Epilog

2.4K 289 202
                                    

"Memanggilku?" Jisoo menyembulkan kepala di balik pintu. Menatap Seokmin bingung. Kekasihnya itu, atau yang lebih tepatnya tunangannya itu, tengah terduduk di dalam kamar. Menghadap sebuah guci yang bagian atasnya ditutup dengan kain putih usang. Saking usangnya, kain tersebut telah berubah warna menjadi kekuningan.

"Memangnya siapa lagi yang kupanggil sayang selain kamu?"

Mendengarnya, Jisoo jadi terkekeh geli. Mengangguk. Turut masuk ke dalam kamar Seokmin. Meski sudah melangsungkan acara pertunangan minggu lalu, tentu mereka berdua masih tidur secara terpisah. Namun sedikit demi sedikit Jisoo telah memindahkan beberapa barang pribadinya ke rumah sederhana Seokmin. Termasuk laptop dan komputer, agar ia masih bisa memantau perusahaan meski berada di desa. "Apa itu? Guci dari tanah liat?"

Seokmin menganggukan kepala. Menunggu Jisoo turut duduk terlebih dulu, baru menyingkirkan kain penutupnya. Membuat mata gadis bermarga Hong itu membulat sempurna. Guci tanah liat setinggi 30 senti itu telah dipenuhi oleh lembaran uang. Tentu ini bukan pertama kalinya Jisoo melihat uang dalam jumlah banyak. Bahkan jika dihitung, tentu uang yang Jisoo miliki jauh lebih banyak dari yang Seokmin tunjukan sekarang ini. Namun tetap saja. Jisoo tidak terpikir sama sekali kalau selama ini Seokmin memiliki uang tabungan yang cukup banyak.

"Aku pernah cerita ke kamu tentang cita-cita, kan?" tanya Seokmin. Sekaligus menghentikan keterkejutan Jisoo. Menarik perhatian.

Untuk menjawab pertanyaan ini, Jisoo diam sejenak. Bukan berarti ia tidak ingat. Tentu saja Jisoo masih ingat. Salah satu kenangan manis mereka. Meski sering bertengkar, Seokmin selalu memperlakukannya dengan cara yang manis dalam beberapa kesempatan. "Waktu itu... Kita duduk di halaman belakang, kan?"

Seokmin senyum. Jawaban Jisoo 100 persen benar. Sekaligus tidak menyangka bahwa cita-citanya selama ini telah berada di depan mata. "Aku bilang ke kamu kalau cita-citaku sudah sangat dekat, namun sedikit bergeser. Sekarang aku mau bahas itu ke kamu. Boleh aku menceritakannya dari awal?"

"Kenapa masih bertanya..." Jisoo meringis. Mengerucutkan bibir.

Seokmin berhasil tertawa dibuatnya. Mengusak rambut Jisoo dengan gemas. "Cerita ini terlalu panjang. Aku khawatir kamu akan mati bosan mendengarnya."

"Semua hal tentang kamu selalu menarik bagiku."

Ah... Tolong cegat Seokmin agar tidak memakan Jisoo sekarang juga. Sepertinya Seokmin-lah yang akan mati di tempat, akibat terlalu gemas dengan setiap kalimat dan tingkah laku yang Jisoo tunjukan.

Satu-satunya cara agar kisah ini terus berlanjut, Seokmin harus merasa cukup dengan mencubit pipi kiri Jisoo. Ditarik pelan hingga tunangannya itu melakukan pemberontakan kecil. Tertawa bersamaan setelahnya. Cukup. Seokmin memulai kisah lamanya.

"Lulus SMA, aku bertekat fokus menjadi petani ginseng. Aku ingin mengembangkan kebun peninggalan kedua orangtuaku ini. Jadi semenjak itu, sedikit demi sedikit aku menyimpan penghasilanku yang tidak seberapa di dalam guci ini. Targetku, di umur 32 tahun baru tabungan ini dibuka dan dipakai untuk membeli tanah. Menambah luas lahan kebun ginsengku. Selain itu, aku sama sekali tidak berpikir hendak merenovasi rumah ini. Cukup dengan perbaiki beberapa bagian yang sudah lapuk, agar rumah ini bisa terus berdiri dengan kokoh. Tanpa mengubah bangunan aslinya. Karena rumah ini adalah peninggalan yang paling berharga menurutku. Terdapat banyak kenangan manis selama orangtuaku masih hidup."

Jisoo menggigit bibir bawah kuat-kuat. Terjawab sudah pertanyaannya selama ini. Pertanyaan yang sangat ingin Jisoo ajukan sejak pertama kali tiba di rumah ini. Kenapa Seokmin masih begitu betah tinggal di rumah yang semuanya serba tradisional? Kamar mandi dan dapur terdapat di luar rumah, hingga memasak masih dengan menggunakan tungku. Jisoo menyesal dan merasa bersalah karena sempat mengeluhkan kondisi rumah ini. "Tapi sekarang umurmu baru 30 tahun. Harusnya dipertahankan 2 tahun lagi."

The Princess Without A Palace (✓)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora