Part 2 POV Vira

3.8K 108 0
                                    

Kematian. Bisa datang kapan saja dan di mana saja. Tak ada satu manusia pun yang tahu, kapan maut itu akan datang menghampiri. Kini, musibah itu terjadi padaku.

Mas Dito-suamiku. Harus menemui ajalnya di kala aku tengah mengandung anak pertama buah cintaku dengannya. Di saat hamil besar dia menutup mata untuk selama-lamanya karena penyakit maag kronis.

Namun, kini, aku harus kuat menjalani hidup tanpa suami di sisiku.

Kudekap bayi mungil yang belum genap 5 bulan. Almira-bayi perempuan yang terlahir ke dunia tanpa Ayahnya yang mendampingi.

Separuh hatiku telah hilang. Bagaimana nantinya aku meniti hidup tanpa suami. Ya Tuhan, mengapa secepat ini kau ambil dia dari hidupku.

Kuusap bulir bening yang membasahi pipi ini. Kala menatap wajah tampan pada bingkai foto yang terpajang di kamarku. "Mas, apa aku bisa hidup tanpamu?"

"Apa aku bisa membesarkan Amira sendirian?"

Kupandangi wajah mungil tak berdosa yang sedang terlelap dalam dunianya. Putriku dengan Mas Dito. Hanya dia yang mampu membuatku bertahan hidup.

Tak tahu rasanya jika tak ada Almira di sisiku. Kucium pipi lembutnya. "Kamu harus kuat ya, Nak. Ada Ibu yang akan selalu menjagamu."

Aku seperti tak punya pegangan hidup lagi. Sama seperti Almira, dulu aku terlahir ke dunia ini tanpa seorang Ayah. Dibesarkan oleh Ibu hanya sampai usiaku enam tahun. Ibu pun menyusul kepergian Ayah untuk selama-lamanya.

Aku besar di sebuah panti asuhan. Sebelum meninggal, ibu sudah berpesan kepada temannya, sang pemilik panti untuk menjagaku.

Hidup dari belas kasih orang. Beruntung, aku dapat mengeyam pendidikan hingga strata 2 berkat donatur terbesar di panti yang memberikan aku beasiswa karena prestasi yang baik di bidang akademik.

Tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu, aku pun lulus dengan nilai terbaik. Menyandang predikat cumlade tentu suatu kebanggaan bagiku. Kuyakin ibu dan ayah di surga tersenyum bangga padaku. Meski rasanya saat itu aku iri sekali dengan teman-teman aku pun ingin melihat langsung bagaimana senyum bangga ayah dan ibu? Bagaimana rasanya foto wisuda diapit oleh ayah dan ibu.

Namun, Aku harus percaya dan yakin. Bahwa Ayah dan Ibu selalu tersenyum melihat prestasi yang kudapat.

Bagai de javu. Kejadian pahit itu terulang pada Almira. Dia telah menjadi yatim sebelum terlahir di dunia ini.

Aku bekerja sebagai Dosen di salah satu Universitas swasta. Kukira cukup lah untuk menopang hidup berdua dengannya.

Walaupun, aku harus hemat dan banyak menabung untuk mempersiapkan pendidikan yang layak untuk Almira. Meski seorang diri, berjuang sendiri. Walau kadang sulit, namun aku yakin aku bisa demi sang buah hati

Aku Mengambil keputusan terberat. Memantapkan diri untuk pindah rumah. Tidak lagi bersandar pada sang mertua. Ibunda dari Mas Dito.

Aku tak mau bergantung pada mereka. Meskipun kutahu, mereka takkan keberatan untuk aku dan Almira tinggal di sana. Namun, rasanya tidaklah pantas yang yang hanya seorang menantu yang ditinggal mati suami terus-terusan bersama mereka. Apa kata orang nanti.

"Ibu nggak mau kalian pergi dari sini." Wanita paruh baya itu berucap lirih dengan uraian air mata yang membasahi pipinya.

"Bu, setiap weekend aku dan Almira bisa datang ke sini. Juga kalau Ibu rindu Almira kapan pun Ibu bisa datang dan bawa dia menginap." Aku meyakinkan Ibu mertua.

Aku meminta ijin kepada Ibu mertua agar beliau memberikan aku ijin untuk tidak tinggal bersamanya. Cukup lah sudah kebaikan keluarga ini padaku.

