11. Curhat Seokmin

1.5K 296 120
                                    

"Taruh di situ saja."

Jisoo mengangguk. Menaruh beberapa tumpuk peralatan makan kotor di tempat yang Seokmin minta. Setelahnya, Jisoo masuk lagi ke dalam. Membereskan sisa-sisa makanan yang masih tertinggal di ruang tengah tempat mereka menyantap hidangan makan malam tadi. Mematikan televisi. Diangkut lagi ke dapur. Seokmin telah memulai kegiatannya mencuci piring.

Mata Jisoo mengitari sekitar. Menemukan lap tangan bersih yang memang biasanya digunakan Seokmin untuk mengelap peralatan makan yang masih basah. Ikut duduk di samping Seokmin. Mengeringkan peralatan makan yang telah selesai Seokmin bilas.

Kegiatan rutin. Setiap selesai makan, entah itu sarapan, makan siang, atau pun makan malam, Seokmin dan Jisoo rutin membersihkannya bersama. Meski sama-sama diam. Asik dengan kegiatan masing-masing. Namun tentu, bagi Seokmin suasana seperti ini jauh lebih baik daripada suasana sebelum Jisoo mulai menginap. Membuat Seokmin merasa tidak begitu kesepian lagi, karena selalu ada orang lain di sampingnya.

"Mau ke mana?" Seokmin menegur, begitu melihat Jisoo langsung beranjak hendak masuk ke dalam kamar. "Jangan langsung tidur. Tidak baik baru selesai makan langsung tidur. Mau perutmu buncit?"

Secara otomatis ucapan Seokmin membuat Jisoo memegangi perutnya yang rata. Mengerucutkan bibir. "Tidak... Ini masih rata, lihat?"

Seokmin hampir saja tertawa dibuatnya. Hanya hampir. Sebisa mungkin ia menahan tawa. Sedang tidak ingin bercanda. Ada hal penting yang hendak Seokmin bicarakan dengan serius. "Mau mengobrol dulu?"

Alis Jisoo terangkat naik. Meski belum menyetujui ajakan Seokmin, ia coba ikut saja ke mana pemuda Lee itu melangkah. Berhenti di teras belakang rumah. Duduk menghadap kebun ginseng kebanggaan Seokmin. Malam itu, bulan bersinar amat terang. Sepertinya sedang bulan purnama. Mungkin sebab inilah Seokmin mengajak Jisoo keluar rumah. Menikmati pemandangan langit malam yang sebelumnya tidak pernah Jisoo lihat. Langit desa dan langit kota benar-benar berbeda.

"Mau kubuatkan teh?" Jisoo coba mencairkan suasana.

Seokmin menjuntaikan kakinya ke tanah. Berbeda halnya dengan Jisoo yang tidak berani melakukannya. Keadaan di tanah tidak terlihat dengan jelas. Jisoo takut kalau tiba-tiba saja seekor ular melilit kakinya. "Aku sudah sangat kenyang. Kalau kamu mau, buat saja untukmu sendiri."

"Tidak. Aku juga sudah sangat kenyang. Masakanmu enak. Kalau aku sudah kembali ke Seoul, masakanmu pasti menjadi yang paling pertama aku rindukan."

Di suasana malam yang sangat indah itu, samar Seokmin mengukir senyum. Berharap senyumannya tidak terlihat oleh Jisoo. Entah kenapa pujian Jisoo membuatnya senang. Mungkin karena Jisoo adalah orang pertama yang mencicipi masakan Seokmin. Karena memang, sejak Seokmin mulai hidup sebatang kara, ia hanya pernah memasak untuk diri sendiri. Kalau pun ada keluarga dari kedua orangtuanya yang bertamu, tante Seokmin-lah yang menghidangkan banyak makanan. Seokmin hanya ikut membantu. Bahkan Jihoon pun, selaku salah satu teman terdekat Seokmin, tidak pernah mencicipi masakannya.

Setelah cukup lama diam, barulah Seokmin mulai bercerita. "Sejak 12 tahun lalu, setelah aku hidup sendiri tanpa kedua orangtua, hidupku tidak ada yang berubah selain saat awal ditinggalkan aku masih berada di bangku SMA dan sesekali menangis. Lihat sendiri kan bagaimana monotonnya hidupku? Sangat membosankan. Satu-satunya hiburan adalah sesekali berkumpul dengan teman jika kalender sedang berwarna merah. Kami senang melakukan tanding sepak bola di lapangan tempat kamu kabur bersama banyak bocah kemarin."

Jisoo menganggukkan kepala. Meski kesannya menghina, tapi Jisoo jujur saja. Kegiatan Seokmin sehari-hari terlalu monoton hingga rasanya sangat membosankan.

Seokmin menarik napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya. "Kebun kecil ini adalah salah satu peninggalan orangtuaku yang paling berharga. Karena sejak kecil aku selalu membantu mereka mulai dari menanam hingga memanen dan mengolahnya menjadi minuman, begitu ditinggalkan mereka, keahlianku satu-satunya ya hanya ini. Tidak ada pilihan lain. Aku harus melakukannya demi bertahan hidup. Tapi aku sama seperti anak muda lainnya. Memiliki cita-cita dan impian. Selama 12 tahun ini, sedikit demi sedikit aku terus menggali kesempatan. Sekarang tinggal sedikit lagi."

The Princess Without A Palace (✓)Where stories live. Discover now