Part 11 POV Dika

2.9K 95 4
                                    

“Apa tidak ada perempuan lain selain Lili, Dik? Pikirkanlah lagi?”

Kata-kata terakhir Mbak Vira terus terngiang dalam benak. Entah, apa yang perempuan pemilik mata teduh itu pikirkan.

Dirinya sulit sekali ditebak, menolak janjiku pada Bang Dito, sekarang melarang aku untuk menikahi Lili.  Betul-betul mempermainkan perasaanku.

Sejak saat itu aku mulai berpikir jernih, hidup berdasarkan realita saja. Jangan terlalu mudah terbawa perasaan. Pada dasarnya aku pun bebas memilih tidak kupedulikan lagi soal janji pada siapa pun. Aku berusaha hidup seperti dulu, normal-normal saja tanpa beban sebuah janji.

Aku sudah bersikap biasa, tak terlalu banyak bicara dan memperlakukan Mbak Vira istimewa. Aku mulai kembali menyibukan diri, dan memang akhir-akhir ini banyak hal yang harus kuselesaikan. Skripsi yang sudah mulai kurevisi dan peresmian cabang bengkel baru yang dibantu Lili.

Pagi ini pun aku bergegas pergi, suasana rumah juga masih sepi. Belum kudengar celoteh Almira yang belakang ini aku jarang menyapa si cantik gembil itu.

“Dika!” Suara Ibu menghentikan gerakan tanganku yang baru saja memutar handel pintu keluar.

Aku membalikan badan, sudah berdiri sosok perempuan yang masih cantik di usia setengah abad ini memperlihatkan senyum manisnya.

Ibu yang masih mengenakan mukena, menatapku lekat. Mungkin terheran dengan sikapku yang belakangan ini mulai menghindar jika diajak sarapan bersama. Ritual wajib bagi keluarga kami sebelum melakukan aktivitas.

“Kenapa berangkat sepagi ini. Kamu nggak mau sarapan?”

“Aku sarapan di bengkel aja Bu, pagi ini aku harus belanja keperluan untuk pembukaan bengkel baru.”

“Nggak ajak Mbakmu, berangkat bareng?”

“Aku sudah janji sama Lili, berangkat bareng," tolakku. 

“Lili? Yang suka pakai baju ketat itu?” tebak Ibu, dengan ekspresi tidak suka.

Aku hanya mengangguk, mendengar kesan pertama Ibu yang ingat soal Lili. Ya, begitulah memang Lili. Pertama kali kukenalkan dengan Ibu, sorot mata Ibu menampakkan ketidaksukaan melihat penampilan Lili yang berpakaian minim.

“Kamu masih dekat dengan Lili?” tanya ibu, yang kulihat menarik napas berat.

“Kita sahabatan dari awal semester hinga sekarang Bu, wajar kan jika terus bersama," jawabku jujur, dan kurasa Lili memang teman yang baik selama ini.

“Tapi, ibu mah nggak suka sama penampilan Lili. Koq seneng banget pakai baju ketat gitu," komentar Ibu, semakin menampakan kalau dirinya tidak suka dengan Lili.

Aku hanya tersenyum samar, kembali mendengar penilaian Ibu tentang Lili. “Bu, jangan nilai orang dari penampilan. Selama ini aku lihat Lili anak yang baik.”

“Cukup berteman aja ya Dik, jangan jadikan istri. Ibu nggak suka.” Seketika senyum samarku berubah muram mendengar ucapan Ibu barusan. 

Apa kata Ibu tadi? Jangan jadikan istri? Aku malah berniat melamar Lili bulan depan.

“Dika, koq diem. Ayo berangkat katanya harus berangkat pagi. Atau mau sarapan dulu?”

“Aku berangkat ya Bu, salam buat si gembil cantikku,” pesanku pada Ibu yang langsung meraih tangan halusnya dan mengecupnya dengan lembut.

