Empat

18 3 6
                                    

[Aurea Moza]

Tidak semua orang pandai bercerita. Tidak semua orang mampu menuangkan isi kepala. Bahkan ada satu titik dimana mulutku benar-benar bungkam walau sangat ingin berteriak lantang.

Orang bilang berbagi rasa mampu meringankan beban. Tapi kenapa hal itu tidak berlaku untukku? Kadang aku merasa semesta tidak adil. Seakan dia sengaja membuatku membawa seluruh beban sendirian tanpa memberikan sandaran. Selalu membuatku terdiam di tengah malam sambil menatap kosong keluar jendela. Membuat rasaku seolah mati terbunuh sepi. Bingung harus menunjukkan ekspresi apa, padahal ada keriuhan di dalam sana.

Jari Rea terhenti ketika otaknya sedang berusaha mencari kata yang pas untuk materi podcastnya. Rea sangat menyukai hal-hal yang berkaitan dengan olahan kata. Menurutnya ada sesuatu yang luar biasa di dalam sana. Ada rasa tersendiri saat dia mampu menulis sendiri ataupun mendengarkan podcast orang lain. Jarinya kembali berulah saat menemukan beberapa kata.

Mungkin enak kali ya jadi Bintang. Bantinku kala melihat Bintang dengan sinar paling terang saat itu. Bintang selalu memiliki keindahan meski sinarnya tak sepadan.

"Akhh, kok nggak cocok sih!" dengan cepat tangannya mencoret kata-kata tadi. "Kenapa buntu mulu, heran." Dia hentakkan bolpoinnya keatas buku.

"Ya sabar kali, Re. Buat kek gitu itu nggak mudah. Lagian kamu juga udah pernah berhasil buat podcast 'kan. Ya walau cuma sekali," ucap Mia yang duduk disampingnya.

Rea jatuhkan pasrah punggungnya ke sandaran kursi yang diikuti dengan helaan nafas. "Itu bukan podcast, Mi tapi puisi."

"Apa bedanya? Orang sama-sama direkam, intonasinya juga hampir sama."

"Ya bedalah pokoknya. Aku itu pengen banget kayak Tsana, dia itu keren banget beneran. Kadang nih, walau pun aku nggak ngerti topik pembahasannya tetep nyaman aja gitu dengerin podcastnya. Suaranya beeh bikin betah."

"Jangan bilang kamu naksir Tsana?" todong Mia.

"Yee yakali, Mi. Belom punya niat belok aku mah."

"Ya sapa tau 'kan."

Hening. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Rea. Pikirannya kembali melanglang Buana mencari ide. Sampai tidak menyadari bel pulang telah berbunyi.

"Uy Beb, yok pulang bareng Aji," ucap Aji yang menghampiri bangku Mia.

"Males pulang bareng kamu. Aku mau pulang bareng Rea. Yuk, Re."

Tidak ada jawaban.

"Perasaan si Rea hobi banget nglamun sih, Mi."

"Ish diem kamu, Ji!"

"Rea?!" Tangan Mia terhenti sebelum berhasil menyentuh pundak Rea saat teriakan itu terdengar. Mereka kompak menoleh ke arah sumber suara. Sedangkan yang punya nama tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Aji menatap bingung seseorang yang ada di ambang pintu. Sedangkan Mia yang ngeh itu siapa, dengan panik dia menepuk pundak Rea.

"Apa sih, Mi?" Dengan malas Rea singkirkan tangan Mia kemudian merapikan buku-bukunya.

"Liat itu siapa!"

"Alah paling juga Re-"

"Rea?!" gerakan Rea terhenti saat mendengar suara itu. Suara yang sangat familiar ditelinganya, suara yang sangat ia rindukan. Rea menoleh untuk memastikan dan benar itu dia. Sahabat yang selama ini jauh darinya.

"Devan!" seketika Rea berlari ke arah Devan dan memeluknya. Rea rindu, sangat rindu. Begitupun Devan.

Semua orang terperangah menyaksikan kejadian itu, termasuk Aji dan Mia. Pasalnya selama ini Rea tidak pernah menunjukkan ekspresi sebahagia itu saat bertemu dengan seseorang.

Kawan JalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang