OUR SERENDIPITY 07

1.3K 182 35
                                    


.


When love feels like magic, you call it destiny

When destiny has a sense of humor, you call it serendipity


.


Para undangan sudah hadir di kebun belakang. Kursi-kursi kayu berhias pita satin, rapi bersusun di kanan-kiri jalan setapak menuju altar berkanopi dengan dekorasi penuh bunga.

Prosesi mengucap sumpah di hadapan pendeta berjalan lancar, dan ketika keduanya resmi disahkan, Mark tidak segan lagi untuk mengecup Jaemin di hadapan para hadirin. Tepuk tangan dan siulan heboh menggema, saat keduanya berjalan beriring taburan bunga, juga memasang wajah paling bahagia di dunia.

"Kalian tahu?" Felix berujar sewaktu para sahabat sekaligus pendamping mempelai berkumpul menikmati hidangan dan sampanye bernaung rimbun pepohonan. "Awalnya Nana ingin buket bunga dan dekorasi pesta mereka menggunakan donat dan cokelat. Kalian bisa bayangkan itu?"

"Pfft, ciri khas Nana sekali." Lucas mendengus geli. "Kita mungkin bakal menggunakan kostum makanan kalau itu benar-benar terjadi, hahaha..." dia tertawa ketika bayangan teman-temannya berkostum ala karakter makanan melintas dalam kepala. Jeno jadi jalapeno, Hangyul jadi bungkus ramyun, Felix mungkin jadi nanas (?) dan Haechan pakai kostum paha ayam-well, karena dia memang terlihat sungguh menggiurkan...

Renjun ikut tertawa mendengar kalimat para sahabat di antara riuh suasana. Selagi mereka sibuk berdebat mengenai kostum dan segala hal absurd yang malah ada di luar pembahasan awal, Renjun mencuri pandang ke arah Jeno yang duduk di sebelahnya.

"Apa ada sesuatu di wajahku?" Sampanye diteguk elegan, sementara Jeno bertanya pada pemuda mungil yang sejak tadi tidak berhenti memperhatikannya.

Sendok puding segera diletakkan, Renjun hanya menggeleng pelan. "Tidak ada apa-apa." Bibir maju beberapa mili, sementara jantungnya lagi-lagi berulah di luar perintah. Makhluk macam Lee Jeno memang tidak boleh dibiarkan bebas berkeliaran. Dia bisa membuat manusia lemah macam Renjun terkena serangan jantung tanpa sempat ada peringatan.

Alis Jeno terangkat. Baginya, mudah sekali untuk membaca bahasa tubuh Renjun. Ia menunduk, kemudian berbisik serak di sebelah telinga berhias tindik rubi. "Renjunie yakin?" Satu senyum puas mengembang ketika mendapati rona merah muda segar memenuhi kedua pipi.

Walau mereka terpisah oleh jarak Seoul-Jeju, namun kemajuan teknologi sangat membantu membangun hubungan di antara keduanya. Aplikasi chat dan video call hampir setiap saat digunakan hanya untuk sekadar menanyakan kabar atau kegiatan harian. Jika ada waktu luang, mereka akan bergantian mengunjungi kediaman masing-masing dan menghabiskan satu hari bersama sampai rindu mereka terpuaskan.

"Ah..." mendadak Jeno teringat akan sesuatu. Jemarinya meraih sejumput rambut milik Renjun, lalu menyelipkannya di belakang telinga. Ia segera berbisik lagi, kali ini dengan sepenuh hati. "Menyaksikan mereka yang menikah pasti membuat galau Renjunie. Tapi... bersabarlah sebentar, tunggu sampai dirimu masuk dalam silsilah keluarga kami bulan depan, ya?" Pelipis Renjun kemudian dikecup penuh sayang olehnya.

Kalimat tadi sempat dicerna lambat. Saat sadar kalau ia sebenarnya tengah digoda, Renjun menjawab dengan sedikit tergagap. "A-apa?! Dasar Lee Jeno menyebalkan!"

Kilau lingkaran platina berhias sebutir berlian di jari manis Renjun adalah pengikat di antara mereka. Petualangan Jeno mencari pendamping hidup ternyata berakhir pada sosok yang tidak pernah ia duga. Semuanya berjalan mulus seakan sudah matang terencana.

Our SerendipityWhere stories live. Discover now