13. Balada Bubur

1.4K 287 148
                                    

"Kalau aku berhasil bertahan di rumah Seokmin sampai 2 bulan, bagaimana?"

"Bagus. Tapi keputusan tetap ada di tangan kamu. Mau lanjut dan nikah sama Seokmin, Mama dan Papa sangat setuju. Kalau kamu putuskan tidak mau menikah dengan Seokmin, juga tidak apa. Tapi ingat, setelah itu kamu harus sesegera mungkin mencari pasangan. Kalau tidak, kami akan mengadakan sayembara cinta yang kedua untuk kamu. Bagaimana? Mau berhenti sekarang? Tidak apa jika kamu sudah tidak betah tinggal di desa. Pulanglah hari ini juga. Tapi karena sekarang baru selama satu bulan kamu tinggal bersama Seokmin, ya terpaksa kami langsung mengadakan sayembara cinta lagi untukmu."

Jisoo mengerucutkan bibir. Ada banyak pilihan, dan semuanya sama sekali tidak ada yang ia inginkan. Mau tidak mau, Jisoo hanya bisa memilih pilihan teraman. "Aku betah tinggal di sini. Ya... Walaupun Seokmin sedikit galak, itu tidak masalah. Aku juga sering memarahinya. Kami berdua seimbang. Kemarin Seokmin juga sempat berjanji akan bersikap lebih ramah kepadaku. Entah apa yang terjadi terhadap otaknya. Sepertinya saat itu sedang korslet. Karena besoknya, dia langsung galak lagi."

Mama Jisoo tertawa. "Kami sudah menduganya. Seokmin memang sangat cocok untukmu. Dia punya cara tersendiri untuk membuatmu betah tinggal bersamanya."

Jisoo sangat ingin membantah ucapan mamanya. Cocok apanya? Sehari saja mereka bisa berkelahi belasan kali. Kalau sampai mereka berdua menikah, bisa-bisa anak mereka akan bunuh diri karena orangtuanya terus bertengkar tidak karuan. Dan lagi, rasanya Jisoo sangat ingin mengatakan bahwa Seokmin telah memiliki perempuan lain di desa ini. Namun urung, karena khawatir orangtuanya akan langsung mengirimkan orang untuk menjemput Jisoo pulang. Lalu beberapa hari kemudian sayembara cinta berikutnya diumumkan. Oh ya Tuhan... Itu tidak boleh terjadi.

"Lihat saja nanti. Paling malah Seokmin yang akhirnya menolakku karena kami sering bertengkar. Ah, sudah dulu ya, Ma. Demam Seokmin belum turun. Jam 6 tadi aku sempat diam-diam masuk ke kamarnya. Masih tidur. Badannya sangat panas. Kemarin dia pulang kehujanan. Nanti aku telepon lagi."

Telepon terputus. Jisoo terdiam memandangi ponsel genggamnya yang menampilkan home screen foto dirinya saat berlibur di Paris. Pemandangan Menara Eiffel sungguh indah. Membuat Jisoo sedih. Kalau saja acara sayembara aneh itu tidak pernah dilaksanakan, sekarang ini Jisoo pasti sedang berkeliling dunia dengan dalih bisnis. Tarik napas, hembuskan. Yah... Ini tidak terlalu buruk. Kalau saja Jisoo menunjuk salah satu peserta sayembara, pasti Jisoo sudah berstatus sebagai istri orang. Benar, kan?

Berdiri, membuka jendela. Sejuknya udara pagi tidak pernah gagal membuat Jisoo merasa jauh lebih baik.

Yang Jisoo lakukan pertama kali setelah berhasil keluar dari kamar adalah menengok keadaan Seokmin. Lupakan acara cuci muka. Biarlah wajah jelek bangun tidurnya terlihat oleh Seokmin. Toh Seokmin sudah sering melihatnya. Dengan sangat hati-hati ia coba membuka pintu kamar Seokmin sedikit. Berusaha mengintip melalui celahnya. Seokmin masih tertidur pulas dengan memeluk selimut. Jisoo merasa sangat lega. Membuka pintu lagi dengan cukup lebar agar badannya muat menelusup masuk ke dalam. Duduk tepat di mana Seokmin menghadap.

Menyentuh kening. Demam Seokmin belum juga turun. Mata Jisoo beralih ke bagian kaki. Kaki lelaki berhidung bangir itu ditekuk. Jelas sedang menahan rasa dingin. Sepelan mungkin Jisoo merubah posisi duduknya ke bagian kaki. Membenarkan posisi selimut. Memastikan tidak ada celah untuk udara masuk. Setelahnya, Jisoo berpindah lagi ke hadapan Seokmin. Membuatnya tidak sengaja menyenggol tangan Seokmin, hingga terbangun.

"Keluar," perintah si pemilik kamar. Dengan suara serak.

Tidak terkejut. Jisoo ingat persis dengan kejadian kemarin malam. "Adikmu ikutan sakit? Maaf... Tapi salah kamu juga, cari gara-gara sama aku."

The Princess Without A Palace (✓)Where stories live. Discover now