6(Enam)

1.2K 215 16
                                    


Pukul sudah menunjukkan jam setengah enam pagi. Gue bangun dari kasur, ngambil handuk, lalu langsung ke kamar mandi, siap-siap mau berangkat ke sekolah.

Sekitar dua puluh menitan gue udah siap semuanya.

Tingggg

Ponsel gue berbunyi, gue langsung ngambil ponsel yang tertera di meja belajar.

"Jaemin." gumam gue.

WhatsApp

Vin gue duluan berangkat ke sekolah, lo naik ojol aja y.

Gue menghela napas, rupanya Jaemin masih marah sama gue gara-gara kemarin. Gue mulai mengetik membalas chat dari dia.

Iya

Jeblakkkkkk

"Mamah." kaget gue ketika seseorang membuka pintu kamar dengan keras. Sudah terlihat jelas dari raut mukanya, ia sedang marah. Tapi, sejak kapan ia pulang? terus papah mana?

"Mamah kapan pulang? kok pulang gak bilang-bilang Vinkan?" ucap gue. Gue mendekati Mamah, berniat mau meluk dia. Mamah bukannya menerima pelukan gue, tapi ia mendorong gue dengan kasar.

Gue menundukkan kepala, berusaha menahan air mata gue. Baru kali ini Mamah gini sama gue.

"Dasar anak sialan!" ucap Mamah. Gue mendongakkan kepala, tertohok dengan ucapannya barusan.

"Gara-gara kamu, saya jadi kehilangan suami saya! seharusnya saya dulu gak ngelahirin kamu, seharusnya saya gugurin aja kamu ketika masih di dalam perut saya!" lanjutnya. Kedua matanya menatap gue dengan penuh kebencian.

"Mak-maksud mamah apa?" tanya gue bergetar.

"Rasya!" bentak Papah. Ia datang bersama laki-laki yang usianya mungkin gak beda jauh sama gue. Ia memakai baju seragam sekolah.

"Kamu gak seharusnya bilang gitu sama Vinkan!" ujar Papah tegas.

"Kenapa Mas kenapa hah?! gak boleh saya bilang gini sama anak sialan itu? biar dia tahu, bahwa saya menderita dengan kelahiran dia!"

"Mamah." lirih gue sambil terisak, omongan mamah seperti beribu ribu pisau yang menusuk tajam ke hati, sesek, sakit, itu yang gue rasakan.

"Jangan panggil saya Mamah! gak sudi saya punya anak yang ngehancurin kebahagiaan saya." Mamah menggretakan giginya.

Mamah mendekatkan dirinya ke gue, ia mencekik gue dengan keras. "Awww."

"Rasya lepasin!" titah Papah.

"Gak akan! kamu harus mati di tangan saya, gara-gara saya ngelahirin kamu anak perempuan, suami saya jadi gak punya anak untuk ngelanjuttin bisnisnya, jadi dia menikah lagi di belakang saya dengan perempuan lain! kamu tau betapa menderitanya saya hah?!"

"Mah le...pasin, sakit."

Papah ngehampiri gue, dia melepaskan cekikkan Mamah dari gue, lalu ia menampar Mamah dengan keras.

Plakkkkkk

"Mamah." lirih gue.

"Kamu mau bikin dia mati Ras? saya nikah sama Gea, tapi saya juga gak ninggalin kamu, gak talak kamu!"

Mamah terdiam, ia meraba pipinya yang merah itu. Ia mendengus kasar.

"Iya emang kamu gak talak saya! tapi kamu duain saya! mana ada wanita yang mau diduain, apalagi ini menikah di belakang saya, dan sudah punya anak pula." ucap Mamah, matanya tertuju pada seorang laki-laki yang tadi datang bersama Papah. Dan sekarang gue mulai paham.

"Maafin saya kalo saya udah nyakitin kamu, tapi saya mohon jangan ngelampiasin ke anak kamu, dia gak salah, saya yang salah." ucap Papah yang mulai melembut nada bicaranya.

"Karena saya ngelahirin anak perempuan, kamu jadi nikah di belakang saya." lirih Mamah pelan.

"Maaf." Papah mendekatkan dirinya ke Mamah, lalu memeluknya, ia mulai menenangkan Mamah.

"Saya janji gak bakalan ninggalin kamu, kita ke kamar ya, kita istirahat." mamah mulai tenang, ia mengangguk.

"Vinkan kamu sekolah sekarang, nanti takut telat, Hyunjin? kamu antar dulu Vinkan ke sekolahnya, baru kamu juga ke sekolah."

***

"Si Vinkan belum datang juga Na?" tanya Somi ke Jaemin.

Jaemin menggeleng. "Belum."

"Lo udah chat dia? telepon dia?"

"Nomornya gak aktif."

"Gak biasanya dia matiin Ponsel." sahut Mark.

Jaemin menghela napas "Gue telpon Bi Hani tapi gak di angkat-angkat, telepon nyokap dia lagi arisan."

"Kemana tu anak? padahal bentar lagi mau upacara." ucap Jeno.

"Mungkin dia ketiduran kali." sahut Haechan.

"Kalo dia ketiduran, mana mungkin pas gue chat gue duluan ke sekolah dia bales 'iya'" balas Jaemin.

"Ya lo kenapa pake duluan segala bangke." sahut Renjun.

Renjun benar, kenapa bisa Jaemin meninggalkan Vinkan duluan. Jaemin berdecak, kalau bukan karena malu, mungkin dia gak bakal pergi duluan ke sekolah.

"Kok perasaan gue gak enak ya?" gumam Somi.

"Gue juga." ucap Jaemin.

"Gak enak gimana?" tanya Chenle.

"Gue takut dia kenapa napa." balas Somi.

"Mungkin perasaan gue aja, yaudah gue duluan mau nyiapin upacara." lanjutnya yang diangguki oleh Jaemin, Haechan, Renjun, Mark, Jeno, dan Chenle.

Friendzone | Na JaeminWhere stories live. Discover now