27. PENEMUAN

1K 156 15
                                    

Di dekatnya, waktu terasa cepat. Jauh darinya, waktu begitu lambat.
Ah, kau itu candu.

Ree Caltha

***

Belati itu masih di tangan Andre. Matanya tampak berbinar mengamati penemuannya, bahkan ia tak berkedip sekali pun saking terpesonanya.

"Na, lu liat, kan?" tanyanya padaku dengan nada tak percaya. "Ini pasti buktinya!" serunya bersemangat sambil memamerkan belati berkilat itu. Ia kegirangan.

Aku meneguk ludah yang seperti membatu.

Belati itu seperti yang digunakan pembunuh di dalam mimpiku! Tak bisa dijelaskan kenapa aku mengetahuinya, yang jelas rasanya memang persis seperti itu.

Ini tidak mungkin, Na! Tapi belati itu benar-benar persis di mimpimu.

Tenang, Na. Ini pasti cuma kebetulan saja. Nggak mungkin kamu bisa melihat pembunuhan lewat mimpi.

Dua sisi diriku saling berpendapat. Satu membenarkan, satu lagi membantah.
Aku berusaha menenangkan diri dari pergolakan batin. Walaupun keterkejutanku belum sembuh benar.

Aku melemparkan pandang pada Rian yang sedari tadi diam saja. Ia hanya mengangkat bahu sambil bersadar pada dinding pagar.

"Kenapa kamu yakin banget sih, Ndre? Itu nggak membuktikan apa-apa tau!" sanggahku yang langsung membuatnya berhenti mengagumi penemuannya.

"Lu nggak liat? Ini ada bercak darahnya!"

Ia mendekatkan benda itu padaku sembari menyenter. Memang di ujungnya terlihat darah yang sudah mengering. Sementara gagang keperakannya terdapat sebuah ukiran indah yang membentuk satu huruf. Tunggu! Huruf R.

"Sebentar, Ndre!" perintahku seraya mengambil benda tajam itu. Lalu mengamatinya lebih teliti.
Memang benar. Huruf R diukir sangat teliti dan indah.

"Itu huruf R kan, Na?"

Andre ikut meneliti. Mencondongkan kepala ke arahku.
Aku mengangguk mengiyakan. Tidak berani mengatakan apapun.

Aku sedang berusaha menghentikan berbagai pikiran buruk. Tahu-tahu Andre sudah bangkit berdiri. Menegapkan badan di hadapan Rian yang sangat santai menghadapinya.

"Nah, nggak salah lagi! Itu lu, kan?!" tuduhnya sambil menunjuk Rian.

Mulai deh Andre.

Rian mengerutkan kening. Raut wajahnya kebingungan.

"Lu nggak usah drama! Lu yang bunuh dia, kan?" tegas Andre berapi-api sembari terus menunjuk Rian. "Ayo jawab!"

"Buktinya apa, hah?" balas Rian tak kalah sengit. "Mentang-mentang nama gue awalnya R, lu nuduh gue yang bunuh? Heh, nggak waras lu!"

Rian tertawa meremehkan. Membuat Andre mungkin semakin merasa diremehkan. Terbukti tangannya terkepal dan hendak berayun di udara.

"Ini buktinya! Lu mau ngeles apa lagi, hah?!"
Andre menunjukkan belati di hadapan Rian. Seakan ia sudah memergoki Rian membunuh gadis itu.

Rian tidak terima. Ia juga terus-menerus membantah.

Aku segera bangkit berdiri. Mengambil posisi di antara keduanya.

"Cukup!" bentakku pada keduanya. Mereka menurut.

"Udah, Ndre. Ini buktinya kurang. Kamu nggak bisa asal nuduh begitu."

Aku menengahi. Bukan bermaksud membela Rian.
Namun, penemuan belati itu memang tidak cukup memvonis Rian sebagai pelakunya. Itu tidak adil.

Namun, berbeda dengan Andre, ternyata ia berpikir lain tentang ucapanku barusan.

"Ck! Udah gue duga. Lu nggak mungkin nuduh dia. Secara lu suka sama dia!"

Andre menggertakkan rahang.

Aku memelototinya. Bisa-bisanya ia menyimpulkan seperti itu.

"Andre! Ini nggak ada sangkut pautnya, ya!" bentakku yang masih memegangi belati. Tak peduli jika belati ini bisa membungkam mulutnya. Pasti akan kulakukan. Ia sudah di luar batas.

"Alah. Lu udah kena hipnotis, Na. Bisa-bisanya lu suka ama hantu. Nggak waras!"

