Tanpa aba-aba

24 5 3
                                    

Ramainya jalanan, sesaknya pikiran dan perihnya luka kehidupan. Tidak sedikitpun memberi ruang, terus memecut dan menyuruh melesat tanpa ampun dan tidak pula memberi penjelasan bagaimana dan harus apa. Seputar pertanyaan yang entah apa jawabanya selalu saja mengerayangi pikiran, menjejali dimensi paling rahasia di dalam diri seseorang tanpa permisi dan tanpa ragu pula ia kembali. Terus dipikirkan oleh seseorang apa rasanya, ya. Tiba-tiba pertanyaan itu muncul seketika di benak Inu. Bukan hanya sekali tapi seringkali. Kadang tersadar ingin kembali utuh tapi saat itu pula kembali rapuh. Inu selalu saja mengeluh.

Lelahmu jadi lelahku juga
Bahagiamu bahagiaku pasti
Berbagi takdir kita selalu
Kecuali tiap kau jatuh hati

Kali ini hampir habis dayaku
Membuktikan padamu ada cinta yang nyata
Setia hadir setiap hari
Tak tega biarkan kau sendiri
Meski seringkali kau malah asyik sendiri

Karena kau tak lihat
Terkadang malaikat tak bersayap
Tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini, silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Siapa yang jadi juaranya

Hampamu tak kan hilang semalam
Oleh pacar impian, tetapi kesempatan
Untukku yang mungkin tak sempurna
Tapi siap untuk diuji
Ku percaya diri, cintakulah yang sejati

Namun tak kau lihat
Terkadang malaikat tak bersayap
Tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini, silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Siapa yang jadi juaranya

Kau selalu meminta terus kutemani
Dan kau s'lalu bercanda andai wajahku diganti
Melarangku pergi karena tak sanggup sendiri

Namun tak kau lihat
Terkadang malaikat tak bersayap
Tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini, silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Aku kan jadi juaranya

Namun tak kau lihat
Terkadang malaikat tak bersayap
Tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini, silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Aku kan jadi juaranya

Begitulah penggalan demi penggalan lirik lagu yang didengar oleh Inu secara teliti pagi ini. Bukan berarti ia seorang ahli dalam permusikkan tapi makna yang terkandung mampu menggetarkan hatinya. Sederhana tapi ya begitulah. Lagu itu merepresentasikan perasaannya ketika ia mencoba menikmati pagi dengan berdiam diri di dekat jendela. Malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya, begitu akhir liriknya.

"Nu, gimana tidur kamu tadi malam, nyenyak?"tanya Nuwa yang memecahkan lamunan Inu.

"Sebenernya nggak kak"jawab Inu lemas.

"Kenapa?"lanjut Inu.

"Nanya lho, nggak boleh emangnya"

"Ih mulai deh"

Inu kembali memfokuskan pandangannya ke luar jendela. Kembali mengingat perihal berita yang ingin disampaikan oleh Nuwa. Telah habis satu malam untuk mempersiapkan diri mendengar hal itu. Akhirnya rasa penasaran itu sampai pada puncaknya.

"Kak, berita apa sih?"tanya Inu memberanikan diri.

Nuwa menarik nafas dalam-dalam dan ia lepaskan perlahan. Matanya tidak pernah bisa berbohong, sudah berkaca-kaca sejak beberapa detik yang lalu.

"Kalo kamu berhenti kuliah, kamu mau ngapain Nu?"

Inu mengerenyitkan dahi, menatap penuh tanya.

"Kakak nggak sanggup lagi biayain, uang kuliah kamu, tempat tinggal kamu dan keperluan kamu."sambung Nuwa.

Inu tak bergeming. Menurutnya ini adalah guntur di pagi hari yang memekakkan telinga ketika ia sedang tidur dan bermimpi indah. Ia berharap kalau kata-kata yang diucapkan kakaknya hanya lelucon di pagi buta.

"Bentar, gimana sih kak maksudnya? Nggak ngerti lho."

"Kakak habis kontrak di perusahaan sebelumnya, udah ngirim lamaran kerja ke perusahaan lain tapi nggak ada satupun yang keterima."

"Kenapa nggak lanjut aja di perusahaan sebelumnya?"tanya Inu.

"Nggak bisa Nu, kakak nggak bisa."jawab Nuwa mencoba untuk memberi pernyataan agar Inu memahami.