***

Mobil terus melaju sedang, membelah jalanan padat ibukota yang tak pernah lengang. Lili terus berbicara yang entah aku tidak mengerti. Entah, kenapa di siang hari yang cerah ini. Hatiku tidak sejalan dengan keadaan.

Bibirku terus terkatup rapat enggan untuk sekedar menjawab, pertanyaan yang Lili lontarkan hanya anggukan juga deheman kecil yang bisa berikan.

“Dika, jadi gimana kamu setuju?”

“Setuju? Setuju apa?” jawabku, yang memang tidak mengerti apa yang ia tanyakan.

“Ish, dari tadi aku ngomong kamu nggak dengerin. Sebel!”

“Aku fokus nyetir Li, beneran nggak tahu maksud pertanyaan kamu.”

“Aku bahas konsep pernikahan kita, mau tema indor atau outdor?”

“Aku belum fokus untuk memikirkan itu Li, skripsi aku masih banyak yang perlu direvisi.”

“Ya, aku tahu. Paling nggak kamu bisa kasih gambaran mana yang kamu suka.”

“Terserah kamu saja, Li.”

“Oke, kalau gitu indoor aja. Dengan tema prince. Aku yakin, kita bakal jadi raja dan ratu seharian di acara yang aku impikan itu. Duh, koq aku nggak sabar nunggu moment penting itu ya Dik,” cerocos Lili yang sibuk memikirkan konsep pernikahan, terserah dengan apa yang dia pikirkan yang pasti aku belum memberi jawaban akan rencana yang ia impikan.

Di sela euforia Lili yang memikirkan konsep pernikahan impiannya, ponselnya berdering. Aku hanya melirik sekilas, Lili yang tampak ragu menekan tombol hijau dari layar ponsel kutahu terpampang nama Robi di sana.

Seketika suara dering mati, karena Lili menekan tombol merah. Namun, selang beberapa menit ponselnya kembali terus berdering.

“Angkat saja Li, mungkin saja panggilan penting.”

“Nggak penting,” kata Lili sedikit gugup, kembali memasukan ponselnya ke dalam tas.

Terserah saja, aku tidak lagi menimpali ucapannya. Ponselnya juga tidak lagi berdering. Aku fokus menyetir dengan jalanan padat merayap.

Tanpa terasa mobil sudah sampai depan bengkel, terlihat kesibukan para pekerjaku yang sedang membetulkan kendaraan para pengunjung yang siang ini terlihat ramai.

Aku segera keluar, untuk mengeluarkan barang-barang kebutuhan bengkel yang ada di belakang bagasi.

Dari seberang jalan, aku melihat sosok Mbak Vira berdiri dengan mata tertuju ke arah aku berdiri. Sedang apa Mbak Vira di sana? Apa mungkin Mbak Vira mencariku?

Buru-buru aku ingin menghampiri Mbak Vira di sana, mungkin saja dia memang mencariku dan ingin pulang bersama.

Namun, baru beberapa langkah. Lili sudah mengapit lenganku, aku mencoba menepisnya. Tapi gerakanku terhenti saat Mbak Vira terlihat sudah menaiki angkot yang langsung membawanya pergi.

Entah mengapa ada rasa nyeri yang berdenyut dalam dada, kala mengingat hal yang terjadi belakangan ini. Mungkinkah, Mbak Vira mencariku?

Aku kembali mengambil barang-barang di bagasi, kulihat Lili menjauh dengan ponsel yang berada di telinganya.

Selesai mengambil barang-barang di bagasi, aku menutupnya dan kembali ke pintu depan mobil terlihat tas Lili yang tergeletak di tempat tadi ia duduki. Dari dalam tasnya yang berserakan isinya sedikit keluar terlihat benda yang cukup asing bagiku, benda pipih dengan dua garis samar merah yang terlihat.

Test pack?

MENIKAHI KAKAK IPAR Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz