Lima

14 4 6
                                    

[Aurea Moza]

Seperti janjinya tadi pagi, setelah pulang sekolah Rea akan menemani Mia membeli buku. Dan beginilah akhirnya, Mia sibuk dengan dunianya sendiri, memilih buku yang sangat Rea tidak sukai.

Rea suka berkhayal sedangkan Mia menyukai hal-hal yang realistis. Dari situ sudah sangat terlihat bahwa jenis buku yang mereka sukai juga bersebrangan. Akhirnya, Rea memilih berkeliling dirak buku Novel. Dia sedang mencari buku Kata karya Rintik sedu. Sudah berulang kali dia mencari buku itu ke toko-toko buku, tapi hasilnya masih saja sama. Nihil. Mungkin ini yang dinamakan Cinta diwaktu yang salah. Terlambat.

"Buku yang aku cari udah ketemu. Kamu mau cari sesuatu dulu nggak, Re?" tanya Mia yang hanya dijawab gelengan oleh Rea. "Belum dapet juga buku Katanya?" lanjutnya.

"Belum, nggak tau lagi harus nyari kemana."

Mereka berjalan menuju kasir.

"Ngonlen aja kenapa sih, Re."

"Kamu tau sendiri 'kan, Mi kalau aku tidak begitu suka beli barang online."

Setelah keluar dari toko buku mereka memilih untuk mampir di foodcourt sebentar. Perut mereka keroncongan lantaran tadi siang memang sudah mereka rencanakan tidak akan membeli makanan di kantin.

Tubuh Rea tiba-tiba mematung saat belum sempat mereka menginjakkan kaki ditempat tujuan. Badannya gemetar, matanya memanas. Mia yang menyadari perubahan Rea mengikutin arah pandangnya.

"Re," panggil Mia seraya memegang pundak sahabatnya itu kala mengetahui Om Danu- Ayah Rea lah yang menjadi penyebab keterpakuannya.

"Aku mau pulang,"

Seakan ada ombak besar yang tengah menerpanya. Hancur berantakan. Seperti itulah kiranya perasaan Rea saat melihat Ayahnya memegang tangan wanita lain. Wanita yang Rea duga sebagai rekan kerjanya.

Pergi. Rea memilih meninggalkan tempat itu sebelum hal yang tidak dia inginkan terjadi. Sedangkan Mia mengikuti langkah Rea tanpa banyak bertanya. Dia tahu betul bahwa sahabatnya itu hanya butuh waktu untuk sendiri.

***

Keesokan harinya saat di sekolah, ekspresi Rea masih tetap sama. Kosong. Datar. Mia yang tengah duduk disampingnya pun tidak tahu harus berbuat apa. Tidak tahu juga bagaimana cara menghibur Rea.

"Re?"

Entah sudah berapa kali Mia mencoba mengajak Rea berbicara.

"Aku nggak papa kok, Mi. Kamu tenang aja. Aku hanya sedikit kaget," Mia memilih diam. Memberi waktu Rea untuk menumpahkan perasaannya. "Sampai sekarang pun aku tidak tahu harus menunjukkan ekspresi seperti apa. Kemarin kamu sudah melihatnya sendiri tanpa aku harus bercerita panjang lebar."

"Aku tahu, Re. Rasanya pasti sakit."

"Sangat. Aku merasa dihianati."

"Udah coba bicara sama Om Danu?"

Rea menggeleng. "Mau bicara apa memangnya? Udah cukup jelas kemarin. Rasanya terlalu sakit kalau buat dibicarakan lagi."

"Ya.. Siapa tau 'kan kemarin cuma kesalahpahaman."

"Entahlah, Mi."

Mia mengelus pelan pundak Rea. Dia tidak tahu harus memberi tanggapan seperti apa lagi. Mulutnya bungkam. Ribuan kata yang biasanya keluar mendadak hilang. Lidahnya kelu seakan ikut merasakan kengiluan hati sahabatnya.

"Hai, Beb?" ucap Aji yang tiba-tiba sudah berada di depan bangku mereka. Mia hanya merotasikan bola matanya malas.

"Baru kali ini aku benar-benar tidak menyukai kehadiranmu, Ji."

Kawan JalanWhere stories live. Discover now