Part 4 POV Vira

3K 99 0
                                    

Malam kian larut, mata ini tak mau juga terpejam juga. Entah kenapa perkataan Dika saat di meja makan masih terus terngiang di telinga ini.

Menyesali tingkah lakuku. Kenapa harus sekasar itu menanggapi ucapannya. Seharusnya aku mendengarkan apa yang menjadi alasan Dika ingin menjadikan dirinya sebagai suamiku. Pengganti kakaknya.

Oh Tuhan ... aku bingung. Kenapa Engkau memberikan aku cobaan seberat ini.

Rasa haus membuat aku turun ke dapur. Memakai hijab terlebih dahulu, takut-takut ada Dika di luar kamar. Setelah memastikan Almira dalam posisi aman, dengan meletakan guling dan bantal di sampingnya, aku meninggalkan ia sendiri di kamar.

"Tidur yang nyeyak ya, Nak. Ibu keluar sebentar." Kucium wajah yang tak berdosa itu, lalu beranjak keluar kamar.

***

Menuangkan air ke dalam gelas. Hampir saja terlonjak kaget saat melihat sosok bayangan yang kian mendekat. Dika? Mau apa dia. Ehm mungkin dia kehausan juga.

Sekilas netra kami pun saling bertemu. Kutahu, dia merasa gugup, aku mencoba menghilangkan rasa canggung yang menerpa sebab perkataannya di meja makan tadi, lalu bertanya, "Dika, mau minum?"

"Iya, Mbak," jawabnya.

Aku mengambil gelas lalu menuangkan air dan memberikannya pada pemuda itu. Setelah Dika mengambilnya aku beranjak meninggalkan dia, tanpa kata. Namun, langkahku terhenti ketika dirinya memanggilku untuk mengajak berbicara sebentar.

Apa lagi yang akan dibicarakannya. Haruskah aku mendengarkan dia.

Tak ada salahnya juga mendengar apa yang ingin dikatakannya. Aku menghela napas pelan. Lalu berkata, "Mbak tunggu di depan ya," jawabku lalu kembali meninggalkan Dika yang masih di dapur.

Aku sengaja menunggu Dika di teras depan rumah, menikmati udara malam yang dingin. Anginnya yang sejuk memecah keheningan malam menandakan akan turun hujan.

Tak berapa lama Dika muncul dari balik pintu. Dirinya mendehem, memecahkan lamunanku. Ia duduk di sampingku. Aku menggeser posisi duduk berhadapan dengan pemuda itu.

"Mbak, maaf soal yang tadi aku ucapkan saat makan." Dika mulai membuka suaranya. Dirinya menunduk.

"Tidak masalah, Dika."

Aku pun meminta maaf atas kejadian di meja makan tadi, langsung meninggalkannya dan Ibu yang belum selesai berbicara. Menerangkan kepadanya aku hanya shock dengan ucapannya yang begitu tiba-tiba.

Dika menjelaskan, dirinya tidak akan memaksakan kehendaknya, jika aku tak bersedia menikah dengannya. Ya tak mengapa.

Dirinya menjelaskan ia hanya ingin menepati janji kepada kakak lelakinya sesaat sebelum meninggal.

Aku terperangah, menatap pria itu dengan lekat. Kutahan agar air mata ini tak tumpah. "Janji? Janji apa?" tanyaku.

Dika bungkam. Aku menarik napas kasar. Aku tahu arah omongannya, kujelaskan kepadanya agar tak menjadi beban dia, jika aku tak dapat menikah dengannya.

Kutegaskan jika aku sudah menganggap dirinya sebagai adikku sendiri.

"Janji itu bisa saja meleset karena memang tidak sesuai keadaan, Dik!"

"Jangan bebani diri kamu, itu bukan tanggung jawab kamu!" ucapku dengan nada ketus.

Dika kembali menerangkan, dia memahami maksudku. Hanya saja dirinya merasa sedikit lega, karena apa yang dipikirkannya telah terlontarkan.

Kembali meyakinkan Dika agar tak berharap lebih. Dengan alasan perbedaan usia kami. Dan masa depannya yang masih panjang. Menegaskan kepadanya jika aku bisa membesarkan Almira sendiri.

Sebelum aku beranjak, ada lagi satu permintaan dari Dika. Ia tak ingin aku dan Almira pergi dari rumah ini, dengan alasan kasihan Ibunya, jika harus ditinggal cucu, sedangkan Beliau baru saja kehilangan anaknya.

