Part 8 - Makan Malam

943 148 41
                                    

Dea melangkah perlahan ke arah restoran. Semakin dekat ia dengan meja dimana AT, Dean, dan Selly berada, hati Dea semakin tak karuan rasanya. Dea menarik napas. Dari kejauhan ia bisa melihat mereka bertiga bercengkrama dan tertawa layaknya orang yang sudah lama saling mengenal.

Hotelier memang seperti itu. Mereka memiliki kemampuan untuk membuat orang yang bahkan baru dikenal merasa nyaman. Bahkan ada orang-orang dengan kemampuan luar biasa yang bisa membuat tamu curhat panjang lebar pada kali pertama berjumpa.

Hotelier memang seperti itu. Sayangnya, saat ini Dea merasa benci menjadi hotelier. Andai ia bukan hotelier, tentu ia tak harus bersikap ramah atau berpura-pura gembira pada saat hatinya sedang tak baik-baik saja. Untuk kali pertama, Dea tidak bahagia dengan profesi yang ia miliki.

Dea menarik napas sekali lagi sebelum ia mengubah wajah dari muram berganti dengan senyuman. Senyuman palsu ala hotelier lebih tepatnya.

"Selamat malam," Dea bersuara.

Semua menoleh kepada Dea. AT dan Selly tersenyum ramah. Hanya Dean yang tidak.

"Silakan duduk," AT berkata.

Sambil mengangguk, Dea menarik kursi yang berhadapan dengan kursi yang ditempati Selly.

"Sudah kenal?" AT bertanya.

Dea menggelengkan kepala.

Belum kenal dan tidak ingin kenal.

Selly mengulurkan tangan seraya menyebutkan nama. Dea melakukan hal yang sama. Tangan Selly lembut sekali. Perempuan itu juga wangi. Dea jadi kecil hati.Tiba-tiba ia kehilangan rasa percaya diri di hadapan Selly.

Perempuan itu tersenyum ramah dan Dea bisa melihat jelas raut wajah Selly yang bisa dikatakan sempurna.

Alisnya tebal bagaikan disulam. Kedua matanya besar dan berbinar. Hidungnya mancung. Bibirnya ranum. Semua berpadu dengan indah di atas wajah berbentuk oval dengan kulit yang putih seperti susu dan lesung pipit yang manis seperti madu. Itu masih ditambah dengan tinggi badan di atas rata-rata dan garis wajah khas Kaukasia yang menandakan Selly memiliki campuran darah bule yang mengalir di tubuhnya.

Dea semakin kecil hati. Kenapa Selly sempurna sekali. Kenapa ia tidak dilahirkan sejelita Selly. Dengan semua kesempurnaan yang Selly punya, tidak salah jika Dean jatuh cinta. Dengan semua kesempurnaan yang tidak ada pada dirinya, tidak tahu diri namanya jika Dea ingin bersaing dengan Selly.

Ini sih bukan lagi pungguk merindukan bulan, tapi pungguk merindukan planet Pluto, saking jauhnya, saking mustahilnya.

"Ambil makanan dulu," AT berkata kepada Dea.

Sejujurnya, Dea tak ingin makan. Ia hanya ingin pergi dari restoran ini, jika saja ia bisa memilih. Dea merasakan sayatan di hatinya. Sudah sejak lama Dea bermimpi bisa makan malam bersama Dean, tapi hanya berdua. Bukan ditambah kehadiran AT dan Selly di antara mereka. Memang pada akhirnya ia dan Dean bisa berada di satu meja makan yang sama, tapi bukan ini yang Dea mau, bukan ini yang selama ini Dea tunggu.

"Miss Dea, mau ambil makanan dulu?" AT mengulang ucapan.

Dengan enggan, Dea beranjak dari kursi dan melangkah menuju meja prasmanan dimana aneka makan terhidang sejauh mata memandang. Pilihan Dea jatuh kepada som tam, salad khas Thailand yang terbuat dari irisan pepaya mentah dengan rasa pedas dan agak asam. Hanya itu yang ingin ia ambil saat ini, setidaknya untuk basa basi. Perempuan mana yang bisa menikmati makanan saat suasana hati sedang berantakan.

Sebelum kembali ke meja, Dea menghampiri Sopian dan berkata, "Aku nggak jadi pesan makanan. Aku makan di sini aja."

"Yakin? Pak Yana lho yang masak malam ini."

Love PotionWhere stories live. Discover now