Inu lemas, habis daya dan tak sanggup percaya. Keputusan yang mendadak dan diluar ekspetasi seorang Inu. Jauh ia pergi dari kampung halaman untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang akuntan. Sirna dan sia-sia. Rasanya pada hari itu Inu menjadi orang yang paling malang di dunia. Lebih sakit dari hari-hari kemarin. Bukan lagi masalah cinta tapi ini cita-cita.

"Dek, maafin kakak."suara Nuwa serak hendak menumpahkan tangisnya.

Inu tidak bereaksi apa-apa, ia tertunduk sangat dalam. Mencoba mencerna keputusan Nuwa. Mencoba mengerti keadaan yang sebenarnya. Untuk beberapa hal yang telah direnggut darinya dengan paksa sungguh membuat Inu hampir hilang arah karena kecewa.

"Setelah ini, kita akan pindah ke pekan baru. Kakak ingin memulai sesuatu yang baru, dari awal dan hanya kita berdua Nu."sambung Nuwa mencoba menjelaskan dengan derai yang menyertainya.

Inu mengganggukkan kepalanya dua kali, ia beranjak dan duduk di atas kasur. Meringkuk dan menangis perlahan. Ada alasan yang enggan diutarakan kakaknya. Alasan kenapa Inu harus berhenti dari bangku kuliah yang telah dua semester ia lalui. Inu ingin sekali mengetahuinya tapi ia tahu pasti itu adalah hal yang sia-sia. Nuwa adalah seorang yang ketika ia tidak ingin maka sampai kapanpun ia tidak ingin.

____________

Nuwa POV

Bagaimana rasanya ketika adik satu-stunya yang sedang merajut mimpi malah aku putuskan secara tiba-tiba rajutannya. Aku paham betul, ia sangat kecewa. Matanya saja enggan beradu, tidak berani dan ingin lari saja. Entah mengasingkan diri atau menenggelamkan diri ke lautan paling dasar di bumi penuh sandiwara ini.

Dalam beberapa minggu terakhir telah aku usahkan tapi tetap saja semesta tidak mengizinkan. Lamaran ditolak, interview yang kacau, masalah lingkungan tempat tinggal yang selalu saja meracau. Berbagai jalan rencana telah dicoba tapi tetap saja membawaku pada kegagalan. Hingga pada akhirnya aku putuskan untuk memberhentikan Inu. Niatnya sementara tapi sepertinya akan selamanya.

Aku perhatikan ia tersedu sedan. Matanya sembab, aku pun demikian. Aku mencoba memeluknya, tidak lama setelah itu tangisnya kembali pecah suaranya pun lirih. Seperti ingin menumpahkan lautan yang menggenang hingga ia kering kerontang. Saat seperti ini, mengingatkan ku pada kejadian tiga tahun lalu. Ibu dan bapak pergi untuk selamanya, mereka menitipkan Inu agar terus ku jaga dan ku sekolahkan setinggi yang kubisa tapi kali ini aku tidak bisa. Mereka jelas kecewa.

_____________

Sudah dua jam mereka menangis untuk mencoba menerima kenyataan dan berdamai dengan keadaan. Mereka terlihat lelah tapi saling menguatkan. Nuwa yang selalu merapalkan kata maaf dalam hatinya, Inu yang sudah kosong pandangannya. Tiba-tiba suara dering panggilan masuk mengagetkan mereka. Panggilan itu dari handphone milik Inu.

"Iya Ngga, kenapa?"jawab Inu.

Inu mencoba mengusap air matanya.

"Sore ini? Dimana?"

"Iya, aku bisa Ngga."

Sekitar tiga menit mereka berbincang dan Inu langsung mengiyakan. Lingga mengajak Inu untuk bertemu di Malioboro sore ini. Inu tidak ingin tahu kenapa Lingga bisa menghubunginya disaat seperti ini. Inu kembali lagi mencoba membenarkan sesuatu yang salah dan itu tidak akan pernah menjadi benar. Ia membenarkan kalau Lingga adalah orang yang telah dikirim Tuhan untuk mengobati rasa sedihnya dan untuk mendengarkan ceritanya. Sekali ini ia akan percaya. Akan ia tumpahkan segala resah dan rasa.

INI CERITA INUWhere stories live. Discover now