Pena

57 8 0
                                    

  Malam adalah tempat luka bersemayam, pagi adalah tempat lain untuk berusaha kalahkan duka, lalu ketika sore tiba, ia merupakan dunia lain yang entah mengapa sederet luka yang membilur sementara hilang tidak mengingatnya.
Sore itu, Awan sedang menulis buku catatan pribadinya, berdua bersama kursi besi bercat putih yang mulai mengelupas. Pada sebuah sudut lain temannya bercerita menunggu waktu untuk melambai tenggelam. Awan tak pernah merasa sendiri ketika menulis ditempat itu. Ia selalu merasa ditemani meski orang lain melihat raganya terduduk sendiri.
  Temaram tiba sebagai sesuatu yang dibenci Awan, karena ia harus kembali mengais luka, berusaha terlihat ceria didepan bapak ibunya  ketika tiba di rumah.

"Assalamualaikum, bu?" suara dari luar rumah.
"Wa'alaikumsalam, kemana aja Rimbawan, baru sampe di rumah jam segini?"
"Mata kuliah hari ini banyak bu, maafin Awan ya." tukas Awan.
"Yaudah, gih sana bersih-bersih terus sholat abis itu makan ya." Jawab ibu yang baru saja ia bohongi.
"Iya" jawab Awan singkat.
 
  Awan segera melaksanakan apa yang baru saja ibunya perintahkan. Awan bukan lelaki yang terlalu jauh dari agama, semasa SMP dia pernah di pesantren kan, hanya mengecap 2 tahun di dunia santri setelah ia dan keluarga harus pindah ke kota Bandung untuk mengisi rumah sepeninggalan nenek, yaitu ibu dari bapak.   Bersama malam, Awan hanya menatap langit-langit kamar yang bersawang membosankan.
Karena luka tidak serta merta sembuh seketika,  butuh waktu kemudian pengganti dari orang lama yang kenangnya menggerogot hati.
Terbesit dalam pikirnya, ia ingin membuat sebuah buku Antologi Puisi. Lukanya harus jadi sebuah karya,  bukan bentuk balas dendam sebenarnya, hanya saja ia butuh sesuatu semacam teman waktu untuk membalut duka.
  
   Segera ia mengambil gawainya untuk menghubungi pustakawan di tempat kuliahnya. 'Pak Retno' tertera nama kontak pada layar digenggaman. Awan hanya meninggalkan pesan singkat melalui aplikasi yang disebut WA.

"Pak, buku tentang puisi."
"Besok saya ke perpus."

   Ia tak sungkan meminta pada pustakawan yang sebenarnya lebih dewasa dari dirinya sendiri. Pasalnya mereka berdua sering mengobrol santai seperti dua orang teman, tentu ketika Awan tidak sedang sibuk mata pelajaran kuliahnya.

                              * * *
   Awan segera menyantap sarapan yang dibuatkan ibunya tadi pagi, kemudian lekas pamit setelah mendapat balasan pesan dari Pak Retno.

  "Siang ini ambil, sore bapak harus pulang lebih awal!"

Ia tak ingin terlambat masuk mata pelajaran kuliahnya pagi ini. Karena ketika terlambat Bu Anggun sebagai staff kedisiplinan mahasiswa di kampus tidak segan-segan menghukumnya hingga sore tiba.
Terlambat memang suatu kesalahan yang tak dapat ditolerir dilingkungan mahasiswa, bahkan seharusnya di semua lapisan masyarakat Indonesia. Untuk mencapai suatu tujuan, rasanya terlambat adalah problema serius yang menghancurkan tujuan yang sedang didaki.

Pagi ini Awan masuk kelas dengan mata pelajaran yang tak ia sukai, Perpajakan, pikirnya ia hanya bicara dan menghitung uang yang rupanya pun tidak didepan mata. Pardi, teman dekatnya pun sudah tidak asing melihat kawannya yang bermuka masam ketika dihadapkan mata kuliah perpajakan.

"Wan, udah pasrah aja, mulai terima." canda Pardi
"Begini ya, Supardi. Dengan menerima dan mulai belajar memang sebuah awal baik. Tapi ketika kita tidak mau hal tersebut dalam pikiran kita apa harus selalu dipaksakan. S,.. "
Belum sempat melanjutkan Pardi sudah menjawab.
"Segala yang dipaksakan itu tidak baik."  Awan hanya terkekeh mendengarnya.
Tak lama Pak Anton tiba di kelas,

"Selamat pagi"
"Pagi pak" terdengar hanya beberapa saja yang menyahut sapaan datar Pak Anton. Dan Pak Anton tidak mempedulikan itu, ia hanya ingin segera memulai kelasnya.
Dengan pasrah Awan mengikuti pelajaran Pak Anton.
                        
                                * * *
Awan harus segera ke perpustakaan segera, belum melangkah ia menawarkan ajakan pada temannya, Pardi.

"Mau ikut gak, ke perpustakaan biar tambah pinter." ajakan Awan untuk menarik minat Pardi
"Ngga, gua mau langsung balik ke kost." Jawab Pardi yang sedang membereskan bukunya.
"Yaudah" Awan pun tampak tak peduli.

  Ketika tiba di perpustakaan ia berjalan menuju meja tempat biasa Pak Retno duduk didepan komputernya.

"Wan.?" tanya Pak Retno yang baru saja tiba menjinjing plastik kecil, tampak sebungkus nasi padang yang ia beli dari kantin.
"Eh Pak Bro, mau makan pak?" tanya Awan menyemu kan rasa kagetnya.
"Iya, eh itu bukunya sebelah komputer bapak."

Siap. Jawaban Awan membendung antusiasnya. Ia sempat ingin mengobrol santai sebentar dengan Pak Retno, tetapi bukankah tidak sopan mengajak ngobrol seseorang selagi makan, pula ada pepatah 'mengobrol sembari makan itu tidak baik'. Lekas ia duduk disebuah kursi mengecek buku yang baru saja ia dapat. Awan hilang  sadar bahwa ada sosok lain didepannya, tempat ia duduk. Ia hanya sibuk mencari pena dalam tas sampai-sampai tak peduli sekitar. Lalu, satu tarikan suara menghentikan keributan tangan yang bukan main.

  "Maaf, ada yang bisa saya bantu?"
Segera Awan menghadap pada sosok yang menawarkan bantuan tersebut. Tak berkata-kata untuk beberapa saat.

Kini ia hanya ingin mengetahui apa yang terjadi pada dirinya, bukan pada penanya yang entah kemana.
Ia berpikir mengapa purnama datang tidak berproses, mengapa bunga mekar tak perlu bertunas, mengapa pula bahagia sesekali tak perlu diusahakan. Ya, Awan merasa ada setitik bahagia dalam dada ketika melihat sosok perempuan yang baru saja menawarkan bantuan padanya. Beberapa saat Awan baru tersadar dari lamunan jenaknya.

"Oh,iya saya lagi cari pena, mungkin ketinggalan tadi di kelas karna terburu-buru"
"Bentar."  jawab perempuan itu singkat.
"Aku ada beberapa,coba pake dulu yang ini." Lanjutnya.

Tampak pena bermotif kartun
Doraemon yang ia tawarkan, dan Awan tidak peduli ia hanya membalas tawaran perempuan itu. Lalu.

"Makasih ya, nanti dikembaliin ko."

Betapa untuk tau, kita hanya perlu hal sederhana sebagai perantara, lalu sabar dan sadar, kemudian ikhlas dan membalas. Bahwa luka pun akan terganti dengan bahagia yang datangnya dari sebuah pena.

Pada 1/3 MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang