Renjana

32 5 0
                                    

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Awan berniat untuk mengembalikan pena yang dipinjamnya. Dan atas nama kagum sebagai awal dari rasa yang mulai tumbuh, Awan membuatkan sebuah sajak untuk diberikan bersama dengan pena pada perempuan itu.

"Bu, Awan berangkat dulu ya." Ungkap Awan pada ibunya untuk berpamit pergi.

"Iya hati-hati Wan." Balas sang Ibu yang sedang sibuk di ruang dapur entah sedang melakukan apa.

Sudah lama sekali rasanya Awan tak meminta maaf pada ibunya.
Sebuah kebiasaan yang telah terlupa olehnya, sebuah ritual yang saling mengikat antara Ibu dan sang putra.

Ya, Awan hanya lebih dekat dengan ibu yang sudah tak lagi muda itu. Dan Bapak, sesekali ia berbagi cerita sewaktu muda yang hobi mendaki gunung, ia juga memberi alasan mengapa menamai anaknya yang berhubungan dengan itu. Nama putranya misal. 'Daksa Rimbawan'
ia berkata bahwa 'Daksa' adalah tubuh dan 'Rimbawan' adalah jiwa rimba,lalu adiknya 'Nabastala Putri' ia artikan sebagai langit yang tidak pernah lepas dari kehidupan semua makhluk.

Dan tetap, baginya Ibu adalah anugerah dan doa-doa yang tidak terputus rantainya.
Lalu diam-diam Awan kembali ke ruang dapur

"Maafkan Awan yang banyak salah sama Ibu.  Ibu adalah energi positif yang tak kan pernah habis buat Awan." Ungkap Awan sembari memeluk Ibunya dari belakang.

"Terima kasih sudah peduli sama ibu Wan, setiap langkah kamu adalah tiap kata dari doa pada 1/3 malam yang ditengadahkan." Lirih Ibunya yang tengah sembunyikan derai air dipelupuk mata.

Awan lalu mencium tangan Ibunya setelah itu. Dan Ibunya tidak sadar, diam-diam putranya pun sedang sekuat tenaga sembunyikan tangis.
Sebuah energi terisi penuh secara instan yang hanya didapat dari sang Ibu. Ia tahu ada orangtua yang harus ia bahagiakan dihari tuanya kelak.

Meski sekeras apapun usahanya membahagiakan, pengorbanan Ibu padanya tak kan pernah sepadan.

                            * * *
Awan tiba di Parkiran lingkungan Universitasnya, lalu memarkirkan motor tua klasik yang  diwariskan bapak padanya.
Dari kejauhan Pak Darma penjaga lahan parkir yang tengah berposisi hormat ke arahnya, tepatnya penghormatan untuk motor klasik tua itu.

"Udah pak udaah. Hehe." Tutur Awan sembari membuka helmnya.

"Oh udah, ngomong-ngomong mau dijual berapa duit motornya Wan."
Ungkap Pak Darmo yang tampaknya tertarik pada motor tua klasik itu.

"Not for sale pak. Lagian motor kaya gini lagi naik daun lagi di era sekarang pak." Jelas Awan sembari berjalan meninggalkan motornya.

"Yah. yaudah Wan, tapi kalo nanti mau dijual calling ke bapak ya." Balas Pak Darmo lalu kembali meniup peluitnya.

Awan meng-iya kan dalam hati, sekarang ia hanya ingin mencari pemilik pena dan berniat mengembalikan benda tersebut pada pemiliknya hari ini.

"Hei, kamu. Daksa Rimbawan kan?" Tanya gadis berjilbab dari belakangnya, tapi gadis itu tampaknya bukan gadis berjilbab yang ia temui beberapa waktu lalu menolongnya di perpustakaan.

"Iya, maaf siapa ya?" Balas Awan kebingungan.
"Saya Halifatunajwa, Fakultas Ilmu Kedokteran. Satu fakultas sama Hasbi." Terang gadis itu padanya.

Tetapi, Awan masih tampak kebingungan dari penjelasan gadis tersebut. Ia tidak mengetahui maksud dari gadis ini apa, dan dari mana ia mengetahui namanya. Lalu Hasbi, siapa Hasbi yang disebutnya.

"Hallo, salam kenal. Iya saya Daksa Rimbawan, panggil saja Awan. Ada perlu apa?" Ungkap Awan menggali kebingungannya.

"Oiya, panggil aku Najwa. Jadi gini, si Hasbi minta tolong buat nyari partner tugas dari dosennya. Aku kira kamu cocok jadi partner tugasnya itu setelah kemarin aku tahu banyak hal soal kamu dari Pak Retno." jelasnya.

Beberapa pertanyaan bermunculan lalu bertemali dalam isi kepala lelaki itu.

"Kenapa harus saya, kan beda fakultas." Balas Awan semakin kebingungan.

"Kata dia beda fakultas juga gak apa-apa, tadinya aku ditunjuk soal tugas ini, tapi aku tolak karena aku juga banyak kesibukan lain." Jelasnya sembari menulis sesuatu di secarik kertas.

