Dasar! Kakak Kelas!

96 21 4
                                    


"Mik, sorry banget, gue langsung cus ya."

"Keringatan gini, langsung balik?" Aku memandang Nessa tidak percaya. Kami baru selesai latihan basket lebih kurang 2 jam. Keringat kami masih bercucuran di dahi. Tidak biasanya Nessa langsung pulang. Kami biasa untuk bebersih terlebih dahulu.

"Abang gue udah kelamaan nunggu. Dari tadi udah di boom-chat nih gue!"

Aku mengangguk penuh maklum. Pantas saja. Perpisahan kami diwarnai dengan lambaian tangan sampai aku tak bisa lagi melihat wujud Nessa yang semakin menjauh. Saat aku berbalik, aku terkejut melihat seorang laki-laki yang bersandar di dinding koridor diseberangku. Bajunya sudah tak rapi. Rambutnya acak-acakan. Aku tidak mengenal wajahnya, tapi dari simbol biru yang dia gunakan, aku tahu dia adalah seniorku yang duduk di kelas XII. Lagi pula, sejak kapan seorang Mika mengenal kakak kelas yang tidak satu organisasi dengannya?

Demi menjaga sopan santun, aku mengangguk dan tersenyum kepada laki-laki itu saat aku melewatinya menuju kamar mandi. Bisa kulihat wajahnya terkaget saat kusenyumi. Namun, ya bodo amat, dari pada kena masalah besok-besok dikirain adik kelas sombong. Aku pun berlalu begitu saja. Sampai suaranya menghentikanku.

"Hei!" serunya.

Aku berbalik. Dia menatapku, tapi tetap saja mau kupastikan terlebih dahulu. "Kakak manggil saya?" Dia mengangguk.

"Ada apa kak?"

Dia terdiam. "Enggak apa-apa. Manggil aja."

Aku memberengutkan muka, tetapi tak berani menggurutu. Lalu, aku pun berbalik pergi saat dia menginsyaraktkanku untuk berbalik.

Dasar! Kakak kelas aneh.

***

Memang gitu ya, sekali ketemu pasti setelahnya jadi sering bertemu.

Walau dalam kasusku, tidak bisa benar-benar dikatakan bertemu, karena hanya saling pandang dan tersenyum. Tanpa pernah ada sapa yang terucap. Kami berpapasan di koridor, di kantin, di perpustakaan, dan seperti saat ini, saat aku dalam perjalanan ke ruang guru bersama Nessa. Aku melihatnya di DPR alias di bawah pohon rindang. DPR adalah tempat nongkrong favorit murid-murid sekolahku apalagi saat jam pelajaran olahraga. Bangku-bangku beton yang berada di bawah pepohonan rindang di pinggir lapangan benar-benar penyelamat jiwa raga dari serangan terik matahari serta kejamnya siksaan guru penjaskes.

"Duh ileh, kenapa senyam-senyum sendiri?" Aku terhentak dari lamunanku akibat sikutan Nessa.

"Apaan sih, Nessa. Enggak senyum-senyum sendiri kok. Itu, tadi ada kakak kelas yang aku kenal." Dasar Mika! Kenal dari hongkong? Namanya saja enggak tahu, jelas-jelas cuma sekedar ingat wajahnya saja.

Nessa langsung kepo, sudah pasti. "Yang mana?! Yang mana?" Ia mengikuti pandanganku ke arah sekumpulan anak kelas XII yang sedang berkumpul di DPR. Aku ingin menunjukkan sosoknya kepada Nessa, tetapi aku sudah tidak bisa menemukan keberadaannya di sana.

"Sudah pergi orangnya," jawabku sambil lalu.

***

"Hei!"

Aku berjengkit kaget. "Loh? Kakak?" Aku benar-benar kaget ketika mendapati si kakak kelas aneh itu sudah berdiri di depanku. Perasaan tadi tidak ada siapa-siapa. Apa aku yang melamun, ya?

"Namamu siapa sih?" tanyannya.

"Mika, Kak." Aku menjawab sambil mengulurkan tangan. Namun, si songong di depanku ini malah bersandar ke dinding dan bersedekap. Kurang ajar!

Dia mengangguk-ngangguk. "Mika, ya," ucapnya membeo. Lalu hening. Aku tidak tahu harus apa selain berdiri kaku di depannya. Dia menatapku dalam sebelum akhirnya kembali berbicara. "Aku enggak tahu sih kenapa kita banyak bertemu akhir-akhir ini."

Ya, namanya juga satu sekolah, kak. Aku menjawab dalam hati.

"Aku juga enggak tahu apa kamu terganggu dengan kehadiranku."

Heh? Ngomong apa sih dia? Biasa aja kali. Wajar juga 'kan?

"Tapi, aku akan mengusahakan untuk tidak muncul lagi di depan kamu."

"Hah?" Aku tidak lagi membendung keherananku. "Biasa aja lah kak. Namanya juga satu sekolah. Emang kakak mau pindah gitu biar ga ketemu-ketemu lagi?"

Dia tersenyum kecil. Kemudian menggeleng lemah. "Kamu akan tahu besok," jawabnya. "Cari aja Divan, kelas XII MIA 7."

Hah? Lagi-lagi aku terheran. Kenapa harus besok? Aku baru saja akan menyerukan pertanyaan yang ada di benakku saat dia beranjak pergi.

Dasar! Kakak kelas aneh.

Eh? Apa itu? Aku melihat secarik sapu tangan biru terjatuh di lantai. Aku memungutnya. Caturangga Divan terbordir di sana. Ah! Punya dia. Kak Divan, kelas XII MIA 7, aku mencatatnya di memori otakku.

***

Tatapan horor dari anak-anak kelas XII MIA 7 yang menyambutku ketika aku menanyakan keberadan Kak Divan. Padahal aku sudah mengatakan bahwa aku hanya ingin mengembalikan sapu tangannya yang terjatuh di koridor tempo hari. Namun, penjelasan Kak Deera, si Queen Bee sekolah membuatku rasanya mati berdiri.

Kak Divan tidak ada.

Kak Divan sudah tidak ada.

Kak Divan sudah tidak ada sejak 6 bulan lalu.

Kak Divan sudah tidak ada sejak 6 bulan lalu, saat libur kenaikan kelas. Saat kelas mereka, yang saat itu masih XI MIA 7, pergi liburan ke puncak. Kak Divan sudah tidak ada sejak bus mereka terbalik dan terguling.

Kak Divan pergi untuk selama-lamanya, sejak saat itu.

Lalu, siapa yang aku jumpai dalam satu minggu terakhir ini?

Lalu, aku hanya sempat mendengar pekikan orang-orang sebelum semuanya gelap.

END. 

GenFest 2020: Teen Fiction x HorrorWhere stories live. Discover now