Bab 13 - Tiada Sangka

117 19 3
                                    

Jika ingin mendapatkan yang sejati, jangan pernah merusak dongeng orang lain demi kebahagiaan dongeng kita sendiri.

•••••

Pagi yang begitu cerah, dengan suasana ibu kota yang begitu tenang. Hari ini adalah hari di mana dua mempelai akan dipersatukan. Semuanya begitu disiapkan dengan baik. Kini Ana berdiri di depan cermin. Melihat dirinya yang dihiasi dengan gaun bewarna putih dan hijab panjang menutupi dada, senada dengan warna gaunnya. Cantik, tapi calon istri orang.

Ana sedikit teringat dengan pembicaraannya dengan Rasyid kemarin malam. Mereka sempat berbincang sebentar.

“Ana, saya mau bicara sebentar sama kamu,” kayanya sambil menghampiri Ana yang sedang duduk di ruang tamu.

“Boleh, silakan, Bang.” Ana mempersilakan. Ica, Linda, dan Nisa hendak pergi. Mereka mengira Rasyid dan Ana butuh privacy, tetapi dengan sigap Rasyid menyuruh mereka untuk tetap di sini.

Merasa canggung dan tidak aman, Rasyid mulai berbicara “Saya boleh tanya?”

Ana mengangguk. “Tanya apa, Bang?”

Saya ingin kejujuran dari kamu.”

Silakan bertanya, saya akan jawab jujur.”

Apa kamu masih memiliki rasa terhadap Raffin?”

Huh. Ana menghela napasnya berat.

“Sepertinya, jawaban dari pertanyaan ini memang harus saya luruskan. Jujur, dibilang lupa dengan Raffin, saya bisa memastikan itu untuk mengatakan ‘ya’. Rasa itu memang sempat hadir, tapi, bertemunya saya dengan Bang Rasyid sudah menjelaskan semua yang terjadi kini.”

“Jujur. Hati ini percaya, setelah menikah, hati saya akan berlabuh kepada Bang Rasyid. Saya harap, hadirnya Bang Rasyid bisa membuat bayang-bayang Raffin hilang dari benak saya.”

Dengan begitu percaya diri Ana mengatakan hal itu semalam. Pertanyaan tanpa diduga-duga, berhasil keluar tiba-tiba. Apalagi dengan jawaban Ana yang terlalu percaya diri. Ia kembali mengingat memori itu. Jujur saja, ia takut jika tak bisa membuktikan apa yang ia ucapkan.

“Bener-bener ujian sebelum nikah,” gerutunya yang mengerut di depan cermin.

Teriakan nyaring yang tidak begitu asing begitu menghebohkan. Linda memang hobi berteriak. Seisi rumah bisa pecah jika mendengar teriakannya, tapi itu hanya di dongeng.

“Teriak mulu, lo!” ketus Ica.

No teriak no life, because teriak is my life, wle,” kata Linda sembari menjulurkan lidahnya pada Ica.

“Perempuan itu nggak boleh teriak-teriak. Apalagi ketawa cekikikan. Harus punya rasa malu pokoknya!”

Deketika Ana teringat sesuatu. Teriakan Raffin di kala itu.

“Ana! Anaaa!” teriak seorang laki-laki sembari berlari kencang menghampiri gadis yang dipanggilnya Ana.

“We Lontong! Apaan sih lo, gaje banget lari-lari sambel teryak," sahut gadis yang merasa namanya telah dipanggil.

Teriakan yang benar-benar Ana rindu, dan itu sudah tidak mungkin terjadi.

“Astaghfirullah Ana! Lo mikir apaan sih,” desisnya pelan. Seolah-olah Ana tersadar apa yang ia pikirkan.

Selembar Kisah [END]Where stories live. Discover now