Bab 12 - Berusaha Ikhlas

88 19 0
                                    

Manusia itu, hobi berharap, tapi lupa, semua juga memiliki konsekuensinya.

•••••

Kini saatnya Raffin melupakan Ana. Itu harus! Mau tidak mau itu harus dipaksa. Ana sudah digantung, Ana akan menjadi milik orang lain. Tak sepenuhnya akan menjadi sahabat Raffin, atau bahkan menjadi istrinya.

Raffin sadar, Tuhan tengah membalas dirinya. Merebut cintanya. Tentu itu menyakitkan. Akan tetapi, hal itu tidak merusak persahabatan mereka, bukan? Raffin harap seperti itu.

Duduk di kursi dekat jendela kamar adalah posisi Raffin sekarang. Melupakan Ana sama halnya dengan menggali tanah kubur. Membutuhkan extra yang kuat, walau sebenarnya mudah.

Melupakan? Mudah? Melupakan itu mudah? Ya! Seharusnya begitu, tapi seseorang yang pernah hadir dalam hidup kita, menghiasi warna-warna kehidupan, apalagi tidak dapat dibilang sebentar, itu susah. Melupakan itu tak semudah membayangkan. Ada banyak rintangan yang harus dilewati. Dimulai dari berhenti memikirkan dia, berhenti mencintai dia, berhenti berharap lebih pada dia. Dasar manusia, hobi berharap, tapi takut untuk terpelosok.

Sejak lamarannya ditolak. Raffin ingin pergi meninggalkan kotanya. Jakarta yang sudah ia tempati sejak dirinya masih kecil, dengan perasaan hancur ingin ia tinggalkan saja. Lebih tepatnya, pemuda itu ingin menghindari acara pernikahan Ana yang akan digelar dalam waktu dekat ini.

Pemuda itu beranjak dari posisi sebelumnya, ia mengambil ponselnya yang tergeletak di nakas. Segera ia memesan tiket keberangkatannya ke Bali. Buru-buru ia membereskan pakaiannya setelah mendapat tiket keberangkatan dua jam lagi.

Terdengar ketukan pintu di sela-sela itu. Berteriak memanggil namanya. Raffin berjalan mendekati pintu, segera membuka pintu tersebut.

“Papa? Ada apa, Pa?”

“Papa pingin bicara sama kamu,” kata Ridwan yang membuat mengmerutkan dahi. Bicara? Seperti ada hal yang penting.

“Bicara apa?”

“Kamu anak Papa, ‘kan.”

“Bukan. Raffin anak Bunda sekaligus Papa,” jawabnya terkekeh.

“Kalau begitu, Papa sama Bunda tentu mau yang terbaik buat kamu.” Tidak biasanya papanya ini berbicara hal terbaik. Anak itu penasaran. “Papa sama Bunda mau menjodohkan kamu dengan wanita pilihan kami,” kata Ridwan, Raffin melototkan matanya.

Laki-laki itu menghela napas gusar. “Pa! Raffin bukannya nggak mau. Raffin masih pingin sendiri. Jangan aneh-aneh dulu buat ngambil keputusan.”

“Fin!”

“Pa! Dengerin penjelasan Raffin dulu. Raffin nggak mau nanti menyesal. Raffin butuh waktu, Raffin sudah berniat meninggalkan Jakarta sekitar empat sampai lima hari. Raffin berangkat besok. Lusa Raffin pulang.” Gantian, kini Ridwan yang melototkan matanya.

“Papa jangan asal ambil keputusan. Raffin bisa memilih calon sendiri. Papa nggak perlu serepot itu mikirin Raffin. Raffin paham, Raffin tau, Papa sama Bunda mau yang terbaik buat Raffin, tapi caranya salah. Maafin Raffin yang nggak bisa terima ini dulu.” Raffin masuk ke dalam kamar dan melanjutkan pergerakkannya yang sempat tertunda.

“Kalau itu mau kamu, Papa sama Bunda bisa apa? Papa sama bunda akan selalu ada dipihak kamu Fin,” kata Ridwan yang masih di depan pintu kamar Raffin.

Raffin mengangguk, papanya pergi, ia mengecek semua yang akan dibawa. Apa sudah lengkap atau belum. Rupanya semua sudah lengkap.

Tiba-tiba ponsel Raffin berbunyi. Ia kira telpon rupanya alarm. Seketika itu pula Raffin menepuk jidatnya.

Selembar Kisah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang