37

494 30 0
                                    

Iva Pov

Aku kembali ke kampus setelah kondisiku cukup baik, tentunya Dian selalu menjaga dan menemaniku. Dian tetap menjadi sahabat terbaik meski sebelumnya aku sempat merebut Khail darinya.

"Dian, kenapa mata kuliah Candra ganti dosen?" Tanyaku begitu melihat dosen baru

"Aku juga gatau, selama seminggu kemarin aku skip kan jagain kamu." Tutur Dian

"Aku harus ke kantor jurusan." Aku mengacung dan izin keluar kelas. Dian menghela nafasnya melihat tingkahku yang terburu-buru.

"Permisi." Sapaku begitu aku memasuki kantor jurusan.

"Boleh tanya, apa ada pak Candra?" Tanyaku langsung.

"Candra sudah digantikan sama Roni, ia pindah ke Jerman karna mendapat tawaran mengajar di sana." Jawab penjaga di kantor jurusan. Tak terasa air mataku jatuh, rasanya sesak sekali mendengar jawaban ini.

"Kamu gapapa?" Tanya pria itu lagi. Aku menggeleng.

Tanpa pikir panjang aku langsung memesan ojek untuk menuju kantor NamPic. Sejujurnya aku masih takut menemui Ansel. Ingatan terakhirku tentang pria itu sangat menyakiti hatiku. Tapi, aku kesini hanya ingin menanyakan tentang Candra.

"Hey, Iva, kemana aja?" Ka Wanda memelukku.

"Boleh aku ketemu ka Ansel?" Tanyaku buru-buru.

"Va, maaf ya.. Ansel sudah keluar dari NamPic, dia pergi ke Hollywood untuk melanjutkan karirnya." Jawab Wanda. Aku memeluk Wanda erat, menangis di bahu milik gadis itu.

"Kenapa mereka ninggalin aku?" Lirihku.

Wanda mengelus punggungku, "aku tau semua ceritanya. Menurut Ansel, ini jalan terbaik supaya kamu hidup bahagia." Ucapnya.

"Kamu sudah menikahi pria itu?" Tanya Wanda lagi. Aku menggeleng.

"Terimakasih, kak." Aku tak menjawab apapun dan memilih kembali ke kosan. Mengurung diri seharian di kamarku.

"Iva!" Itu suara Dian, ia menggedor pintu kamarku secara terus menerus, tapi aku tak berniat untuk membukanya.

"Aku udah tau tentang Candra, lalu gimana Ansel?" Ia berusaha menenangkanku, tapi kenyataan justru membuatku semakin sakit.

"Iva! Kau bisa hubungi mereka, kan?" Tanya Dian lagi. Aku tak menghiraukannya sama sekali sampai aku tertidur.

Keesokan harinya, Dian kembali menggedor pintu kamarku. Tapi kali ini, aku membukanya. Aku langsung memeluk Dian yang berdiri di depanku.

"Iva, jangan begini terus. Kau harus makan, inget bayimu." Tutur Dian, ia mengelus perutku seolah mengingatkan sebuah nyawa yang bergantung padaku.

"Dian, aku bahkan gatau ini anak siapa." Tuturku lirih

"Pak Candra dan Kak Ansel, mereka mau bertanggung jawab, kau hanya perlu hubungi mereka." tutur Dian

Aku buru2 merebut ponsel Dian, menghapus kontak dua pria itu di ponselnya.

"jangan pernah hubungi mereka. Aku malu, dan juga tidak mau mereka atau siapapun memaksaku menggugurkan bayi ini." lirihku

"Iva.."

"Dian, tolong rahasiakan ini dari siapapun, kumohon. Biar kau dan Khail serta pak Candra dan kak Ansel saja yang tau ini." pintaku

"Iva, tenanglah, aku juga bakal bantu rawat anakmu." Dian lagi-lagi menguatkanku. Gadis itu kini mengusap pipiku yang penuh air mata.

"Sekarang hiduplah ke depan, biarkan masa lalumu berlalu." Ucapnya lagi.

Aku tersentak dengan kata-kata itu, aku tau aku harus terus bertahan hidup demi anakku. Kali ini, aku tidak mau anak keduaku harus merenggut nyawa.

Sejak saat itu, aku kembali hidup seperti biasa, menyelesaikan kuliah, serta berusaha hidup sehat dengan rahasia besar. Pikiranku selalu kacau setiap harinya, perasaanku hancur, tapi aku bisa menguatkan diri agar tak terlihat seperti itu. Sampai masalah baru lagi-lagi muncul di hidupku.

"Dian, uangku menipis." Aku mengakuinya.

"Pulanglah ke ibumu, Va." Pinta Dian. Aku merenung sesaat. "Besarnya perutmu bisa disembunyikan dengan berbagai cara, tapi usia kandunganmu tidak bisa ditutupi. Kamu butuh banyak biaya, terutama untuk melahirkan." Lanjutnya

Saat ini kandunganku sudah menginjak 4 bulan, dan aku selalu bertahan untuk itu.

"Aku harus cari kerja." Tuturku.

"Kamu lagi hamil, Va. Kasian janinmu kalau kamu kerja." Dian menolak saranku.

"Aku gabisa pulang ke rumah ibu.. dan aku gapapa kok, aku bisa cari kerja yang ga terlalu berat." Aku tetap pada pendirianku.

Kenyataannya, mencari pekerjaan di kota besar seperti tempatku saat ini tidak semudah mencari angkutan umum. Aku sudah melamar ke toko buku, toko baju, resto, sampai minimarket pun semuanya menolakku. Di kota ini, mahasiswa atau pelajar memang tidak diperbolehkan bekerja. Apalagi wanita hamil. Aku sudah berusaha menutupi kehamilanku, tapi tentu tidak bisa menutupi status mahasiswaku.

Sampai aku terpaku ketika melewati sebuah jalan yang tak asing. Jalan yang ramai oleh orang-orang yang hendak menghilangkan beban mereka. Sebuah pub ternama yang pernah kukunjungi bersama Candra. Di luar jendela ditulis jika mereka membutuhkan pegawai perempuan. 

Sesaat aku berpikir apa ini tempat yang tepat untukku? Tapi aku tidak bisa banyak berpikir, karna keadaan sedang mendorong pengorbananku.

"Permisi." Sapaku

"Aduh mbak, tapi pub ini baru buka pukul 9 malam nanti, masih 2 jam lagi." Tutur seorang satpam pria

"Aku mau ngelamar kerja." Jawabku cepat.

Sesaat dia melihatku dari atas sampai bawah, dan mengangguk2 entah apa maksudnya.

"Yaudah saya anter ketemu sama hrdnya." Ia mengajakku menuju sebuah ruangan.

"Ada apa?" Seorang pria membukakan pintu dan melirikku. "Siapa?" Tanyanya padaku.

"Oh ini pak, dia mau ngelamar kerja." Jelas satpam itu.

"Sedang ada owner di ruangan saya, jadi nanti lagi aja." Pria itu menutup kembali pintunya dengan cukup keras.

"Maaf ya, kamu bisa nunggu kok." Pegawai tadi mengajakku kembali ke ruang depan.

"Tunggu." Tutur seorang pria.

"Pak.." pegawai tadi membungkuk hormat, aku mengikutinya dengan ragu.

"Kamu pacarnya Candra kan?" Tanya pria itu padaku. Aku menautkan dahiku bingung

"Ayo ngobrol di ruanganku." Pria itu lantas menarikku ke lantai atas menuju ruang khusus kerjanya.

***

SUGAR DADDY SYNDROMEWhere stories live. Discover now