanyaan panas itu menembus gendang telinga seorang pria yang duduk dengan santainya di ruang kerjanya. Tatapannya tidak beralih dari dokumen-dokumen di tangannya.

    "Jawab, Kakakku sayang," tekan gadis yang sedari tadi mencerca pria itu dengan pertanyaan-pertanyaan menyangkut rencana pria itu.

    "Kau tidak usah ikut campur, Verone. Cukup saksikan dan jangan mengusik rencanaku." Kalimat tegas itu keluar dari bibir tipis pria itu, bersamaan dengan tatapan tajam yang dilayangkan pada manik sang adik.

    Gadis yang dipanggil Verone itu menghela napasnya. "Ingat, aku tau kau pasti sudah mengetahuinya. Aku mohon, jangan ganggu mereka." Kali ini gadis itu sedikit memelankan nadanya.

    Pria itu mengedikkan bahunya tak peduli, seolah ucapan adiknya hanyalah angin lalu yang tak berarti.

    "Bukan urusanmu."

****

    Tak terasa 5 hari telah berlalu. Hari yang dinantikan pun tiba. Suasana putih dan bersih dengan latar malam seolah menyambut riang acara suci dan sakral ini. Beberapa tamu berdecak kagum dengan dekorasi yang terpampang. Altar yang mewah, kursi yang empuk, dengan hidangan yang menggiurkan lidah.

    Acara pernikahan Alfar dan Daniella belum dimulai namun beberapa kursi di halaman rumah keluarga Asherton sebagian besar sudah terisi.

    Belum ada mempelai pria maupun wanita di altar. Hanya pendeta yang terlihat sedang bersiap-siap. Kedua mempelai juga sedang bersiap di tempat yang berbeda.

    Daniella kini menatap dirinya di cermin. Terpana melihat wajahnya yang seperti bukan dirinya. Make up yang elegan menancap sempurna di wajahnya. Sedikit tersenyum dengan rambut yang disanggul dengan menyisakan sedikit anak rambutnya. Tampak segar dan berseri. Tatapan gadis itu beralih menatap pantulan tiga orang di belakangnya.

    "Ini sangat cantik. Terima kasih," ujarnya tulus kepada tiga orang yang sedari tadi mendandaninya.

    "Sama-sama, Nona."

    "Kau sangat cantik, Ella." Tiba-tiba dari arah pintu muncul seorang wanita yang masih menampilkan kecantikan alaminya di umur yang kini memasuki 40 tahun. Masuknya Nyonya besar membuat tiga orang tadi yang merias Daniella pamit, menyisakan ruang untuk mereka berdua.

    Mrs. Asherton menatap kagum kekasih dari mantan supir pribadinya itu. Melangkah maju untuk mendekati gadis yang kini berdiri menghadapnya ketika mengetahui dirinya datang di tempat ini. "Terima kasih, Mrs. Asherton. Berkat Anda dan Tuan Asherton, saya bisa ada di hari yang bahagia ini," ucap Daniella sembari membungkuk sejenak. Matanya sedikit berkaca-kaca.

    "Hei, kenapa kau menangis?" Leanne Asherton segera mendekat dan memeluk Daniella yang dibalas langsung oleh Daniella yang sangat ingin menangis namun ditahan sekuat tenaga. Takut riasan yang berjam-jam diciptakan itu rusak hanya karena satu tetesan air matanya. Pelukan ini, rasanya pelukan ini menghangatkan seperti dulu.

    "Tidak apa-apa, Nyonya. Saya hanya sedang melihat ibu saya dalam diri anda."

    Leanne tersenyum dan melepaskan pelukannya. "Kau bisa menganggapku ibu. Lagipula aku sudah menganggap Alfar sebagai anak sendiri. Dia sangat baik. Selalu setia dan ada di saat yang tepat ketika aku dan suamiku membutuhkannya."

    Daniella mengangguk. "Terima kasih, Nyonya."

    "Ya ampun! Sahabatku cantik sekali."
Suara itu mampu membuat dua wanita cantik itu menoleh dan mendapati Natasha berdecak kagum melihat sang mempelai wanita. Natasha tidak sendiri, ia ditemani oleh Salsa, Sean, dan seorang yang Daniella ketahui adalah Mr. Asherton.

    Natasha dan Salsa menghambur mendekati sahabatnya itu. "Ck, rasanya aku ingin segera menikah sepertimu." Daniella mengerut tak enak. "Kalian jagalah sikap," desisnya kepada kedua temannya yang tampak memandangi gaun dan wajahnya.

    "Daniella," panggil pria dengan suara jantan di hadapan Daniella, James Rick Asherton. "Masih ada waktu 15 menit lagi sebelum acaranya dimulai. Kau bisa melatih kakimu agar tidak bergetar di altar nanti," lanjut James. Ia terkekeh sejenak ketika melirik istrinya yang melotot ke arahnya.

