[ lima ]

4.2K 495 24
                                    

Author pov

"Aku nyerah Bang, Kamelya mau menikah dengan pilihan papanya!"

Arkan terus mendengarkan curhatan adik sepupunya ini, timbul sedikit rasa iba meskipun dia juga harus kesusahan menahan tawa melihat ekspresi Nazril yang menurutnya sangat kacau.

"Lah kok nyerah? Berjuang juga belum!" 

"Abang enggak usah pura-pura polos gitu, pasti tau kenapa aku nyerah bahkan belum sampai berjuang." Nazril menyandarkan kepalanya ke tempat tidur dan memijit pelipisnya.

"Abang bingung dengan kasus kamu Ril, mau abang suruh berjuang kamunya sendiri gak yakin, mau abang suruh mundur nanti kamu bunuh diri." Sahut Arkan sambil tertawa kencang.

"Ck, gara-gara ini jadi kacau Bang, koasku jadi enggak beres!"

Arkan yang semula tiduran di kasur langsung turun mendekati Nazril. "Ini yang abang takutin, kamu belum waktunya mikirin kaya gini, kamu inget dong perjuangan Om Hanif dan Tante Arina sampai detik ini!!"

"Aku kok pusing banget ya Bang? Beneran bikin bingung!"

Arkan menatap tajam adik labilnya ini, selama ini Nazril sering menceritakan tentang Kamelya kepadanya. Arkan hanya selalu mengiyakan apa kata Nazril, tapi satu sisi dia juga tidak yakin dengan adiknya ini. Dia tau betul pemuda 25 tahun di hadapannya ini masih labil, yang dia khawatirkan terjadi, Nazril tidak siap menghadapi situasi seperti ini dan akhirnya menganggu hidupnya. 

"Mau tau apa yang harus kau lakukan? Lupakan itu percintaan labilmu, selesaikan kuliahmu, perdalam ngajimu, cari pengalaman sebanyak mungkin baru kau kembali pikiran cinta-cintaanmu itu!" Ujar Arkan penuh penekanan.

Arkan terlampau khawatir dengan nasib Nazril, dia menyayangi Nazril seperti dia menyayangi saudara kandungnya. Dia tidak ingin perjuangan Nazril dan keluarganya sia-sia, muncul sedikit rasa kesal pada sosok Kamelya, perempuan yang hanya dia tau lewat cerita Nazril.

Tatapan mata Nazril kosong bahkan kedua matanya memerah, dia tidak menyangka patah hati semenyengsarakan ini rasanya padahal dia belum memulainya. Terkadang muncul semangat di hatinya untuk melupakan semua rasa yang dia punya untuk Kamelya dan kembali menjalani aktivitasnya tapi entah rasa apa yang juga ikut mengusik hatinya agar selalu memikirkan Kamelya, gadis yang berhasil menguasai hatinya.

"Abang percaya, kau sudah cukup dewasa untuk mengambil sikap. Jangan jadi pria setengah mateng, mundur ya mundur jangan cemen gitu, maju ya maju jangan lembek. Berjuang itu gak kenal kata galau!!"

Arkan memilih meninggalkan Nazril sendiri, biar dia merenungkan tindakan apa yang akan dia lakukan. Arkan menyusul adik kembarnya ke dapur yang ternyata sedang menikmati mi rebus bersama Salma.

"Kebiasaan kau Nay, kalau lagi makan enak gak inget saudara!" Tegur Arkan yang langsung duduk di samping Naya dan menggeser mangkok Naya dan tentu saja sang empunya langsung bereaksi keras.

"Ogah, sembilan bulan aku sudah berbagi makanan di rahim bunda, bahkan aku yang selalu ngalah karena aku lahir lebih kecil daripada kau." Ujar Naya kembali menarik mangkoknya dan tetap santai melanjutkan acara makannya. Arkan menarik jilbab Naya lalu beranjak ke tempat masak, mencium aroma mi rebus milik Naya juga membuat lambungnya meronta. 

"Mas Arkan mau mi rebus juga?"

Arkan menoleh dan sepasang manik hitam cantik itu membuatnya harus menatap lekat selama beberapa detik. Arkan berdehem lalu menetralkan degup jantungnya.

"Biar Salma masakin Mas, mau rasa apa?" Tanya gadis itu sambil tersenyum manis, dan lagi-lagi membuat Arkan terhipnotis untuk terus menatap wajah gadis itu.

"Aku juga mau Sal, rasa soto ayam!!" Arkan tersadar karena suara Nazril yang cukup keras lalu dia kembali berdehem dan kembali harus kehilangan keseimbangan berpikirnya karena Salma tersenyum lagi.

"Jadi Mas Arkan mau rasa apa?" 

