Minggu pilu

77 13 19
                                    

Lantunan musik klasik terdengar mengalun indah di sebuah kamar kost di gang sempit di tengah kota Yogyakarta yang baru saja diguyur hujan sore itu. Sekarang jam menunjukkan pukul setengah lima. Inu menutup buku bacaannya, ia ingat kalau ia belum mandi dari pagi tadi. Terdengar jorok tapi itulah kebiasaannya ketika libur.

Hari ini hari minggu, hari yang dinantikan oleh beberapa sejoli untuk bertemu dan sekedar bercengkrama dengan pasangannya ditengah hiruk pikuk dunia mereka masing-masing. Tapi tidak dengan Inu, Minggu ini ia sepi, sendiri.

Air sore ini dirasa seperti es. Beberapa gayung saja sudah berhasil membuat Inu menggigil. Biasanya Yogyakarta yang sederhana ini tidak sedingin seperti sekarang, pikirnya. Beberapa menit berlalu, ia sudah mengenakan piyama kesukaannya yang berwarna abu-abu dan bermotif bulan sabit itu. Langkahnya tertuju pada lemari penyimpanan makanannya, ia mencari sebungkus indomie yang seingatnya kemarin masih tersisa.

"Di mana sih, kok nggak ada. Padahal laper." Ia menggerutu sambil memegang perutnya yang sedari tadi minta diisi.

Akhirnya ia memutuskan untuk ke warung bu Willa di seberang jalan kostannya, ia langsung bergegas mengambil hijab, mencari uang receh dan mencari kunci kamar kostnya. Dengan malas, ia melangkahkan kaki ke luar untuk membeli indomie, kenapa indomie bikin aku gini banget ya, pikirnya.

"Bu, permisi, saya mau beli indomie goreng 1 bungkus aja" Inu setengah berteriak dari luar.

"Iya nduk, sebentar ibu ambil dulu" bu Willa masuk ke dalam dan mencari mie.

"Maaf ya nduk, mie gorengnya sudah habis" sambung bu Willa.

Inu memutuskan kembali ke kamar kostnya dan dengan terpaksa ia membeli dua bungkus roti seharga dua ribu rupiah. Ya begitulah anak kost, kalau tidak ada indomie rotipun jadi. Mengingat kondisi keungannya yang sudah menipis Inu harus dengan sekuat jiwa dan raga untuk hemat.

Sudah beberapa bulan ia di kota yang asing ini, ia berada di kota ini bukan tanpa alasan. Inu sedang menempuh pendidikan tinggi disalah satu kampus terkenal di sana, sebenarnya ini adalah kota yang membuatnya penasaran, kata orang di kota ini mampu membuat kita lebih sederhana, meskipun pada awalnya memang Inu sudah sederhana. Sesederhana penampilannya dan isi otaknya. Ah tidak, itu bohong. Otaknya rumit, ia terlampau sering memikirkan hal-hal yang tidak penting dan terkadang mengkhawatirkan yang seharusnya tidak perlu dikhawatirkan. Apalagi semenjak kepergian didua minggu yang lalu, pilu.

Duduk lagi Inu di pojok kamarnya, di dekat jendela tepatnya. Angin menyapu wajahnya dengan lembut, lalu ia membuka sebungkus roti dan dimakannya. Tak sengaja matanya tertuju pada pesawat yang lewat, berhenti ia mengunyah lalu mengambil sisa teh tadi pagi, ia sesap perlahan. Seandainya aku tahu pulangmu, pikirnya. Mendadak ia tak selera makan lagi. Mengambil handphone di atas meja, melihat notif pesan, tapi tidak ada dari siapapun. Ia tahu itu salah dan tak berarti apa-apa tapi hatinya dulu tidak memberi aba-aba, jatuh cinta sendirian itu hanya menciptakan luka yang menganga.

"Nu, woi lagi ngapain sih, buka pintunya, ada berita nih," teriak Almira dari luar kamar.

"Apaan sih mir, males nih, berita apaan?" sahutnya malas.

"Ga, gamau ngasih tau kalo ga dibukain pintu." Almira pun berteriak.

"Iya ah, berisik." Inu berjalan keluar kamar dan membukakan pintu.

Almira menyodorkan handphonenya, terlihat di layar itu ada pesan dari no baru beberapa menit yang lalu. Inu pun meraihnya dan membacanya.

