Eater

88 18 1
                                    

"Anak Adam begitu rapuh. Mereka besar mulut, tetapi cepat sekali rusak kalau terpojok."

Ia menjulurkan tangan hitamnya ke arah seorang pemuda bersurai putih di bawah topi baker cokelat yang dikenakannya. Rona pemuda tersebut kalut, rahangnya mengeras, bibirnya bergetar.

"Ambil tanganku, aku bersumpah akan mengabulkan segala permintaanmu."

Dalam sekejap, manik sang pemuda kehilangan cahaya seakan semua direbut oleh kegelapan. Ronanya menjadi sedatar air danau di dalam hutan terlarang, tidak tersisa rasa sedikit pun. Tangannya menjawab uluran tadi.

Sang makhluk kegelapan mengukir seringai dari neraka, menarik para pendosa ke dalamnya.

"Sampai masa hilang keabadiannya."

Sang pemuda memilih jalannya, ia tidak lagi peduli nyawa. Selama gadis itu masih hidup, ia tidak bisa tenang.

"Oke, cukup! Sekarang istirahat dulu. Narator, anak-anak tata panggung, tata suara, sama tata lampu, sini briefing dulu."

Semua bertepuk tangan, beberapa bersorak gembira menyambut dua pemeran drama yang turun dari panggung.

"Kalian keren banget!" Sunny berseru sambil menepuk-tepuk salah satu pundak mereka.

Di sebelah Sunny, Luna mengacungkan jempol lalu berkata, "Boleh juga, bau-bau juara satu, nih."

Bintang, pemeran pemuda bersurai putih tadi tersenyum sombong, sedangkan Lintang menyembunyikan wajah di balik lengan jubah hitamnya.

"Bi-biasa aja, kok," sebut Lintang dengan suara yang semakin kecil pada setiap kata.

Ketiga orang tadi terdiam, mereka memperhatikan Lintang sampai wajah pemuda itu sangat merah. Ketiganya setuju tanpa perlu mengatakan apa pun.

Gila, cowok ini imut banget.

Luna menaikkan sebelah alisnya. "Padahal kamu ini perannya antagonis, masak lembek kayak gini?" ucapnya.

"Kayak cewek," tambah Sunny.

Bintang membela temannya dengan berkata, "Jangan gitu, dong. Walaupun dia suka malu dan kadang imut bang-- um, lembut, lihat aktingnya! Aku aja sampai merinding, lo."

"Iya, sih, pantas banyak cewek yang suka kamu! Tapi kamunya malah lebih cewek dari mereka," kata Luna. Jari telunjuknya terarah kepada Lintang.

Lintang memalingkan wajah, Luna benar-benar menahan dirinya untuk tidak mencubit kedua pipi pemuda tersebut.

"Oh, kalian harus ganti baju dulu." Sunny memperingatkan sebagai anak tata busana. Ia menarik tangannya dan membiarkan mereka pergi. Kostumnya tidak boleh kotor karena besok mereka harus menampilkan yang terbaik di panggung perlombaan.

"San, makan dulu, yuk! Aku laper parah."

"Di mana? Kantin?"

"Iya."

"Lah, emang kantin buka malam-malam?"

"Buka, khusus ekskul drama."

Luna dan Sunny meninggalkan lapangan indoor dan pergi ke kantin. Namun belum juga setengah jalan, Sunny dipanggil temannya yang sama-sama tata busana karena mereka tiba-tiba ikut dikumpulkan.

Tidak apa, Luna bukan penakut, tetapi pergi ke kantin yang jaraknya lumayan jauh dari lapangan dan di malam hari memberikan sensasi lain bagi dirinya.

Rasa itu semakin kuat saat dirinya sampai di kantin.

"Bu, nasi soto ayamnya satu," pesan Luna kepada penjual di belakang stand, "jangan pakai sambal."

"Siap."

Kantin sekolah Luna tidak di dalam, hanya ditutupi terpal biru tua yang menghalau sinar matahari dan hujan, tidak dengan embusan angin dingin malam. Namun kantin tidak sesepi yang ia kira, aktor dan aktris ekskulnya memenuhi sisi kiri, di bagian tengah ada anak-anak tata rias dan tata suara, sedangkan di sisi kiri ....

"Lintang?" bisiknya.

Luna menerima mangkuknya yang berisi soto ayam dicampur nasi lalu berterima kasih cepat. Kemudian ia berjalan menuju meja Lintang dengan sensasi yang lebih aneh dari berjalan sendirian tadi.

"Hai, sendiri aja?" sapa Luna.

Lintang berhenti mengunyah, manik hitamnya menatap mata Luna lama sebelum mengangguk. Karena sudah telanjur, ia duduk di depan pemuda itu dan memakan makanannya.

"Cepat juga ganti bajunya." Luna berucap sembari memerhatikan kemeja putih orang di depannya.

"Y-ya, soalnya aku lapar banget," jawab Lintang sambil tersenyum kaku.

Mereka sama-sama lapar rupanya, tetapi makanan yang dibeli Lintang tampak sama sekali belum disentuh, bentuk nasi yang dicetak mangkuk belum hancur, ayamnya masih tapi, padahal tadi ia mengunyah sesuatu.

"Kamu habis makan permen?" tanya Luna, tetapi aura aneh di sekitar Lintang semakin kuat.

Lintang menggeleng cepat. "Enggak. Em-emang kenapa?"

"Terus tadi kunyah apa ... eh?" Kaki kanan Luna merasakan sesuatu di bawah meja, dari balik sepatunya, seperti sesuatu yang empuk.

Sang gadis memundurkan kursi dan mau menurunkan tubuh, tetapi Lintang berkata, "Jangan dilihat."

Suaranya dingin, tidak terbata.

Tubuh Luna menegang sesaat. Gadis tersebut mengangkat tubuhnya lalu menatap Lintang, iris pemuda itu berkilat merah.

Luna menutup mulutnya dengan tangan kemudian berkata, "Yang benar saja, kau ...."

"Jangan-jangan, Bintang?"

Segaris senyum paling sinis tercipta di wajah Lintang, ia meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, menyuruh Luna untuk diam.

Akan tetapi Luna tahu, dari awal harusnya ia sudah curiga dengan aura yang dikeluarkan Lintang hari ini, dan ini adalah pernyataan perang untuk beberapa hari ke depan.

Di balik tangannya, seringai tercipta jelas. Maniknya ikut berkilat merah selagi ia berucap, "Sialan, padahal jiwa dia yang paling kuincar bulan ini."

GenFest 2020: Teen Fiction x HorrorWhere stories live. Discover now