Ini benar-benar sudah di luar kendali. Andre kelewatan.

Tanpa sadar tanganku melayang di pipi kanan Andre. Menamparnya keras hingga menimbulkan bunyi.

Sedetik kami semua diam.

Andre tampak terkejut. Mata elangnya memandangiku. Tak percaya.

Aku tak bermaksud. Sungguh!
Aku benar-benar tidak bermaksud menamparnya.

"Gue balik."

Dua kata terlontar dari mulutnya dengan nada lemah.

Tanpa aba-aba, Andre pun berbalik. Memilih pergi. Meninggalkan aku yang menyesali perbuatan tadi.

Aku tidak bermaksud menamparnya, sungguh.

Andre berjalan semakin jauh. Tak sekali pun menoleh. Aku makin merasa bersalah. Sementara Rian di sisiku. terus melontarkan kata-kata bahwa aku tidak bersalah.

***

Rasanya waktu semakin cepat berlalu. Baru saja mataku bisa tertutup, suara kokok ayam sudah saling bersahutan.

Rasa malas untuk ke sekolah menjalar ke setiap inci tubuhku. Apalagi setelah mengingat kejadian semalam. Andre marah. Aku yakin ia pasti sudah tak ingin melihat wajah ini lagi.

Eh, tunggu. Kedengarannya bagus juga kalau ia marah. Aku tak perlu lagi mendengarkan tuduhan tak berdasarnya kepada Rian.

Setelah pergolakan batin yang cukup panjang. Aku memutuskan ke sekolah.
Enak saja. Ibu membanting tulang untuk menyekolahkan sementara hanya karena tidak mau bertemu Andre aku tidak ke sekolah. Aku jelas tidak mau terdaftar sebagai anak durhaka.

Setelah melakukan segala ritual yang biasa kulakukan sebelum ke sekolah. Aku berangkat seperti biasa.

Sampai di sekolah, dugaanku benar.

Andre berlagak tak melihatku saat melangkah memasuki kelas. Ia segera melempar pandangan ke arah lain ketika aku mendekati bangku. Hingga duduk pun, ia masih diam. Asyik dengan ponselnya.

Sifatnya itu sudah berlangsung selama tiga hari berturut-turut. Selama itu pula, ada yang aneh dalam diriku. Setiap ada kesempatan, aku selalu ingin menyapa cowok bermata elang di sebelah. Namun, urung kulakukan. Meliriknya saja tak berani, apalagi mau menyapa.

Aku tak suka keadaan seperti ini! Baru saja aku merasakan di dunia ini bahwa ada orang yang benar-benar peduli padaku selain ibu. Nyatanya sekarang, orang itu malah diam saja bahkan menganggap diri ini tidak ada. Aku kembali menjadi satu-satunya siswi di sekolah ini yang dikucilkan semua orang. Sepertinya sudah nasib.

Aku dan Andre. Kami sudah seperti dua anak kecil yang sedang bermusuhan gara-gara berebut sebuab permen, tapi permennya jatuh. Tidak dapat permen, kami akhirnya marahan. Ada-ada saja.

Seperti hari ini. Aku dan dia bertugas piket. Jadi, sebelum pulang sekolah kami harus membersihkan kelas bersama tiga orang teman lagi.

Kami membagi tugas, dua orang yang menyapu, satu orang membuang sampah, satu lagi mengatur kursi dan meja, dan satu lagi kebagian menghapus coretan di papan tulis.

Saat aku sedang menyapu, Andre yang bertugas menghapus papan tulis.
Berkali-kali aku menegur ia yang berjalan mondar-mandir di depan padahal papan tulis sudah bersih.

Namun, ia bebal sekali. Bahkan pura-pura tidak mendengar. Menjengkelkan! Akhirnya, aku mengalah. Menyapu kembali lantai yang seharusnya sudah bersih, tapi kembali kotor akibat ulah Andre yang sedang ngambek.

Tak sampai di situ saja. Akibat menyapu terlalu lama, aku ketinggalan angkot terakhir menuju rumah. Terpaksa aku jalan kaki sejauh 1 kilometer. Kau tahu rasanya seperti apa. Kaki mati rasa. Alhasil, kembali merepotkan ibu di rumah.

Beliau bersikeras memijat kakikku yang pegalnya minta ampun padahal beliau juga capek habis jualan.

Terkutuk si Andre!

Bersambung

Jangan lupa tekan ⭐

HANTU ANEH (END)Where stories live. Discover now