Nuwa

35 6 4
                                    

Tutt...tutt...tutt...

Sudah ketiga kalinya handphone Inu bergetar yang menandakan ada panggilan masuk. Sang pemilik untuk ketiga kalinya pula tidak menghiraukannya. Sampai pada panggilan keenam, Inu memutuskan untuk menjawabnya. Entah sudah beberapa hari belakangan ini ia tidak begitu peduli dengan handphonenya, ia sekarang hanya sedang menarik diri dari dunia fana yang mengisi handphone tersebut.

"Hah! kakak serius udah di Jogja? Kenapa nggak bilang. Tau gitu aku beres-beres dulu kak"jawabnya terperanjat ketika mendengar berita itu. Ada-ada saja, batinnya.

Setelah menutup panggilan teleponnya, Ia kembali merebahkan badan ke kasur ternyamannya. Setidaknya untuk sekarang mana tahu kalau besok mungkin kasurnya akan menjadi suatu tempat dengan sejuta kenyamanan tapi hanya bisa dikenang. Ia menghadap langit-langit kamar, samar-samar pula wajah Lingga muncul lagi dalam ingatannya. Segera Inu menepisnya, ingatan itu juga membawa seperangkat harapan yang juga ditolak mentah-mentah olehnya. Soalnya sakit tapi jawabannya tidak tahu. Huh.

Inu kemudian beranjak, mengumpulkan niat sebanyak dan seikhlas mungkin tentunya. Ia mulai membersihkan kamarnya, Inu tidak ingin kena semprot kakaknya Nuwa yang galak tapi sebenarnya mempunyai hati yang baik. Secara gamblangnya, perawakan dan mulutnya saja yang galak. Nuwa adalah sosok satu-satunya yang menjadi penopang hidup Inu. Ya, mereka hanya hidup berdua lagi untuk menyusuri dan membuat cerita di dunia ini. Orang tua mereka sudah tiga tahun yang lalu meninggalkan keduanya untuk selamanya. Inu meminta untuk tidak terlalu menceritakan secara detail masalah ini, katanya biarlah mereka tenang dan mendapat tempat yang layak di sisi Tuhan saja itu sudah lebih dari cukup.

Tutt..tutt...tutt...

"Iya kak?"

"Oh... kamarku yang nomer 3 dari tangga sebelah kiri"Inu lagi-lagi heran. Kakaknya sudah di depan kostannya.

Selang beberapa menit ada orang yang mengetuk pintu kamarnya. Inu bergegas untuk membuka dan menyauti salamnya.

"Haaaa kak Nuwa, aku kangen banget"Inu setengah berteriak dan menghamburkan pelukan pada kakaknya.

"Kakak juga, kamu kok kurusan gini sih, ga makan kamu? Apa makan mie instan mulu?"

"Ih nggak penting, masuk dulu kenapa kak, baru juga sampe udah ngomel aja"

"Kamu masak nggak? Kakak laper..."

Inu meletakkan koper berukuran sedang milik kakaknya di samping tempat tidurnya. Lalu ia menuju tempat penyimpanan rahasiaya.

"Duh, Mie ku habis kak. Aku nggak masak."

Akhirnya mereka memutuskan untuk ke warteg di dekat tempat tinggal Inu, jaraknya sekitar dua puluh meter dari rumah bu Willa tempat langganan Inu beli mie instan. Mereka duduk berhadapan, sengaja duduk di pojok warteg biar lebih tenang dan lama ketika menikmati yang tersedia.

"Gimana kuliah kamu?"Nuwa mulai buka suara.

"Sejauh ini aman kak."jawab Inu yang terkesan asal dalam menjawab.

"Aman gimana?"

"Ya gitu kak. Kalo ada tugas aku kerjain kalo ada ujian aku jawab."

"Oh gitu..."

"Seneng nggak sih kamu kuliah?"sambung Nuwa.

"Duh pertanyaan kakak nggak ada yang lain apa?"

"Kakak serius lho nanyanya."

"Iyalah seneng."jawab Inu ketus.

Sekitar satu setengah jam mereka lalui untuk menghabiskan makanan dan sambil mengobrol ringan. Sepertinya Nuwa membawa energi positif untuk Inu, ia bisa melupakan rasa sakit yang dialami beberapa waktu lalu. Sakit yang tidak menimbulkan demam tapi bisa menghilangkan nafsu makan. Bener kan?

INI CERITA INUDonde viven las historias. Descúbrelo ahora