Part 4 - Di Lapangan

1.1K 152 61
                                    

"De, lihat tuh." Biya menyenggol lengan Dea. "Akhirnya dia datang juga."

Biya akhirnya ikut juga ke lapangan badminton setelah dipaksa oleh Zoya, meskipun di antara mereka bertiga hanya Dea yang mengenakan sepatu dan kostum olahraga. Dea menuruti kata-kata Zoya dan pulang sebentar untuk mengambil sepatu olahraga.

Jarak rumah Dea dengan lapangan badminton hanya sejauh lima belas menit jika naik motor. Masih ada cukup waktu untuk mengejar waktu badminton yang dimulai satu jam setelah jam pulang kantor. Biya yang tadi mengantar Dea, sementara Zoya masih disekap oleh bu Hana.

Begitulah kehidupan hotelier. Tidak ada yang namanya pulang tepat waktu seperti karyawan di perusahaan lain. Bahkan yang lebih parah, saat karyawan perusahan lain cuti bersama, para hotelier masuk bersama. Jika orang lain saatnya liburan, maka bagi hotelier itu berarti saatnya kejar setoran.

"Anjir. Ganteng juga nih laki. Andai dia bukan gebetan lo, gue karungin juga nih orang," Zoya berkomentar sambil berdecak penuh kekaguman.

Dea memutar kepala ke arah yang dimaksud Zoya dan Biya. Saat itulah, Dea merasa asupan oksigen di sekitar lapangan mendadak berkurang. Dari kejauhan, ia bisa melihat pujaan hatinya yang tampan. Dean Andrestha.

Lelaki itu berjalan santai sembari menenteng sebuah tas olahraga. Baju kerja yang biasa ia kenakan telah diganti dengan kaos berwarna putih yang membuat kulitnya semakin terlihat jernih. Kaos itu dipadukan dengan celana pendek berwarna biru tua dan sepatu olahraga berwarna senada. Hilang sudah kesan Dean, seorang F&B Manager yang serius. Berganti dengan Dean yang tampak sportif, flamboyan, dan tentu saja tampan.

"Woi, woi. Lo nggak kesambet 'kan?" Zoya melambaikan tangan tepat di hadapan wajah Dea.

"Apaan sih lo, Zo," Dea berkata dengan senyum merekah dan wajah memerah. "Kagak bisa banget sih lo lihat gue seneng."

"Habis lo lihat si Dean segitu amat. Hampir aja lo gue pinjamin mangkok sama mang bakso."

"Buat apaan?"

"Buat nampung iler lo, kali aja lo ngeces. Hahaha," Zoya tergelak.

"Sial lo, Zo."

"Tapi gue setuju sih, Dean emang kelihatan cakep banget malam ini," ujar Zoya dengan wajah berseri-seri.

"Excuse me? Hanya malam ini? Dia itu cakep setiap hari," protes Dea.

"Ya iyalah lo suka. Mau Dean baru bangun tidur juga pasti lo bilang cakep."

"Aamiin. Gue didoain bisa lihat Dean bangun tidur. I wish ya, Zo. One day gue bakal bisa lihat dia bangun tidur di samping gue."

"Nikah dulu, woi." Zoya menyenggol Dea.

"Maksud gue, gue lihat Dean bangun tidur pas gue udah jadi istrinya. Lo mikir apaan?"

Zoya hanya tertawa. Sementara Biya tak berkomentar. Ia sedang asyik menikmati lumpia basah yang ia beli dari penjual di depan lapangan.
Dean berjalan mendekat, napas Dea serasa tercekat. Apalagi tatkala Dean melemparkan sebuah senyuman, rasanya Dea hampir pingsan.

Ya Tuhan, dia senyum sama gue. Nggak salah ini?

Tentu saja salah. Karena Dean bukan tersenyum kepada Dea melainkan kepada Deddy yang sedang duduk di bangku di hadapan Dea.

"Ti mana wae, mang? Meuni lila," Deddy menyapa. - Dari mana aja? Lama banget.

"Biasa, ngejemput kabogoh heula, sahut Dean ringan, namun tak urung membuat hati Dea yang tadi sempat berbunga-bunga, seketika patah.
- Biasa, menjemput pacar dulu.

Love PotionWhere stories live. Discover now