Enam

15 3 9
                                    

Setelah kejadian malam itu Devan mengantar Rea pulang. Tidak ada yang aneh, Ayah dan Ibunya masih terlihat baik-baik saja. Baik dalam artian tidak ada perdebatan. Bukan moment manis. Jangan pernah mengharapkan hal itu terjadi di rumah ini.

"Kenapa tidak kalian sudahi saja, sih? Nggak capek? Aku yang melihatnya saja capek," Gumam Rea.

Seperti pagi ini, Rea harus terjebak di meja makan bersama dua manusia berhati batu dengan tampilan wajah sebeku es. Rea benci situasi ini. Ia capek harus mencairkan suasana yang berujung sama. Akhirnya Rea memilih diam dan berkutat dengan makanannya.

Ditengah kegiatan makannya Rea mendongak untuk mengamati wajah keduanya. Ada guratan ketidaksukaan diantara mereka. Sama-sama gusar dan merasa tidak nyaman saat berdekatan.

Apa-apaan ini? Tidak bisakah kalian sama-sama berusaha? Berusaha mengganti ekspresi menjengkelkan diwajah kalian itu! Batin Rea jengah. Capek. Hatinya sesak, sudah bertahun-tahun dia melihat pemandangan ini. Meski orang tuanya selalu berusaha terlihat baik-baik saja saat didepannya, tapi dia mampu merasakannya.

"Ma, nanti teman Rea datang. Mau belajar kelompok,"

"Mia sama Aji?"

"Hem," ucapnya seraya mengangguk.

"Ya udah, nanti Mama buatin cemilan."

"Iya, Ma," pandangan mata Rea beralih menatap Danu. "Kalo Ayah hari ini mau kemana?"

Danu terkesiap. Matanya bertindak gelisah. Tidak biasanya Rea menanyakan kegiatannya.

"Mm, Ayah mau ke kantor. Ada meeting, sayang."

Bohong! Hari ini tanggal merah, Yah. Apa Ayah mau menemui wanita itu lagi? Gumam Rea. Tidak. Rea harus menepis jauh-jauh prasangka yang tiba-tiba mampir di kepala. Dia tidak boleh berfikiran buruk terhadap Ayahnya. Seperti kata Devan, Ayahnya tidak akan melakukan perbuatan serendah itu.

***

"Oke, Aku udah ringkasin materi makalahnya. Nanti kamu ketik ya, Ji," ujar Rea seraya memberikan buku tulisnya kepada Aji. "Dan Mia, jangan lupa buat pptnya, ya," tambahnya yang hanya direspon dengan anggukan oleh Mia.

Rea menoleh saat mendengar suara motor memasuki pekarangan rumahnya. Terlihat Devan dengan motor vespa lama yang seingatnya dulu sering digunakan Paman Denias kemana-mana.

Devan berjalan menghampiri mereka bertiga dan duduk disamping Rea.

"Mi?" panggil Aji seraya menyikut lengan Mia. Sedangkan Mia tidak bergeming sedikit pun. Aji mendesah frustasi.

Devan yang melihat interaksi keduanya pun menatap Rea bingung. Rea yang mengerti arti tatapan Devan hanya mengedikkan bahu. "Dari tadi udah gitu," Bisik Rea.

Devan mengangguk kemudian menyerahkan kantong kresek berisi martabak kepada Rea. Hampir saja kelupaan.

"Kok dua?" tanyanya seraya mengintip isi kantong kresek yang diberikan Devan.

"Yang satu buat Tante Tia."

"Martabak telur?" tanya Rea.

"Yep, sesuai pesanan Nona."

"Kapan aku pesen coba?" Rea tampak berfikir. Dia bingung kapan dia memesan martabak telur sama Devan.

"Waktu aku di Paris."

"Emang di Paris ada martabak telur, Bro?" sahut Aji.

Mereka bertiga tergelak mendengar pertanyaan Aji. Tidak menyangka diabaikan Mia bisa begitu berdampak untuk daya fikir Aji.

Dostali jste se na konec publikovaných kapitol.

⏰ Poslední aktualizace: Mar 04, 2021 ⏰

Přidej si tento příběh do své knihovny, abys byl/a informován/a o nových kapitolách!

Kawan JalanKde žijí příběhy. Začni objevovat