"Rasa ingin memiliki." Gumam Arkan pelan tapi masih bisa terdengar.

"Hah? Apa Mas?" Tanya Salma memastikan.

"Eh? Apa tadi? Maksudku, itu apa,, eee, aduh malah jadi gagu. Maksudnya sama milik Nazril, soto ayam. Iya gitu maksudnya." Jawab Arkan gelagapan.

Buru-buru Arkan duduk bersama Nazril dan Naya yang sedari tadi tidak berhenti tertawa melihat kekonyolan saudara kembarnya itu. 

"Diam deh Nay, habisin tuh makannya!" 

"Narin, perasan aku yang kepedesan kenapa Arkan yang mukanya merah? Hahaha!"

"Kalian sehati Mbak, jadi apa yang Mbak Naya rasakan Bang Arkan juga rasakan." Jawab Nazril sambil tertawa juga.

"Oh gitu ya? Pantes aku juga merasa berbunga-bunga Rin!" Sindir Naya dan berhasil membuat Nazril menatapnya penuh curiga begitu juga Arkan yang sedari tadi sudah melotot ke arahnya.

Hingga tengah malam empat saudara itu masih asyik mengobrol di dapur, membicarakan apa saja yang bisa mereka bicarakan karena pada dasarnya keluarga ini suka berkumpul. Naya akan bekerja di klinik milik abangnya, kepala keuangannya mengajukan resign karena akan segera melahirkan dan Iky meminta Naya yang menggantikan, Arkan  yang selama beberapa bulan akan tinggal di sini karena ada proyek pembangunan di daerah Semarang.

Pagi harinya seperti biasa kegiatan rutin adalah kerja bakti dilingkungan pesantren. Naya dan Salma juga Umi Arina terlihat turut serta bersama santri putri membersihkan lingkungan. Abi Hanif yang kurang sehat masih istirahat di kamarnya. Jangan tanyakan dimana dua jejaka beda usia itu, jelas masih bergulung dengan selimut.

"Nay, tinggal di sini saja ya, temenin Tante. Nanti sore Salma sudah harus kembali ke pesantrennya!" Ujar Arina.

"Oh, Naya kira Salma sudah selesai. Iya deh Naya disini, pesennya bunda juga Naya suruh bantuin Tante kok."

"Belum Mbak, sebentar lagi. Ini baru mulai ngerjain skripsi." Jawab Salma sambil merapikan tanaman di halaman rumah.

"Wah sebentar lagi dong, semoga lancar ya Sal!" Ucap Naya tulus dan diaminkan oleh Salma dan Uminya.

Hari minggu itu mereka lalu dengan membereskan barang masing-masing, Naya membereskan barang bawaannya dan milik saudara kembarnya. Walaupun dengan mulut yang terus komat-kamit sebal tapi kenyataannya barang-barang milik Arkan sudah tertata rapi di lemari beruntung ada Salma yang membantunya. Begitu juga dengan Salma, dia sibuk mengemasi barang-barang yang akan dia bawa kembali ke pesantren Jawa Timur.

****

Hari senin begitu cepat menyapa, begitu yang terpikir oleh orang-orang yang masih enggan memulai aktivitasnya seperti Nazril. Semalaman dia sudah mendapat banyak wejangan dari Abinya sehingga senin pagi yang cerah ini perasaannya lebih baik.

Naya sudah bersiap sejak pagi ke rumah Abang tercintanya, hari ini dia akan mulai bekerja di klinik. Berbeda dengan Naya, Arkan masih belum memulai pekerjaannya karena masih butuh beberapa persiapan, baru lusa dia akan mulai bekerja.

"Salma pamit ya Umi, Abi, doakan Salma lancar." Pamit Salma pada orangtuanya.

"Pasti Nduk, hati-hati ya! Ingat pesan Abi dan Umi!" Jawab Abi Hanif.

Salma bersiap berangkat dengan bawaanya yang cukup banyak, karena Abinya sedang tidak sehat terpaksa dia harus naik taksi ke stasiun.

"Arkan anterin boleh Om? Kasihan Salma kerepotan." Dengan senang hati Arkan menawarkan diri. Hanif menatap Arkan penuh selidik dan membuat Arkan sedikit gugup.

"Boleh, Om percaya sama kamu!" Jawab Hanif tersenyum penuh makna sambil menepuk bahu Arkan. Namun bagi Arkan senyum itu mengandung arti lain, semacam peringatan 'jangan macam-macam' mungkin.

Tanpa membuang waktu, Arkan membantu menaikkan barang-barang Salma ke mobilnya lalu segera mengantar Salma ke stasiun takut terlambat, dan jangan lupakan senyum yang terus terukir di bibir Arkan.

4. FilantropisWhere stories live. Discover now