Langit

20 4 2
                                    

Kemarin, Inu habis membaca satu cerita yang sangat menginspirasi ketika ia berhasil mencuri waktu seraya mempersiapkan segala sesuatu untuk kepindahannya ke Pekan Baru.

Cerita yang tidak terlalu panjang, mudah dimengerti dan mengena dihati.

"Kalau hidup itu adalah sebuah perjalanan maka kita pasti akan ditinggalkan dan meninggalkan"

Itu salah satu bagian yang membuat Inu mencoba dengan keras untuk menelaah lebih jauh. Inu mencoba untuk menyamakan dengan proses kehidupan umat manusia, tanpa terkecuali dirinya sendiri.

Tapi, setelah ia pikirkan. Ia memilih untuk tidak berpihak pada keduanya. Setelah banyak hal yang dilaluinya, ditinggalkan atau meninggalkan adalah dua hal yang menyakitkan.

Tetapi, lagi dan lagi hidup ini memang banyak menyuguhkan kejutan yang tak terduga-duga.

Seperti halnya manusia lain yang sedang dalam masa belenggu kehilangan, Inu lupa sesuatu bahwasanya segala sesuatu yang hilang dapat dengan mudah Tuhan gantikan.

Setelah melalui proses fikir yang durasinya lumayan panjang. Inu mencoba untuk menjadi orang yang lebih open minded.

Kata orang manusia itu memang datang dan pergi, seperti halnya lahir dan kembali. Kembali pada janji sebelum ia lahir kedunia ini.

Hal itu memang suatu kebenaran dan klise. Tapi, memahaminya butuh hati yang lapang dan proses fikir yang waras dan tenang.

Tidak semua hal di dunia ini bisa diraih, disimpan dan tak pernah bisa selalu ada selamanya. Singkatnya, tidak ada yang abadi. Kalau pun ada, Inu masih meragukan keabadian itu.

"Nu, bisa minta tolong jendelanya ditutup aja, ya. Dingin banget."Nuwa sedikit mendongakkan wajahnya pada Inu yang duduk di dekat jendela.

"Oh iya kak. Maaf ya."Inu agak terkejut karena Nuwa tiba-tiba terbangun. Ia pun segera menutup jendela tersebut.

Ya, Inu belum juga mengistirahatkan pikirannya barang lima menit saja seharian ini. Entah apa hal pasti yang membuat Inu enggan untuk itu.

"Nu, ayo istirahat dulu. Tidur."Nuwa terbangun dan beranjak dari tempat tidur dan berlalu untuk mengambil air satu gelas.

"Nih, minum dulu."Nuwa menyerahkan air minum tersebut.

"Makasih kak."sekilas Inu tersenyum sebelum menenggak minumnya.

"Nggak usah terlalu dipikirkan, semua bakal baik-baik aja. Jangan nyiksa diri, kamu butuh istirahat, biar nggak sakit."

"Sekarang kakak tanya, kamu lagi mikirin apa?"sambung Nuwa.

Inu diam tak bergeming, wajahnya dengan sekejap setelah pertanyaan itu ia palingkan keluar jendela, menatap ke langit yang temaran.

Nuwa tahu betul bahwa Inu adalah sosok yang tidak mudah untuk berbagi cerita. Sejujurnya Nuwa khawatir.

"Kak."satu kata yang keluar dari mulut Inu dengan nada yang lirih dan seperti berbisik.

"Iya, kenapa?"tanya Nuwa dengan serius memperhatikan dan mendengar kata-kata Inu berikutnya.

"Kak, boleh nggak ya aku jadi burung aja, burung biru yang cantik dan bebas terbang kemana saja."Inu sedikit mengulas senyum dan mengusap kaca jendela.

"Nu, kita nggak boleh hidup dalam perandaian terus menerus. Itu nggak baik. Hadapi saja, jangan pengecut. Membayangkan suatu hal seperti itu hanya akan membuat kamu lelah dan menyiksa diri. Bukan fisik, tapi hati kamu."Nuwa mengatakan hal tersebut sambil meremas tangannya sendiri dengan sekuat mungkin. Ya, dia juga sedang menguatkan diri untuk adiknya.

Dari pertanyaan ntah pernyataan yang Inu sampaikan beberapa detik yang lalu. Rasanya ada yang tak kasat mata menggores hati Nuwa.

