I Love You, As Always

139 26 0
                                    

Clak!

   Leo menutup pintu secara amat perlahan. Lantas ia melangkah dengan tapakan yang juga perlahan, mencoba menghampiri seorang wanita yang kini rebah di atas ranjang dengan membelakangi dirinya. Mama.

   "Lullaby. Oh, lullaby. If you're not sleeping, the mosquito will bite you."

   Leo memberhentikan langkah kakinya ketika mendengar suara lembut Mama yang bernyanyi 'nina bobo' dengan amat sangat sangat pelan. Mama tidak sadar ada Leo di belakangnya, dan Leo pun sengaja tidak segera menegur karena ingin tau lebih jauh mama bernyanyi untuk siapa. Carla tidak di sisinya, bocah kecil itu rebah di atas sofa bersama bonekanya. Lantas mau tak mau Leo pun melangkah maju sedikit lagi, lalu melirik mama yang ternyata bernyanyi sembari terus mengeluarkan air mata tanpa isakan. Dan satu lagi, ada sebuah baju bayi dalam genggamannya.

Leo mengernyit. "Ma?"

   Mama kaget, ada sedikit hentakan tubuh ketika mendengar Leo tiba-tiba memanggil. Mama langsung menoleh lalu buru-buru menghapus air matanya kemudian tersenyum, dan juga ia secepat mungkin menyembunyikan baju bayi tadi buru-buru ke bawah bantal.

   "Abang kok nggak manggil dulu pas di pintu?" tanya mama yang mencoba berganti posisi menjadi duduk.

Leo tak menjawab pertanyaan itu. "Mama ngomong sama siapa?" tanyanya langsung.

Mama terkekeh. "Ngomong sama siapa? Mama nggak ngomong sama siapa-siapa."

   Leo ambil alih duduk di sisi ranjang, menghadap wajah mamanya dan mencoba menelaah ada sorot tersembunyi apa dari tatapan mata sayu itu. Kesedihan. Yang amat dalam.

   "Mama kenapa?" tanya Leo dengan konsep pertanyaan yang berbeda.

Mama terdiam, menatap wajah Leo. "Mama nggak pa-pa, bang."

   "Bo'ong."

   "Kok bo'ong?" mama terkekeh, lalu mengelus pipi Leo. "Kalo mama kenapa-napa juga pasti bakal bilang," lanjutnya.

   Leo diam. Mencoba mempercayai ucapan sang mama, meskipun jujur ia tak bisa. Leo tau jelas, mama bohong besar tentang suatu hal yang tidak ia ceritakan. Entah karena mama tak ingin Leo sebagai anak merasa khawatir, atau memang Leo tak perlu tau soal masalah orang tua. Detik berikutnya, Leo pun tersenyum, mengangguk pelan tanda mengiyakan argumen sang mama bahwa beliau baik-baik saja.

   "Abang ini mukanya pada bonyok?" tanya mama kemudian. Kini Leo yang rasa-rasanya tersemprot pertanyaan.

   Leo tertegun, lalu menunduk menjauhkan wajahnya dari sang mama, bahkan sentuhan lembut tangan mama di pipinya pun terpaksa ia lepas. Leo lupa bahwa luka-luka akibat tinju masih membekas, tapi ia berani-beraninya bicara sedekat ini dengan mama.

   "Abang?" tegur mama. "Kenapa?" lanjutnya.

   "Nggak pa-pa, ma."

   "Leo," suara lembut itu membuat Leo terenyuh, lalu perlahan jemari mama mengangkat dagu putranya tersebut. "Abang pukul-pukulan ya?"

Leo terdiam.

   "Kata Carla abang main pukul-pukulan sama temen abang. Main apa kamu?"

Masih terdiam. Skak mat.

   Leo menoleh ke belakang, melihat Carla yang kini lelap di atas sofa itu. Ia menelan salivanya, merasa ada pengkhianatan dari kesepakatan yang ia buat dengan sang adik kemarin hari. Tapi ia tak marah, jauh dalam lubuk hatinya ia pun memaklumi bahwa bocah sekecil Carla tak mungkin benar-benar paham apa artinya perjanjian.

   "Leo?" tegur mama lagi, membuat Leo kembali menoleh padanya.

   "Ehm... Enggak... Cuma berantem kecil aja. Biasa, ma. Namanya juga cowok," balas Leo canggung.

Homesick HeartWhere stories live. Discover now