    "Jangan sampai kakimu bergetar seperti istriku ini," ujar James sembari mengusap rambut Leanne layaknya anak kucing yang lucu.

    Leanne mendengus. "Kau menyebalkan." Mungkin bila ini bukan acara pernikahan, Leanne akan menjambak rambut suaminya itu. Namun, keadaan sekarang tidaklah memungkinkan. Dialihkannya pandangannya ke arah Daniella.
"Ella, mungkin kau bisa belajar berjalan dulu agar nanti kau tidak bergetar."

    "Benar, Ella."

    "Ya, kau harus berlatih, Ella. Alfar akan sangat tampan hari ini. Jangan sampai kau meleleh karenanya."
Dua suara itu menyahut ketika Leanne menyelesaikan ucapannya. Tak lupa panggilan 'Ella' yang diselipkan.

    "Ella, kurasa itu lebih simple daripada harus memanggilmu Daniella." Suara dari ujung, tepat di atas sofa itu menembus telinga 5 orang yang tersenyum riang di tengah sana, seolah melupakan seorang pria yang juga turut bergabung sejak tadi, hanya saja diabaikan.

    Gadis bergaun putih bersih itu menatapnya, mengangguk sopan. "Ya, kalian bisa memanggilku 'Ella'," ucap gadis itu kepada seluruh orang.
Pria yang sedari tadi diabaikan turut bergabung. "Perkenalkan namaku Sean," sahutnya begitu jarak mereka berkisar empat langkah. Sekali lagi, Daniella mengangguk sopan. "Salam kenal."

    "Sesi perkenalannya sudahi saja. Sekarang, berlatihlah. Kalau kau tidak mau berlatih berjalan, setidaknya duduk saja. Masih ada waktu 12 menit lagi," ujar Salsa datar yang tiba-tiba dihadiahi tepukan ringan di pundaknya. Siapa lagi yang berani menepuknya jika bukan Natasha Diane Stewart. "Mereka hanya berkenalan, Salsa. Tidak lebih." Salsa tidak membalasnya, hanya mendengus kasar bukti kekesalannya.

    "Sudah, jangan bertengkar." James menengahi dengan suara tegasnya.
"Daniella, kami keluar dulu. Nanti kami kembali ketika acaranya sudah mulai. Jika ada apa-apa, kau bisa memanggil pengawalku yang menjaga di depan pintu," pamit James dan mengajak istrinya turut serta keluar dari ruangan itu.

    Sepeninggalan suami istri itu, Daniella memandang kedua temannya. Seolah ada keraguan dalam binarnya.
"Tasha, Salsa, apakah aku cantik?" tanyanya yang seketika dihadiahi pukulan ringan di lengannya.

    "Ella, kau itu sudah sangat cantik. Paham?" geram Natasha.
Daniella terkekeh. "Aku hanya ingin memastikan saja."

    "Oh iya, aku titip tasku padamu, ya. Aku takutnya nanti akan ketinggalan kalau kutaruh di sini," pinta Daniella.

    Natasha mengangguk. Ia segera mengambil tas kecil Daniella dan menyampirkannya di bahunya. Sementara Salsa berjalan mendekati Sean yang sedari tadi sudah kembali ke sofa yang terletak di ujung ruangan. Daniella menatap interaksi mereka dengan saksama. Entah mengapa mereka terlihat canggung satu sama lain. Tidak, bukan canggung, hanya saja jika diperhatikan lamat-lamat, pandangan pria itu terlihat dingin menatap Salsa.

     "Ella, aku izin ke toilet sebentar."
Suara Salsa membuat Daniella mengalihkan pandangan ke arah Salsa, tak ingin terpergok menatap interaksi mereka.

    "I-iya." Bercampur gugup dan malu, Daniella mengeluarkan suaranya walaupun terdengar agak terbata. Salsa pun melangkah keluar. Sepeninggalan Salsa, Daniella duduk di bangku rias dan berbincang ria dengan Natasha. Kembali, Sean merasa terabaikan di pojok ruangan, membuatnya mendengus kesal.

****

    Seorang pria tampan dengan balutan jas yang melekat pas di tubuhnya terlihat sedang memegang sebuah ponsel yang tertempel di daun telinganya. Suara menyambungkan menembus gendang telinganya. Menunggu tiga detik hingga terdengar kasat-kusut di seberang sana. Bibirnya terlihat tak sabar mengucapkan sebuah kata yang penuh penekanan, terdengar bagai desisan kecil yang mengancam.

    "Sekarang!"

    Seketika senyum miring terbit di bibir tipisnya melihat pemandangan di hadapannya. Gelap tak bercahaya. Suram tak benderang. Ya, rencananya sebentar lagi akan terwujud.

    Ya, sebentar lagi.

****

Tbc...






My Love Is On FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang