Hantu Tampan Jatuh Cinta

77 19 1
                                    

Saat gue membuka mata, gue sadar bahwa gue udah mati.

Siapa gue?

Kapan dan kenapa gue mati?

Kenapa gue gentayangan di sekolah ini?

Gue nggak ingat apapun

***

Seorang pemuda berseragam SMA dan berwajah pucat itu terbahak kencang. Dilihatnya seorang gadis cupu berkacamata sedang dirundung beberapa gadis lain. Entah kenapa pemuda itu sangat menikmati situasi itu. Gadis berkacamata dan menurutnya jelek itu disiram air comberan dan dibentak-bentak di halaman belakang.

Pandangan pemuda itu baru teralihkan ketika mendengar suara deheman seseorang di sampingnya. Ketika menoleh, dilihatnya lelaki tua berbadan bungkuk yang memegang tongkat sedang memandangnya sambil geleng-geleng kepala.

"Seharusnya tidak tertawa di saat seperti ini, kan, Cah Bagus? Bisa saja nanti keadaan berbalik."

Kakek tua ini lagi, ngapain sering muncul, sih?

Sejujurnya, ia tak mengenal lelaki tua yang sering muncul tiba-tiba dan sok bijak itu. Lelaki tua itu sudah jauh ada sebelum ia berada di tempat ini. Tak menggubris kakek itu, pandangannya beralih ke arah Si Cewek Cupu. Ia terhenyak ketika mata mereka bertemu. Cewek cupu itu mendesah kesal, seakan kekesalannya itu ditujukan kepada Sang Pemuda.

Pemuda itu terpaku sejenak, kemudian menoleh ke arah kakek tua yang hanya membalas tatapannya dengan tersenyum dan mengedikkan bahu. Pandangannya beralih lagi ke arah si gadis yang ternyata sudah beranjak pergi.

"Kek, apa cewek itu-"

Ia menelan pertanyaannya kembali ke kerongkongan saat menyadari kakek tua itu sudah tidak ada.

***

Pemuda itu melewati sepanjang lorong kelas, lebih tepatnya dengan cara 'nebeng' di pundak seorang siswa. Di jam istirahat seperti ini, ia senang berburu cewek cantik. Ia bersiul menggoda ketika ikut berpapasan dengan siswi-siswi cantik. Matanya berseri ketika siswa yang 'ditebenginya' menyapa cewek yang yang menjadi incarannya.

"Na! Catatan matematikaku kemarin masih ada di lo, kan?"

"Oh, iya, Bay. Ntar aku balikin, ya." Gadis yang dipanggil Na itu megerutkan kening, "Lo kenapa, Bay? Sakit?"

"Nggak tahu, nih. Beberapa hari ini pegel-pegel rasanya. Mungkin capek."

Sang Pemuda yang sedang santai nangkring di kedua pundak siswa yang dipanggil Bay itu terkekeh. Bay berpisah dengan Na dan melanjutkan jalan melewati lorong kelas, Mungkin ke kantin, pikir Sang Pemuda. Ia terhenyak ketika pandangannya menangkap sosok cewek cupu yang dirundung beberapa hari lalu. Mata mereka bertemu, tapi kemudian cewek itu mengalihkan pandangan dan berjalan melewatinya. Pemuda itu segera meloncat turun dari pundak Bay dan melayang mengejar cewek itu.

"Lo bisa ngelihat gue, kan?"

"Heh! Cewek cupu!"

Si Cewek Cupu tak menggubris meskipun Sang Pemuda berkali-kali menarik perhatiannya. Sang Pemuda hilang kesabaran, ia melayang di depan gadis itu dan memperlihatkan wajah tampannya berubah menjadi wajah penuh darah dan rahang yang terus melebar. Gadis cupu itu menjatuhkan buku yang dibawanya dan berteriak.

***

"Saya nggak mau diganggu sama setan yang menertawakan saya saat saya di-bully."

"Sorry. Gue minta maaf. Plis, Cuma lo yang bisa bantu gue."

Sudah bertahun-tahun lamanya ia gentayangan dan saat ini ada manusia yang bisa melihatnya. Mungkin saja bisa membantunya mencari jawaban atas kematiannya.

"Saya nggak mau berurusan sama setan. Apalagi setan amnesia. Hidup saya sudah cukup susah. Bodoh, berwajah jelek jerawatan, pake kacamata, selalu di-bully dan direndahkan," ujar gadis itu.

