10. Keibuan - Keayahan

1.5K 292 152
                                    

Jisoo hanya bisa memperhatikan Seokmin dari jauh dengan bibir mengerucut. Kesal. Tadi Seokmin sempat memarahinya, karena tidak mau menurut. Niat Jisoo sangat baik padahal. Hendak membantu pemuda berhidung mancung itu berkebun.

Tentu bukan tanpa alasan pula Seokmin melarang Jisoo ikut berkebun hari ini. Biasanya ia selalu mengizinkan Jisoo ikut, asalkan tidak berbuat yang aneh-aneh. Tapi untuk hari ini, pekerjaan Seokmin yang tersisa hanyalah mencangkul tanah. Menyiram sudah dilakukan Seokmin sebelum Jisoo datang lalu mengajukan diri untuk ikut bekerja. Dan mencangkul adalah sebuah pekerjaan yang tidak mungkin pernah bisa Jisoo lakukan. Jadi lebih baik Jisoo diam di rumah, daripada membuat pekerjaan berat Seokmin hari ini terhambat hingga berjalan lambat.

Terlalu bosan, akhirnya Jisoo meninggalkan halaman belakang. Dengan wajah masam yang belum juga memudar. Masuk ke dalam rumah, tapi tidak berhenti sampai di situ. Gadis bermarga Hong itu terus berjalan hingga sampai di depan pintu utama. Dibuka. Senyumnya yang sempat hilang kini malah mengembang sempurna.

Jika di halaman belakang rumah aroma rerumputan yang baru saja ditebas tercium kuat, di halaman depan ini memiliki udara yang terasa sangat sejuk tanpa adanya bau-bauan. Rasa kesal Jisoo terhadap Seokmin jadi menguap seketika. Tertiup angin yang berembus lembut.

Baru selangkah turun ke teras rumah, samar Jisoo bisa mendengar obrolan seseorang. Dengan segera Jisoo menelisik sekitar. Berhasil menangkap pergerakan dari sisi kanan jalan. Semakin lama, suara tersebut semakin jelas terdengar. Hingga beberapa saat kemudian, akhirnya orang tersebut melewati rumah Seokmin. Seorang ibu muda dengan bocah laki-laki berumur kira-kira 2 tahun. Jelas bocah itu baru belajar berjalan. Terhuyung melangkahkan kaki kecilnya di atas tanah yang tidak rata. Kerikil kecil di mana-mana. Dengan telaten si ibu muda memegangi kedua tangan anaknya.

Ibu muda itu menoleh, Jisoo segera melambai.

"Lihat... Ada noona cantik," kata ibu muda itu.

Jisoo tertawa. Bergegas mendatangi. "Halo... Siapa namamu?"

"Namaku Choi Seunggie, noona..." Si ibu menyahuti, dengan suara dibuat-buat seolah anaknyalah yang telah menjawab pertanyaan Jisoo.

"Seunggie-ya... Kamu tampan sekali... Ah, lihat... Bulu matanya lentik. Gemasnya..." Jisoo tidak tahan untuk tidak menyentuh pipi Seunggie.

Sang ibu ikut tertawa. "Maklum, tertular ayahnya."

"Oh, ayahnya juga memiliki bulu mata selentik ini? Aku iri sekali..."

"Lebih lentik dari Seunggie, malah. Ah ya, perkenalkan, namaku Yoon Jeonghan."

Dengan antusias Jisoo ikut mengulurkan tangan. "Jisoo..."

"Kamu..." Jeonghan ragu-ragu hendak bertanya. Melirik rumah Seokmin beberapa kali. Khawatir akan salah bicara. "Tinggal di sini? Saudaranya Seokmin, atau..."

Suasana yang sebelumnya akrab kini tiba-tiba berubah menjadi sedikit canggung. Jisoo menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Tidak mungkin ia mengatakan hal yang sebenarnya. Sedikit berbohong adalah jalan satu-satunya. Fakta bahwa warga desa tidak terlalu mengetahui berita apa yang tengah heboh diperbincangkan di dunia maya sungguh menguntungkan. Setidaknya identitas asli Jisoo tidak sampai ketahuan oleh mereka. "Aku temannya Seokmin. Kebetulan sedang mengambil cuti kerja. Jadi ya... Aku menginap saja ke sini. Jenuh dengan suasana Seoul."

"Wah... Aku tidak menyangka Seokmin memiliki kenalan di Seoul. Selama ini aku pikir dia ke sana hanya untuk mengantarkan pesanan."

Jisoo tertawa canggung. Khawatir kebohongannya terbongkar. "Ya... Awal kami berkenalan juga saat Seokmin mempromosikan minumannya. Oh, boleh aku menggendong Seunggie sebentar?"

The Princess Without A Palace (✓)Where stories live. Discover now