"Kalo gitu..," Belum sempat ia melanjutkan kalimatnya, gadis itu memberi secarik kertas berisi sebaris nomor telepon.

"Nomor handphone Hasbi. Atau kalau kamu mau ketemu langsung kami biasanya ke perpustakaan setelah jam kuliah." Potong Najwa lalu meninggalkan sebaris nomor di secarik kertas, segumpal tanya dalam kepala, sesuatu yang harus dicari dan dipecahkan sendiri oleh lelaki itu.

                               * * *
"Hasbi. Assalamualaikum." Seru Najwa sembari memeluknya.

"Apa Najwa, Waalaikumsalam." Jawab Hasbi yang tampak bahagia pula dengan senyum simpulnya.

Ada sebuah kabar yang akan disampaikan oleh Najwa. Tapi entah itu kabar baik atau sebaliknya perihal tugas itu. Terkadang apa yang baik menurut kita adalah cerita lain dalam sudut pandang orang kebanyakan.

"Aku udah nemu, partner buat temenin kamu nugas. Tapi laki-laki, gimana.?" Ungkap Najwa padanya.

"Ya ampun Najwaaa. . Kenapa harus laki-laki, emang perempuan gak ada?"
Seru Hasbi setengah kaget mendengar ucapan Najwa.

"Aku udah cari dan nanya banyak perempuan soal itu. Tapi mereka gak tertarik, mereka semua bukan diri kamu yang belum tertarik sama lelaki. Mungkin akan beda cerita ketika yang membutuhkan bantuan adalah lelaki dan kecantikan kamu itu ditukar dengan ketampanan." Tandas Najwa pada Hasbi yang tampaknya ia akan melanjutkan bicaranya.

"This man is kind Bi, aku udah tanya banyak tentang lelaki ini ke Pak Retno, katanya dia juga sering ke perpustakaan buat nulis sesuatu entah apa. Dan aku udah kasih tau dia buat temuin kita di perpustakaan selepas jam kuliah siang nanti." Lanjut Najwa pada Hasbi.

Dan Hasbi hanya meng-iya kan ucapan temannya tanpa banyak bicara lagi. Sepertinya itu sebagai bentuk menghargai dari yang apa temannya usahakan pada dirinya.

"Yaudah iya, kita mau terus ngobrol disini apa mau ke kelas nih." Tutur Hasbi sembari membenarkan tas gendong kecilnya.

"Eh iyaa dong lupa. Ayo." Balas Najwa.
Dan keduanya mulai berjalan menyusuri lorong menuju kelasnya.

Di sepanjang jalan Najwa hanya berbincang perihal lelaki yang ia temui untuk partner tugas temannya itu. Ia bercerita bahwa lelaki itu tampak biasa saja, namun ada karisma lain yang menarik hati siapapun ketika berbicara dengannya.
Ia berlesung pipi dan alis hitam tebal kecil menyamping.  Dan dari cerita Pak Retno terkadang ia berkacamata ketika sedang menulis sesuatu di perpustakaan. Dan Satu lagi,  lelaki itu memiliki rambut ikal seleher yang mencuri perhatian Najwa.

Menyimak penjelasan fisik itu,  Hasbi mulai bertanya-tanya. Apakah mungkin lelaki itu adalah lelaki yang ditemuinya di perpustakaan beberapa waktu lalu.

"Namanya siapa?" Tanya Hasbi dengan binar mata menyembunyikan tanya dalam pikirnya.

"Daksa Rimbawan." Jawab Najwa singkat.

Hasbi berhenti dari langkahnya, nama yang baru saja didengarnya, adalah nama yang ia lihat dan dibacanya dari cover buku catatan seorang laki-laki yang ia pinjamkan pena di perpustakaan.

"Kamu serius namanya Daksa Rimbawan?" Hasbi bertanya kembali untuk memastikan.

"Kenapa, kok kaget. Udah tau orangnya?" Najwa bertanya balik.

Hasbi tampak hanya terdiam setelah mendengar ucapan itu. Ia tak mau Najwa tahu soal kejadian di perpustakaan.

"Gak apa-apa, ayo masuk kelas."
Tandas Hasbi menutup pembicaraan.

Beberapa pertanyaan mulai muncul bertemali dalam pikiran Hasbi.
Dan tentu ia akan ikut Najwa menemui lelaki itu selepas jam kuliah.

Semua keadaan adalah misteri yang memiliki titik balik dalam sudut-sudut isi semesta.

Beberapa peristiwa adalah pohon dari setumpuk rencana tuhan yang mencabangkan pikiran, berdahan spekulatif lalu mengkelakari akal, berdaunkan sugesti sana-sini suci kotor setiap manusia.

Hasbi sedang menunggu waktu untuk itu, pertemuannya mungkin telah digariskan, tapi bercerita soal bersama adalah urusan lain dalam tindak tanduk manusia.

Pada 1/3 MalamWhere stories live. Discover now