Adiknya tengah putus asa. Kacau pikirannya. Banyak melamun. Dan selalu berdiam diri dengan tatapan Kosong.

"Bukannya Inu pengecut. Tapi, Inu butuh pilihan lain selain meneruskan menjadi manusia payah kak. Aku ingin terbang, menuju langit yang luas. Mengambil semua yang sudah Inu titipkan bersamanya tak bersisa bahkan sebutir debu sekalipun."

Maksud yang belum dipahami dengan sepenuhnya oleh Nuwa. Inu selalu mengibaratkan sesuatu dengan rumit. Nuwa takut salah dalam mengartikannya.

"Kakak tanya, memangnya apa yang kamu titip sama langit?"tanya Nuwa.

Inu nampak terdiam lalu perlahan air matanya jatuh.

"Banyak kak, salah duanya adalah cita dan cinta. Maaf kak, maaf Inu lancang, Inu nggak bermaksud"Inu menatap Nuwa dengan tatapan sendu dan sesekali menyeka air matanya.

"Nu, sini."Nuwa merengkuh badan Inu yang terlihat lebih kurus dari sejak kepergiannya sebelum melanjutkan sekolahnya ini.

"kamu tau nggak, sebenarnya kamu tuh lagi dikuatin sama keadaan, emang nggak mudah, sakit banget. Apalagi masalah cita-cita. Nu, kakak pengin coba kamu lihat sisi paling terang dari hal yang paling gelap dalam hidup kamu. Ini bukan akhir cerita. Ini cuma kerikil yang kebetulan bikin kamu tersandung, tersungkur lalu kamu jatuh bahkan luka." Nuwa memeluk Inu sambil menguatkan Inu.

"Besok coba kita mulai lagi. Segala hal yang kamu titip sama langit biarin aja, lama-lama juga hilang. Toh, itu yang bikin kamu sakit,'kan?. Jangan diambil lagi tambah sakit hatimu nanti. Oh iya, kamu tau nggak kalo sesuatu yang melewatkan kita nggak bakal jadi takdir kita, nah mungkin takdir Inu bukan itu."Nuwa melepaskan pelukannya dan memegang tangan adiknya dan Inu masih tampak mencerna kata demi kata yang kakakya ucapkan sebelumnya.

"Masalah perasaan yang kamu rasain juga mesti kamu damaikan. Coba untuk terbiasa sama hal yang bikin kamu sakit. Nanti kamu nggak bakal bingung dan terpuruk lagi pas ngadepinnya dimasa depan entah itu dengan orang berbeda atau sama. Jadi, kakak harap kamu berubah pikiran supaya nggak jadi burung, kakak sedih lho Nu dengernya, kan nggak lucu banget kalo kamu jadi burung, pasti kamu jadi burung kurus kurang makan dah hahaha"nasihat Nuwa yang berujung candaan ringan yang berhasil membuat Inu tambah menangis dan kali ini Inu yang merengkuh Nuwa.

"Maaf, udah bikin kakak sedih."seketika Inu semakin dalam menenggelamkan mukanya ke pundak Nuwa.

"Udah, ya. Dah hampir subuh. Gih wudhu dulu abis itu shalat nah abis itu kamu tidur."perintah Nuwa.

"Iya kak." Inu menyeka air mata dan ingusnya yang dari tadi meleleh tidak karuan kemudian bergegas membersihkan diri terlebih dahulu.

Malam yang panjang dan menyedihkan hampir Inu lewati sendirian dalam dekapan malam yang temaram, bulan yang enggan datang turut juga bintang. Mencekam. Kalut dalam rasa kesedihan untung saja ia bersama Nuwa yang mampu sedikit menenangkan khawatir dan mengembalikan arah yang tidak lagi tentu kemana tujuannya. Cara Tuhan mendewasakan sungguh luar biasa, kata orang ini belum belum seberapa. Semoga Inu lainnya diluar sana mampu terbiasa dan menjadi dewasa seutuhnya.

***

Hi, satu bulan berlalu akhirnya bulan ini bisa up lagi. Makasih uda baca, semoga agak relate ya sama hidup kita semua, kalopun ga relate relate banget gpp ya, hehe.



INI CERITA INUWhere stories live. Discover now