Sang pemuda berpikir sejenak, "Tenang aja, gue bakal balas budi, kok. Gue bakal lo jadi pinter dan nggak direndahin lagi karena jelek."

Awalnya, cewek itu tidak mau percaya, tapi karena kegigihan Sang Pemuda, akhirnya gadis itu mau membantunya.

"Oh ya, panggil saya Jen. Karena nama aja kamu nggak inget, saya boleh memanggil kamu 'Boy'?" ujar Jen, Sang Pemuda melihatnya dengan tatapan bertanya, "Nggak ada alasan khusus kok, karena kamu cowok aja."

Pemuda itu tersenyum, bagus juga. Ia akhirnya mempunyai nama.

***

Jen tersenyum senang mendapati ulangan matematikanya mendapat nilai sempurna dengan bantuan Boy. Selain tampan, Boy ternyata pintar juga.

"Pasti semasa hidup kamu jadi murid terpintar," puji Jen, Boy hanya tersenyum simpul.

Selain membantu Jen mendapatkan nilai bagus, Boy juga membantunya berdandan. Selera Boy yang tinggi tetang standar kecantikan membuat Jen lambat laun mulai mengenal make-up dan mempercantik diri. Jen yang mulai tampil cantik mulai mendapat perhatian dari teman-temannya.

"Ternyata lo itu cantik, kok."

Pipi Jen bersemu merah ketika Boy memujinya suatu hari. Boy yang mulai merasakan getaran aneh ketika berada di dekat Jen terlihat malu-malu.

***

Jen yang mulai populer mulai mengorek rumor-rumor tentang sekolah guna mencari petunjuk kematian Boy. Segala upaya dilakukan dari menanyai penjaga sekolah yang sudah lama bekerja di sekolah sampai bertanya dengan kakak kelas. Banyak info yang didapat mengenai siswa yang meninggal, tapi banyak juga rumor-rumor yang belum tentu yang dimaksud adalah Boy. Ketika sudah mulai putus asa, Jen terhenyak ketika ada ide muncul di pikirannya.

"Buku kenangan! Coba kita cari identitasmu dulu."

Mereka segera mencari identitas Boy di buku-buku kenangan yang disimpan di perpustakaan sekolah. Jen hingga rela tidak masuk kelas untuk mencari identitas Boy di buku kenangan angkatan lama.

Jen terhenyak dan menunjukkan foto seseorang beserta identitas yang menyertai di salah satu sudut layout buku kenangan. Boy menatap Jen dengan isyarat bertanya. Jen tahu bahwa Boy tidak mengetahui wajahnya sendiri, ia meyakinkan Boy dengan mengangguk pelan.

"Ternyata gue ganteng juga."

Jen tertawa mendengar kelakar Boy. Tapi memang ia akui bahwa Boy memang tampan, hanya pucat saja.

"Sayangnya amnesia," ujar Jen.

"Salah."

"Hmm?"

"Kan sayangnya sama lo."

Selama beberapa waktu mereka bertatapan canggung hingga saling mengalihkan pandangan.

"Jadi, kamu itu angkatan lima tahun di atasku. Kita kenalan lagi, ya?" ujar Jen mencairkan kecanggungan. "Salam kenal, kak Rayner. Saya Jen."

Rayner tersenyum, "Salam kenal."

"Okay kak Rainer, setelah ini kita bakal cari info tentang penyebab kematian Kakak."

Rayner berpikir sejenak, "Gue pikir-pikir, gue mulai nggak begitu penasaran kenapa gue mati."

"Hah? Kenapa?"

"Perjalanan masih panjang, lagipula, gue pengen lebih lama temenan sama lo. Hehe..."

"Ish, dasar Hantu Ganjen! Udah, ah." Jen beranjak pergi, menyembunyikan pipi merahnya. Rayner tersenyum, pandangannya menangkap sosok si kakek tua di sudut perpustakaan, "Ternyata tak hanya hati manusia saja yang porak poranda karena jatuh cinta, hantu juga bisa. Benar kan, Cah Bagus?" kata si kakek. Hantu kakek itu kemudian melambaikan tangan. Rayner membalas lambaiannya dan beranjak pergi mengejar Jen.

GenFest 2020: Teen Fiction x HorrorWhere stories live. Discover now