Jingga yang Merona

15 4 7
                                    

Kata orang jatuh cinta memang memabukkan dan membutakan. Kalau dipikir-pikir sangat berbahaya sekali, ya?. Ada juga yang bilang kalau jatuh cinta itu seperti menemukan oase di padang pasir, sungguh mengembirakan.

Terlepas dari kemungkinan patah hati, orang-orang yang meninggikan cinta diatas segalanya selalu berupaya agar cinta itu tetap penuh tanpa berkurang sedikitpun. Namun, kadangkala upaya tak selamanya berhasil, akan selalu ada gagal pada setiap hal yang diperjuangkan ‘kan. Itu mutlak pasti terjadi. Karena jalan tidak selamanya lurus, bunga tak selamnya mekar dan kumbang tak selamanya hidup.

“Ngga, dimana sih…”gumam Inu yang mulai khawatir.

Mata sembab itu selalu mengawasi sekelilingnya. Mencari-cari sosok yang ditunggunya sedari jam empat sore ini, sekarang waktu telah satu jam berlalu. Apa jangan-jangan Lingga lupa kalau ada janji. ‘Tapi yang mengajak ingin betemu kan Lingga, masa iya dia lupa’. Pikirannya sibuk berdiskusi. Tiba-tiba ada notif pesan.

Nu, bentar lagi aku otw. Tungguin ya, aku ketiduran.”

Agaknya Lingga memang sengaja untuk datang terlambat dan membiarkan Inu menunggu sedikit lebih lama. Rasa yang tadinya bahagia mulai terasa getir di hati Inu. Lagi-lagi ia menepisnya. Membenarkan kalau hal tersebut tidak apa-apa. Sekalipun Lingga tidak datang untuk menjumpainya. ‘kan terlihat bahwa cinta yang salah terkadang bisa menggelapkan mata.

Sembari menunggu Lingga, ia memesan segelas teh. Oh iya, Inu sudah berada di kafe tempat mereka janjian. Kafe yang tidak terlalu ramai. Suasananya tenang, musik klasik yang ntah apa namanya mengalun dan mendayu-dayu dalam ruangan. Menambah kenyaman. Setelah pesanannya sampai, ia sesap perlahan sambil menghirup aroma teh hijau yang menenangkan.

Kelihatannya diluar langit sangat bagus, oranye keemasaan. Ia tidak sabar ingin bertemu. Ingin mengobrol dan berbagi cerita yang membayangkannya saja Inu sudah senyum-senyum sendiri. Ah payah. Harapan memang bisa membuat seorang bergairah untuk mencapainya. Namun jika terlalu tinggi maka sulit untuk diambil kembali ketika harapan itu mengingkari, tidak sesuai ekspetasi.

“Permisi, mbak mau pesan apalagi?”tanya seorang pegawai di kafe itu.

“Maaf  mbak, nanti saya pesan lagi, masih nunggu temen belum nyampe”jawab Inu yang diiringi dengan senyum ramah miliknya.

Adzan maghrib hampir menggema, mengajak kaum muslimin untuk bertemu dan mengadu pada-Nya. Tapi, Lingga juga belum muncul menampakkan batang hidungnya. Menunggu benar-benar membuat Inu lelah. Ia memberanikan diri untuk bertanya melalui pesan singkat perihal dimana keberadaan Lingga.

“Ngga kamu dimana? Aku masih nunggu ditempat kita janjian. Kamu gapapa kan?.”

Sekitar sepuluh menit berlalu sejak ia mengirimkan pesan itu, tidak ada jawaban. Guratan kecewa nampak jelas pada muka lelah Inu. Ini namanya sudah jatuh tertimpa tangga pula. Persetan dengan itu semua, ia memutuskan untuk pulang. Ia tidak habis pikir, kenapa Lingga hilang bak ditelan bumi seperti ini. Meninggalkan tanya yang entah apa jawabannya.

“Assalamu’alaikum, kak.”sapa Inu dari depan pintu kamar kostnya.

“Wa’alaikumsalam.”Nuwa menyambutnya dari dalam kamar.

“Lho kok udah pulang, udah ketemunya?”sambung Nuwa lagi.

“Inu gerah banget kak, mau mandi dulu ya.”jawab Inu yang nampak menghindari Nuwa.

INI CERITA INUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang