Ah, Sial!

91 22 2
                                    

Kocokan buat besok gw kirim jam setengah 11an yaaa!

Liana memandang gamang pesan yang baru masuk ke grup kelasnya. Pesan yang dikirim oleh teman sekelasnya itu merujuk pada bangku yang harus ditempati oleh setiap anak esok hari. Biasanya dikocok seminggu sekali dan mereka berganti teman sebangku pula. Hanya saja, pasti ada seorang yang duduk sendirian karena jumlah siswa di kelas mereka ganjil.

Namun sejauh ini, Liana selalu mendapatkan teman sebangku meski ia tidaklah punya teman tetap di kelasnya. Meskia ia juga tidak keberatan duduk sendiri. Toh, ia belum mengenal sepenuhnya anak-anak di kelasnya. Hanya saja, kalau ada teman sebangku, suasana suram di kelas jadi tidak terlalu menakutkan. Habisnya, kelas 10-2 terletak di belakang sekolah yang berbatasan langsung dengan hutan karet milik pemerintah daerah setempat.

Kini, tinggal 10 menitan sebelum waktu yang disebutkan oleh teman sekelasnya tadi. Selama menunggu sebelumnya, entah berapa kali Liana menguap karena mengantuk. Namun, setelah 10 menit, pesan itu tak kunjung tiba. Sementara Liana malah ketiduran tanpa sadar. Dan keesokan harinya, ia kesiangan.

"Mama kenapa gak bangunin Liana?" Gadis yang rambutnya masih awut-awutan itu setengah berteriak pada mamanya. Lagian tumben sekali pagi-pagi mamanya tidak mengoceh. Biasanya sampai Liana baru melangkahkan kakinya keluar, suara mama baru berhenti terdengar. Tapi tidak kali ini.

"Anak zaman sekarang harus dibiarin. Itu kan maunya?" Perkataan mama kali ini tak bisa Liana bantah.

Ya, biasanya ia selalu berpikir demikian. Nanti juga kalau sudah waktunya pasti gerak sendiri kok, gak perlu dibilangin. Sayangnya kali ini kata-kata itu tidak berlaku. Lagi pula ini salah Liana sendiri. Ah, biarlah ia telat asal tetap ke sekolah.

"Ma, Liana berangkat!"

"Hati-hati, jangan ngelindur di kelas!"

Liana tak menggubris ejekan mama dan langsung berangkat.

Namun, yang namanya Senin tetaplah Senin. Liana sudah kesiangan dan jalanan masih saja macet seperti ia biasnya. Ya, pagi saja macet bagaimana kalau siang? Jangan harap bisa ikut upacara kali ini, menyelinap masuk ke sekolah pun sudah syukur.

"Sial banget sumpah," gerutu Liana pelan.

Biasanya kalau sedang menunggu macet, Liana akan mendengarkan lagu dari ponselnya. Tapi kali ini tidak, mood-nya sudah hancur. Belum lagi suasana sesak dan udara panas setengah lembap yang membuat angkot terasa tidak nyaman. Liana hanya ingin cepat sampai.

Setidaknya, harapan Liana yang terakhir terkabul beberapa waktu kemudian. Setelah melewati lampu merah yang ada di perempatan kota. Orang-orang mulai turun sehingga angkot yang ia naiki terasa lebih lega dan kemacetan pun berkurang.

***

Liana tiba di kelas dengan banjir keringat. Beruntung, upacara pagi ini tidak dilaksanakan, entah apa penyebabnya. Yang pasti, bel masuk langsung berbunyi ketika ia menginjakkan kakinya di depan kelas.

"Dari mana Lin kayak dikejar setan?" tanya seorang anak laki-laki yang kalau tidak salah namanya Fahri.

"Kesiangan, terus macet," terang Liana singkat, langkahnya terhenti sejenak. "Btw, bangku udah dibagiin?" tanya Liana seraya menarik napas.

"Udah, lu kebagian di pojok terakhir sama Rara," balas anak itu.

Liana mengingat sejenak nama Rara. Yang jelas, Rara itu perempuan. Sekarang, bukan waktunya mengingat teman-teman sekelasnya. Sebentar lagi guru datang.

"Makasih, Ri. Ga sempet buka HP liat bangku, nih. Gue duluan." Liana pun pergi meninggalkan Fahri yang masih sibuk dengan sapunya.