Aku hanya menantu. Tak mungkin terus-terusan berharap kepadanya. Dia pun tak punya lagi sandaran untuk menjalani hidup.

Suaminya yang telah tiada, dan kini beliau hanya hidup bersama putra bungsunya yang masih berkuliah. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dia bergantung pada uang pensiunan sang suami.

Tak ada jawaban yang keluar dari bibir wanita paruh baya di hadapanku ini. Matanya terus mengalirkan buliran yang membasahi pipinya.

***

Malam harinya. Saat kami berkumpul di meja makan, aku, Ibu dan Andika. Adik kandung dari Mas Dito yang usianya terpaut lima tahun dibawahku. Pemuda yang mempunyai wajah hampir menyerupai seutuhnya dari suamiku.

Hanya yang berbeda rambut tebal yang sedikit gondrong khas Dika, juga gaya penampilanya yang cuek. Namun, tidak memberi kesan jelek sediki pun padanya. Dia tetap terlihat manis dari sudut pandang tersendiri.

Yang sama dari Mas Dito dan Dika adalah sikap baik, sopan dan penyayangnya. Terbukti mereka sangat menghormati dan menyayangi orang tua satu-satunya. Selama tinggal di sini pun aku tidak pernah mendengar tutur kata kasar yang keluar dari mulut mereka. Mereka di besarkan dan didik dengan nilai-nilai baik budi pekerti yang baik. Beruntung aku berada di tengah keluarga yang hangat dan harmonis ini.

Namum, hal itu tidak menyurutkan tekadku untuk tetap keluar dari rumah ini. Aku harus mandiri membesarkan Almira meski tanpa seorang suami.

Aku dan Ibu masih tak berbicara. Kami sibuk dalam hayalan masing-masing. Membuat Dika menatap heran padaku dan Ibunya. Netranya sesekali bergantian memandangku berganti memandangi ibunya.

Mungkin, Ibu sedang memikirkan dirinya yang akan ditinggal oleh cucu satu-satunya. Sedangkan aku, merasa tidak enak hati harus tinggal dalam keluarga ini. Beliau sudah terlalu banyak membantu dan juga yang mengurus Almira ketika aku harus pergi bekerja.

Hening, dan menegangkan.

Tuhan ... aku harus apa? Apa yang harus kulakukan.

Dalam keheningan, tiba-tiba Dika membuka suara. Kata-katanya hampir saja membuat jantungku terlepas dari dada ini. Aku tidak percaya. Apa yang ada dalam pikirannya. Hingga dia dapat mengambil keputusan ingin menikahiku.

"Bu, ijinin aku nikahin Mbak Vira."

Kata-kata yang lolos dari mulutnya membuat aku dan Ibu menatapnya dengan rasa tak percaya.

Tak kupungkiri, Dika begitu menyanyangi Almira. Bahkan dia sering mengajak putriku yang berusia 4 bulan itu bermain. Tangan mungilnya yang menjambak rambut Dika, berhasil membuat tawa si kecil melihat sang empunya rambut meringis kesakitan.

Dika, mahasiswaku yang juga adik dari Mas Dito. Kenapa dia harus berbicara seperti itu. Apa maksudnya? Mengapa.

Tanya itu tak berani kulontarkan. Kusudahi makan malam bersama ibu dan Dika, lalu meminta ijin kepada Ibu untuk kembali ke kamar.

Tak pernah terpikirkan olehku. Aku akan dinikahi oleh Adik suamiku sendiri.

Keputusanku sudah bulat. Aku harus segera pergi dari rumah ini. Tak boleh menggantungkan harapan kepada mereka. Ibu dan juga Dika.

Aku bisa menjaga dan merawat Almira tanpa harus menjadikan Dika pengganti Ayah dari Almira juga suami dari kakak iparnya sendiri.

Pemuda seperti Dika masih punya jalan yang masih panjang. Tak perlu dia menanggung beban yang harus kujalani. Bukan kewajibannya.

Untuk saat ini tak terpikirkanku untuk menikah lagi. Mencari pengganti untuk Ayah Almira. Aku hanya ingin fokus bekerja dan membesarkannya. Lagi pula, belum genap setahun kepergian Mas Dito.

Biarkan semua ini berjalan bagaimana skenario Tuhan padaku. Jika nantinya aku menemukan jodoh kembali yang akan menemani hidupku hingga akhir,aku terima.

Next

MENIKAHI KAKAK IPAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang