Bilur

25 0 0
                                    

Malam terasa begitu panjang dalam sisa-sisa lelap tidur Harsya. Hanin dan Sandra terpaksa pamit lebih dulu pada Arda yang tengah sibuk dengan handphone digenggamannya.

Tatapan simpati terpancar dari mata
Hanin kala itu, sebegini menyiksa kah mencuri perhatian Harsya. Bukankah dulu dirinya pernah menyatakan suka, apa perasaan lelaki memang mudah sekali berubah. Tidak ada yang salah, Hanin pun merasa bodoh pernah acuh dan tidak peduli saat Harsya mulai menyelipkan rasa suka.

"Da, bilang ke Harsya aku pamit pulang. Besok kalo dia sudah bangun." Ucap Hanin pada Arda.

Hanya 'oke' jawaban singkat Arda. Ia terlalu sibuk dengan dunianya.

Banyak dari kita terlambat sadar, banyak dari kita terlambat sabar, sampai lupa hal-hal kecil berharga dari orang yang peduli, kita anggap sebagai nomor sekian. Saat itu, yang kita nomor satukan hanya ego kita.
Harsya tidak pernah salah, ia benar telah mencoba untuk tidak peduli lagi dengan perempuan itu.

****

"Da, Arda. Anterin ke Stasiun, gua mau berangkat ." Pinta Harsya pada temannya yang sedang asyik terlelap tidur karena terjaga semalaman.

Suara dan omelan Harsya hanya gigitan semut kecil pada Arda yang sedang tidur dengan nyaman.
Tampaknya orang itu akan tidur sampai kantuknya terkuras habis.

'Si Arda kayaknya gabisa nganter, sekarang mending buat rencana kemana gua harus pergi.' Gumam lelaki itu dalam hatinya.

Harsya yang tidak pikir panjang langsung bergegas dan meninggalkan sepucuk kertas.
' makasih udah kasih gua tempat istirahat Ar.

-Harsya Winata '

Harsya tidak punya waktu untuk terlalu lama nyaman di rumah temannya itu. Ada tempat yang harus ia singgahi untuk sekedar mendapat sedikit cerita, berbagi cerita, dan membuat cerita. Mungkin disanalah dirinya tumbuh, merengkuh sisa-sisa lebam dirinya dimasa lalu.

Alih-alih berjalan cepat dipinggir alun-alun Dago, Harsya dikejutkan sesuatu.

' kamu mau kemana?, tempat kamu di Bandung Sya. '

sebuah pesan masuk dari ponsel Harsya, dan pesan itu dari Hanin.

' aku hanya dilahirkan di tempat ini, tapi semua yang aku inginkan bukan disini. ' Tegas lelaki itu pada Hanin.

' Kamu belum habis menyelami seluruh isi tempat ini. Tapi apapun keputusanmu, jangan lupa berpulang. '
Jawaban Hanin yang menyentak kehendak Harsya.

Harsya tidak membalas pesan itu, ia tak mau terbawa suasana yang disediakan oleh Hanin. Perasaannya dapat berubah jika ia terus membalas pesan demi pesan dengan perempuan itu.

' Maaf pernah tidak peduli, aku juga gak tau kenapa perihal rasa, bisa seterlambat ini. Tapi mau kembali atau tidak, Bandung dan aku masih tetap ada.' Satu pesan kembali tiba di ponsel Harsya.

' Sudah lalu, kamu sudah sadar aja aku seneng. Tapi situasinya beda sekarang, aku bukan dulu yang siap mengejar, bukan dulu yang masih peduli. Yang kamu kenal sekarang adalah sebenar-benarnya aku Hanin.
Makasih banyak. ' Jelas Harsya dalam ketukan ibu jari di layar ponselnya.

Pesan itu terkirim, segera dirinya mematikan ponsel itu. Ia harus tiba di stasiun secepat mungkin.
Kebetulan, sebuah taksi sedang terparkir disekitar alun-alun.

"Mang, Stasiun Bandung," Pinta Harsya pada sopir yang sedang istirahat itu.

"Mangga," Sopir taksi Bandung kembali menjawab dengan logat Sunda yang khas.

Suasana Bandung tak jauh beda dari Jakarta, ia tidak mau ke kota dengan suasana dan keadaan yang masih sama dengan tempat asalnya. Kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur menarik perhatiannya.
'Malang, mungkin disana aku harus mulai tumbuh, mengisi album baru dengan kesegaran pedesaan Jawa.' Tutur Harsya dalam hatinya.

''Tos sampe A,." Ucap sopir taksi yang telah selesai mengantar penumpangnya.
"Oh tos dugi mang, mangga ieu ongkosna." Harsya memberikan uang pas sesuai jumlah jarak tempuh rupiah permeter di dalam layar taksi itu.