Begitu masuk, kelas sudah ramai dan Liana yakin kalau hanya ia saja yang baru datang. Buru-buru, ia berjalan ke pojok yang jadi bangku terakhir kocokan. Seorang anak perempuan sudah ada di sana.

"Pagi, Lin," sapa anak perempuan itu begitu Liana menaruh tasnya di atas meja.

Liana pun langsung menoleh. "Iya, parah banget hari ini. Udah kesiangan karena, terus macetnya parah banget!"

"Untung gak ada upacara," balas gadis di sebelah Liana.

"Iya!" ujar Liana girang. "Gak kebayang kalo ada upacara, ya ampun."

Gadis di sebelah Liana hanya tertawa menanggapinya.

"Oh iya, lu Rara kan ya? Sori, belum hafal nama-nama anak di kelas."

"Iya, Rara, kok."

Liana bersyukur karena teman sebangkunya minggu ini cukup menyenangkan diajak bicara. Meski di luar dugaan ada orang yang lebih pemalu dan kalem darinya. Malah, Liana seolah heboh sendiri.

Sampai, pelajaran dimulai ketika guru Biologi datang. Beliau memberi tugas yang harus dikerjakan dengan kelompok piket. Oleh karena itu, Liana yang ada di kelompok Rabu berpisah dengan Rara yang sepertinya piket di hari Jumat.

Habisnya, Rara tidak pindah tempat duduk dari sebelumnya. Di pojok bersama anak-anak kelompok Jumat. Rara tidak terlalu aktif dan hanya tersenyum sesekali. Liana jadi berpikir kalau selama ini Rara benar-benar kesepian. Kenapa pula ia baru menyadari ada anak seperti Rara saat ini?

"Liatin ke pojok mulu, Lin," tegur Saskia teman sekelompok Liana tiba-tiba. Sontak Liana menoleh karena kaget. "Jangan bilang lu naksir Dika? Liatin dia mulu, sih."

"Hah?" Liana benar-benar kaget denagn ucapan Saskia kali ini. Naksir dari mana, Dika yang mana pula?

"Lah, terus liatin siapa?"

"Gue liatin Rara, kok. Dari tadi diem banget habisnya," protes Liana menjelaskan kesalahpahaman Saskia.

Uhuk, Saskia malah batuk dan teman-teman sekelompoknya sontak menoleh dan bertanya-tanya. Namun, Saskialah yang justru ingin bertanya.

"Ngaco, mana ada Rara, Lin?"

"Lah, yang sebangku sama gue tadi pagi? Lagian Fahri bilang gue duduk sama Rara, kok. Tadi pagi juga kita ngobrol. Terus, tuh—" Liana kehilangan kata-katanya begitu ia menunjuk ke arah pojok. Tempat Rara duduk tadi.

Anak itu sudah tidak ada di sana.

"Sumpah dari tadi dia di pojok!" kata Liana keukeuh.

Saskia kini menepuk jidatnya, sementara teman-teman sekelompok lainnya bingung mau menjelaskan apa. "Duh, gimana gue bilangnya kalau gini?"

"Udah, kasih tau aja, Sas," ucap salah satu dari mereka.

"Iya, sih, Sas."

"Oke," putus Saskia. "Lin, semalem gue kirim kocokan telat, sori. Lu juga kayaknya belom paham sama istilah kocokan kelas, ya?"

"Eh, gimana?" Liana benar-benar tak bisa berpikir sekarang.

"Minggu ini lu duduk di pojok. Pojok tempat lu itu akhir kocokan, Lin. Kelas kita ganjil dan artinya yang terakhir itu duduk sendirian," jelas Saskia.

"Lah, terus Rara siapa? Fahri bilang—"

"Rara tuh cuma istilah biar kita seolah-olah ada temen sebangku, Lin. Aslinya ga ada anak kelas namanya Rara."

Seketika, tubuh Liana bergetar. Demi apapun, ia bahkan sudah berniat untuk selalu menemani Rara saat tahu anak itu kesepian. Iya, Rara yang tadi dan sekarang—sebenarnya, seharusnya memang gak ada.

"Tapi kayaknya, lu malah ketemu Rara beneran, ya?"

Ah, sial.

END

GenFest 2020: Teen Fiction x HorrorWhere stories live. Discover now