"Untuk yang itu nanti Mbak pikirkan lagi."

Sebelum melangkah masuk, aku menyurunya kembali ke kamar, karena sudah larut malam. Tanpa disadari kami mengobrol cukup lama.

"Besok kamu ada kelas saya, kan? Masuklah ... sudah malam," titahku.

"I-iya Mbak."

Aku masuk, dan meninggalkan Dika yang masih terduduk di teras rumah.

***

Di kamar, aku masih memikirkan ucapan Dika. Entah kenapa kantuk tak menghampiri. Kupeluk sosok bidadari kecil yang ada di sampingku. Hingga aku terlelap.

***

Pagi-pagi Almira sudah diambil Ibu. Katanya biar aku tidak repot dan bisa bergegas berangkat kerja. Anakku seakan mengerti, begitu melihat neneknya, dia berceloteh riang dan langsung menggerak-gerakan tubuhnya minta digendong. Ibu tertawa lalu mengangkat Almira membawa ke dalam pelukannya.

"Vir, kamu siap-siap saja, Almira ibu bawa keluar ya," ucap wanita paruh baya itu.

Aku tersenyum. "Iya, Bu. Makasih," ucapku.

Seusai ibu keluar aku pun bersiap-siap. Setelah membereskan keperluan Almira, aku pun turun dan hendak berpamitan padanya.
Tampak Dika sedang bercengkrama dengan Almira.

"Pagi, cantik!" sapanya sambil mencium pipi Almira.

"Ka, pegang Almira sebentar. Ibu mau buat susunya dulu." Ibu langsung memindahkan Almira ke tangan Dika.

Almira semakin senang dalam gendongan Dika, terlihat putriku semakin tertawa riang. Tangan mungilnya hendak menarik rambut pria yang menggendongnya. Sesekali berteriak saat melihat Dika menggerakan kepalanya untuk menghindari tangan kecil Almira.

Tertegun aku melihat perlakuan tulus Andika pada Almira. Dia begitu menyayangi keponakannya itu. Dika terus bermain dengan putriku, tanpa menyadari kehadiranku yang sedari tadi menatapnya.

Ibu langsung datang setelah mengambil susu Almira yang kutaruh di dapur. Dika pun langsung mengembalikan Almira ke pangkuan wanita paruh baya itu.

"Papa pergi dulu ya, Cantik, jangan rewel sama nenek," ucapnya lalu mencium pipi Almira.

Papa?

Dika langsung berlalu. Namun, berhenti setelah beberapa langkah berjalan.
Ia berbalik badan. Aku menatapnya dengan heran. Dika pu  menunduk.

"Mbak? Kita berangkat bareng saja, ya? Pakai mobil," ucapnya.

Aku mengangguk. Di perjalanan hanya keheningan yang tercipta. Masih terngiang kata Papa yang terlontar dari mulut Dika pada Almira tadi.

"Maaf, Mba, bolehkan aku membahasakan diri pada Almira agar memanggilku Papa? Setidaknya, aku orang tuanya juga, bukan?" ucap Andika, memecah keheningan. Seolah dia tahu apa yang aku pikirkan.

Aku diam.

"Boleh kan, Mba?" Lagi dia meminta ijin.

"Boleh, setidaknya kamu juga yang akan walinya Almira kelak dia akan menikah nanti," ucapku.

Terukir senyum dari bibir pemuda itu. "Makasih, Mba. Iya aku tahu itu."

Aku mengatakan kepada Dika, jika aku sudah mengambil keputusan untuk tidak jadi pergi dari rumah itu sampai Almira berusia 2 tahun. Tetapi dengan satu syarat.

"Syarat apa, Mba?"

"Lupakan janji dengan Abang kamu, anggap saja kamu tak pernah mengungkapkan janji itu,"ucapku.

Ucapanku membuat Andika mengeremkan mobilnya mendadak. Dia menatapku." Ta—"

"Lupakan atau Mbak dan Almira pergi dari rumah?" tegasku. Memotong tanya Dika.

Kembali pemuda itu melanjutkan laju mobilnya. Suasana pun kembali hening sampai di kampus. Aku langsung turun meninggalkan Dika yang masih mematung dalam kendaraan roda empat miliknya.

NEXT

MENIKAHI KAKAK IPAR Donde viven las historias. Descúbrelo ahora