Suara ramai stasiun kota ditengah sayup hujan terasa saat itu, beriringan dengan samar suara kereta dikejauhan yang sebentar lagi tiba. Harsya harus segera memesan tiket untuk ke Malang.
Sialnya dirinya tidak bisa langsung ke kota tujuannya, Harsya harus pergi dahulu ke Stasiun Gambir di Jakarta,lalu kemudian melanjutkan perjalanan ke Malang.
"Ya udah saya pesan tiket ke Jakarta aja mba." Ucapnya pada petugas loket stasiun.

"Baik,..." Sahut petugas loket yang tampak seusia dengannya.

Beberapa saat kemudian, tiket itu segera digenggamnya dan mulai memasuki area rel kereta. Berbekal kamera DSLR dan sejumlah uang, Harsya harap bisa bertahan hidup selama yang ia bisa.
Setelah satu dua kali jepretan kamera mengisi waktu menunggu kereta tiba, mesin panjang roda besi itu akhirnya datang menyapa kerumunan penumpang.
Beberapa saat kemudian mesin itu kembali melaju, Harsya terduduk lega dalam kereta. Ia harus segera mengecek hasil jepretannya.

* * * *
Drrrtt drrrtt, getar handphone Arda tanda pesan masuk dari seseorang.

"Arda, kamu tau ga kemana Harsya pergi.?" Lagi - lagi Hanin mencoba mencari tahu kemana lelaki itu pergi.

Arda yang setengah sadar setelah memuaskan kantuknya membalas pesan.
"NGga tau Nin, ... "
"Gua baru bangun soalnya." Pesan kedua dari Arda.

Pesan dari Arda hanya dibacanya, sedikitpun Arda tidak tahu menahu perihal kepergian Harsya, sudah dipastikan menghubungi Arda hanya membuang-buang waktu.

Urusan apa Hanin mencari tahu kemana pergi lelaki yang sudah tidak peduli padanya, apa perasaannya telah tumbuh berkuasa seiring rasa sesal yang semakin besar pula, sekarang dirinya bukan perempuan yang dulu Harsya idamkan. Ia terlambat.

"Hanin, aku mau kasih sesuatu sama kamu." Ucap Harsya kala itu, tampak sebuket coklat ukuran sedang ditawarkannya.
Dan Hanin sudah pasti menolak tawaran. Kendati dirinya menyukai coklat, tapi dirinya tidak menyukai siapa yang memberikan pemberian itu.

Dilain kesempatan
"Hanin, ini ada surat. Gak tau dari siapa." Ungkap Harsya pura-pura seolah bukan dirinya yang menulis surat itu.
"Oke." Jawaban singkat itu menjelaskan semuanya. Dirinya tak mau berurusan dengan pria bodoh seperti Harsya. Padahal, selalu ada kemudian untuk setiap yang sekarang. Hari ini dia jijik dengan Harsya, padahal kemudian yang sedang hari ini terjadi, dirinya begitu kehilangan Harsya.

Dilain waktu
"Aku suka sama kamu, tapi aku gak peduli perihal apapun perasaan kamu ke aku. " Tutur Harsya waktu itu,
"Aku juga tau kamu sudah punya pacar, tapi. Justru yang selalu ada yang biasa - biasa saja bukan? Yang kamu spesial kan itu hanya ada saat kamu sedang tidak butuh bantuan. Makasih ya, aku banyak belajar. Dikemudian hari aku akan jauh berbeda dari yang kamu kenal."

Siluet-siluet itu datang silih berganti pada pandangan kosong Hanin. Sekarang, ruang pikir itu penuh dengan album ketamakannya pada sosok tulus Harsya.

Entah berapa lama waktu untuk sembuh dengan mengais sisa sesal yang semakin tumbuh. Hijau taman warni bunga tidak mampu menyelamatkan hatinya dari rasa bersalah yang semakin padat utuh. Hanin pulang sembari menghitung estimasi berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk dirinya melupakan.

Bunyi ponsel memecah suasana.

"Hanin apakabar. Gimana, masih kuliah di Bandung? " Sebuah pesan masuk, nama yang sudah tidak asing. Teman lama yang dahulu pindah kota dari Bandung.
Tertera sebaris nama Hasbi Salsabila.

Lalu kekakuan berganti jadi sebuah tanya jawab dalam ruang chatt ponsel Hanin pun Hasbi. Dari saling bertanya kabar, kelanjutan pendidikan, keadaan sekitar. Kecuali hal intens perihal orang terdekat, rasanya terlalu sedini itu mereka untuk mengetahui satu sama lain.



























Terima kasih, vote dan share.
Silahkan kritik dan saran dikolom komentar,














Salam hangat,
Penulis









Pada 1/3 MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang