05 Apa Lagi?!"Ketika dinilai buruk, lantas... apakah saya harus merekam semua kebaikan saya?"
-Muhammad Rusyidan Sabilulhaq
SUARA guntur dan petir yang menyambar membuat langkahku melaju semakin cepat begitu saja. Ini semua salahku karena terlalu sering menyia-yiakan waktu, sudah paham bahwa sebentar lagi akan turun hujan, kenapa lebih memilih untuk berkeliling masjid hingga lantai atas daripada bergegas pulang? Bodoh.
"Awww!" dengan sejera aku pun melihat kearah bawah, untung saja tidak berdarah.
Kaki yang semula baik-baik sajapun harus terkilir akibat kecerobohanku yang enggan berhati-hati ketika menuruni sebuah anak tangga. Terasa ngilu dan terdapat sensasi sedikit sakit ketika digunakan untuk berjalan. Bagaimana ini, apakah masih ada harapan pulang untukku?
Dengan perlahan namun pasti, aku tetap mencoba memaksa berjalan hingga sampai didepan masjid, dan segera memakai sepatu yang semula sudah kuraih dari sebuah rak-rakan sepatu yang tersedia. Beruntung aja tadi aku masih sempat memikirkan hal ini, bagaimana jika tidak? Maka sudah dipastikan aku hanya memiliki dua pilihan, pulang dengan kondisi kaki yang tidak beralas atau menggunakan sepatu yang sudah basah kuyub.
Sebuah percikan air hujan yang semula menetes dan membasahi wajah juga seluruh tubuhku yang sedang berjongkok memakai sepatu harus berhenti begitu saja. Dengan segera akupun mendongak dan menemukan seseorang berpakaian formal tengah mencondongkan sebuah payung berwarna hitam dari belakang menuju arah depan. Apa yang sedang pria ini lakukan, apakah di mengikutiku?
Dengan gerakan cepat akupun segera mengaitkan simpul tali sepatu yang sempat terhenti dan segera beranjak. "Bapak ngapain?" resahku ketika sudah merasa terganggu.
Seperti biasa Pria itu hanya diam sembari menyerahkan sebuah payung yang semula berada digenggamannya kepadaku dan melepas sebuah jas yang semula ia kenakan. "Cepat masuk kedalam mobil saya, sebelum hujan semakin deras," ucapnya kemudian berlalu begitu saja dan melindungi sebagian tubuh agar tidak terkena guyuran air hujan menggunakan benda yang taksiran-ku memiliki harga fantastis ketika tidak sengaja melihat logo jas tersebut.
Sebenarnya apa yang dia lakukan, apakah tidak dapat membedakan mana sebuah gerimis dan hujan besar sungguhan? Kenapa lebih memilih untuk memberikan benda tersebut kepadaku kemudian berhujan-hujanan, apakah dia tidak takut sakit, atau sebuah perasaan bersalah yang masih menghantui dirinya hingga berbuat baik seperti ini?
Setelah membuka pintu mobil dan memasukinya, pandangan yang pertamakali kutangkap adalah pria tersebut yang sedang menggurai rambu yang sedikit basah akibat terkena tetesan air hujan menggunakan tangan sebelah kiri dengan lengan kemeja berwarna putih yang sudah terlipat hingga batas siku. Dengan punggung tangan yang sedikit menampakkan sebuah uraturat kecil semakin membuatnya tampak dingin dimataku.
Sejenak terpaku, akupun segera tersadar dan menyerahkan sebuah benda berwarna hitam ditangan yang sebelumnya sudah dilipat. "Payungnya Pak makasih," ucapku dengan tergesagesa meletakannya diarah bangku belakang.
Sepertinya sebuah istighfar benar-benar harus aku lambungkan malam ini, bagaimana bisa aku memandang sesuatu yang bahkan terbilang begitu haram dan berakibat sebuah dosa besar untukku. "Bapak kok dikunci? Khaira kan mau pulang!" protesku ketika mendapati sebuah tuas yang digunakan untuk membuka pintu sudah terkunci otomatis. Siapa penyebabnya? Tentu saja seorang pria yang berada tebat dibalik kemudi.
KAMU SEDANG MEMBACA
KHAIRA
Teen FictionJika semua orang mengira bahwa sebuah kehidupan itu adalah hal terkejam dalam dirinya, maka semua itu adalah sebuah kesalahan terbesar. Berusaha, ber-do'a, dan berserah diri hanyalah tugas manusia sebagai seorang hamba pada Tuhan-nya. Seperti kehidu...