"Mir, ini Lingga, tolong sampaikan maafku untuk Inu, mungkin aku akan pulang ke Yogyakarta sekitar 2 minggu lagi, aku tidak bisa kembali secepat yang Inu mau, banyak hal yang harus ku urus."

Ah, lucu sekali pria itu. Sengaja begitu, pergi untuk menghindari. Inu tersenyum simpul dan mengucapakn terima kasih kepada Almira, wanita itu beruntung sehinga Linggaku hanya menghubunginya meski nomor teleponku sebenenarnya ada padanya, pikirnya. Almirapun turun ke bawah meninggalkan Inu, kamar mereka memang sedikit berjauhan, Inu di lantai tiga dan Almira di lantai dua. Adzan maghrib telah berkumandang, bergegas ia melaksanakan kewajibannya. Setelah menunaikan kewajibannya, Inu melihat keadaan kamarnya yang luar biasa berantakan. Malam ini ia berniat ingin membersihkannya namun sebelum itu ia kembali memeriksa notif di handphonenya, nihil Lingga tidak menghubunginya. Ia memutuskan untuk menonaktikan handphonenya, mungkin ini lebih baik biar aku lebih fokus beres-beres, pikirnya.

Dua jam telah berlalu, akhirnya kamar Inu kembali layak untuk ditempati. Buku-buku kesayangannya terlihat rapi di raknya, seolah terseyum dan meminta Inu untuk membacanya. Tapi, terangnya cahaya bulan di luar jendela telah lebih dulu mencuri perhatiannya. Ia memutuskan untuk menyeduh kopi sachet simpanannya, ia berniat untuk begadang lagi malam ini, ia akan mencoba menghabiskan malam panjangnya dengan bermanja bersama buku-buku yang belum sempat ia baca. Lagipula, besok Inu masih libur sehingga tidak akan masalah kalau ia begadang.

Selesai menyeduh kopi, ia mengambil novel yang ia beli beberapa minggu lalu bersama Lingga, ia mengatur posisi supaya nyaman ketika membaca, perlahan ia teliti dan mencoba memahami apa yang sedang ia baca hingga ia benar-benar tenggelam dalam cerita yang ada di novel itu. Inu memang sosok yang sangat mencintai buku seperti novel yang menurutnya mampu mengajarinya berbagai hal dalam sudut pandang yang berbeda.

Pertama kali ia jatuh cinta dengan novel pemberian Lingga, temannya. Waktu itu, Lingga memberikan novel itu ketika Inu berulang tahun ke-20 sebagai hadiah. Bahagia bukan main, Inu diberi hadiah oleh seorang teman yang sangat baik kepadanya. Tapi, sebenarnya Lingga biasa saja, Inu yang luar biasa tidak biasa. Dari situ memang sudah keliru bukan? Dengan segala daya dan upaya, buku itu ia rawat dan tidak dibiarkan rusak sedikitpun. Ya, memang sedikit berlebihan.

Setelah berlembar-lembar ia baca, Inu memutuskan untuk berhenti sebentar. Perutnya lapar. Sekarang sudah jam setengah satu dini hari. Kostan sudah sepi, ia meregangkan badannya kemudian berdiri. Ia mengambil sebungkus roti sisa tadi sore. Sesekali ia lirik handphonenya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, ada sesuatu yang mencekal kerongkongannya, perlahan-lahan ia tarik nafas dan buang. Hati dan pikirannya tidak bisa diajak kompromi lagi. Tangannya gatal untuk meraih handphone dan mengaktifkannya, tidak juga ada notif pesan dari Lingga. Hatinya meringis tapi pikirannya selalu mengutuk dirinya sendiri. Hatinya terus meminta namun pikirannya dengan tegas menolak. Perasaan macam apa ini. Mungkin, ini salah perasaan. Manusia kan suka begitu, apalagi perempuan. Setelah beberapa jam ia dengarkan sorak riuh pikirannya, ia terlelap juga pada akhirnya. Meski dari riuhya penolakan atas pikirannya terhadap sosok Lingga, pelipisnya tetap saja basah, matanya terlihat lelah menyuarakan apa yang ada dihatinya. Perihal kepergian Linga ke Pontianak, tidak pula memberi kabar dan terkesan menghindarinya membuat hatinya sesak apalagi banyak kabar simpang siur Lingga akan bertemu seseorang di sana yang Inu dengar dia adalah sosok yang luar biasa, cantik dan kaya. Apakah pertemanan dan pengharapan ini akan patah sesegeranya? Entahlah.

INI CERITA INUWhere stories live. Discover now