Satu

122 8 30
                                    

[Aurea Moza]

Cahaya Fajar yang menyusup lewat sela-sela jendela, begitu mengusik tidur gadis manis itu. Badannya mulai bergerak gelisah. Sampai akhirnya sebuah ingatan membuatnya benar-benar terbangun dengan gelagapan.

"Duh! Jam berapa ini?!"

Jam di ponsel canggih miliknya menunjukkan pukul 07.15 WIB.

"Ampun! Kok bisa kesiangan gini, Sih?! Alamat nggak mandi nih."

Dengan cepat dia berlari menuju kamar mandi. Hanya untuk mencuci muka dan gosok gigi saja.

"Untung cakep, jadi mandi nggak mandi tetep cakep," ujarnya sambil mengenakan seragam sekolah.

Hanya butuh waktu 15 menit gadis itu sudah siap dengan penampilannya. Dengan cepat dia tarik ranselnya, kemudian berlari menuruni tangga.

Aroma roti bakar selai coklat kesukaannya menguar menyambut pagi yang super buru-buru ini. Niat langsung berangkat tanpa sarapan pun gagal. Dia berbalik ke meja makan dan mengambil roti bakar dengan tergesa-gesa.

"Au panas!" teriaknya sambil meniup jari.

"Itu masih panas, sayang. Hati-hati dong," suara Mama Tia--Sang Ibu terdengar dari arah dapur.

"Aku udah terlamabat, Ma," Dia bungkus roti itu menggunakan tissue yang ada di meja makan. "Aku berangkat dulu ya. Bye, Ma!"

Gadis itu kembali berlari setelah mencium pipi Ibunya.

***

Setelah penantian yang cukup melelahkan. Karena sudah terlalu siang, baik bus maupun angkot sudah banyak yang berangkat pada pukul itu. Akhirnya dia sampai di depan gerbang sekolah pukul 08.20 WIB. Entah sebuah ke beruntungan untuknya atau bukan, yang jelas Pak Jayus lupa tidak mengunci gerbang. Dengan mengendap-ngendap dia memasuki area sekolah.

"Aurea Moza!" tepat di depan kantor Guru, suara mengerikan itu terdengar dan seketika menghentikan langkah Rea. "Tidak usah menutupi muka, Rea. Ibu tau betul itu kamu."

Ya. Nama gadis manis itu Aurea Moza. Yang akrab di panggil Rea. Tubuhnya yang tinggi, kurus, berkulit putih dengan rambut sepundak, ditambah headphone putih yang selalu tergantung dilehernya, Membuatnya mudah untuk dikenali.

Rea berbalik dengan menunjukkan cengiran lebar yang mampu memperlihatkan dua gigi gingsul yang membuatnya semakin terlihat manis.

"Hehe, saya Bu?"

"Sudah terhitung berapa kali kamu terlambat dalam seminggu ini, Rea?"

"Belum seminggu penuh kok, Bu," ucapnya disertai cengiran lebar.

"Kamu ini salah satu siswi yang berkompeten, Rea. Tolong disiplin, supaya bisa menjadi contoh sempurna buat teman-temanmu."

Ekspresi Rea mendadak berubah. Cengiran lebarnya lenyap berganti dengan ekspresi datar seperti biasanya.

"Maaf, Bu. Saya nggak bisa, Masih banyak siswa-siswi lain yang layak untuk dicontoh dibandingkan saya."

"You have many reasons to be a perfect student, Rea. Ibu tau kamu bisa."

"I'am sorry, Miss. But, i can't be something you want."

"Ini bukan tentang keinginan Ibu, Rea. Tapi-"

"Maaf, Bu. Apa saya boleh masuk kelas? Ada Mapel penting pagi ini, " potongnya sebelum Bu Marta melanjutkan kalimat yang Rea tau kemana arahnya.

Tidak hanya sekali Bu Marta mencoba membujuk Rea agar mau menjadi contoh teman sekelasnya, yang rata-rata kurang disiplin itu.

Kawan JalanWhere stories live. Discover now