S e b e l a s

39 10 1
                                    

Bintangnya juseyooooo

🥀

Sudah berapa hari lewat sejak pertemuannya dengan gadis di taman. Itu pun hanya sebentar dikarenakan sang gadis pingsan entah karena apa.
Kamal ingat, ia langsung membopong sang gadis lalu berlari secepat mungkin. Pandangan-pandangan yang mengintimidasi tak luput dalam usahanya membawa sang gadis. Bukannya menolong atau menanyakan sebab, mereka hanya menonton saja.

Sempat ia putus asa namun tak jadi karena ada orang yang sangat baik menawarkan tumpangan untuknya. Dan berlalu cepat menuju rumah sakit terdekat. Di tengah kekalutannya, ia masih sempat melihat wajah tak bersalah dari sang gadis. Wajah itu terlihat baik-baik saja walaupun keadaannya sangat berbalik.

Sesampainya di sana ia tetap bingung. Manakala melihat keramaian yang lain di rumah sakit. Orang-orang berlalu lalang terlalu banyak. Dari kejauhan seorang suster tergopoh-gopoh menghampirinya—melihat gadis yang dibopongnya dan membawa mereka ke suatu tempat yang entah Kamal lupa namanya.

Lalu selesai di situ saja. Melihat sang gadis yang raib di balik pintu, dan dirinya membeku untuk berapa saat. Dirinya seperti ditelan kebingungan yang luar biasa. Tangannya bergetar hebat, perutnya mual. Aneh sekali padahal ia tak pernah seperti ini. Segera Kamal mencari tempat duduk untuk menenangkan diri. Dilihatnya kerumunan di rumah sakit yang sudah menurun sedikit. Hanya beberapa orang tua yang duduk di sana tanpa ditemani siapa pun.

Kamal menghela nafas, mencoba menenangkan dirinya. Ia lalu memutuskan untuk pergi saja dari sini. Toh, ia tak kenal siapa sang gadis dan tidak punya uang jika dimintai tagihan konsultasi atau apapun itu. Tapi sepertinya hal baik belum benar-benar menyertai dirinya.

Naik apa dia untuk sampai ke rumah?

Ia mendengus, menertawakan kebodohannya hari itu. Sudahlah tidak membawa uang. Ponsel pun tak punya. Orang yang membawa mereka tadi pun sudah tak ada lagi wujudnya. Entah kemana.

Ia putuskan untuk jalan kaki saja. Perihal jauh atau tidaknya biarlah. Toh, misal ia pingsan di jalan akan ada orang baik yang akan membopongnya. Mungkin?

Suara klakson mobil mengalihkan perhatiannya dari jalanan. Di sampingnya sebuah mobil berhenti dengan seorang lelaki yang duduk di kursi kemudi. Ia menatap orang itu dengan tatapan asing.

"Butuh tumpangan?" Tawarnya. Kamal mengernyit bingung.

"Tenang, saya bukan rentenir atau semacamnya. Melihat lelaki tampan berjalan sendiri di siang hari gini, nanti diculik tante-tante," lanjutnya. Sambil tertawa jenaka. Meskipun lawakannya tidaklah lucu bagi Kamal.

Ia membuka pintu mobil dalam diam. Dan memasang sabuk pengaman pada dirinya. Setelah itu lelaki tadi langsung melajukan mobilnya. Di perjalanan mereka saling diam, tak tau harus membuka kata yang mana. Di sini Kamal hanya sibuk bermonolog dalam hati, berapa kali menanyakan betapa bodohnya diri.

Sementara sang lelaki berlesung pipi juga diam. Mungkin ia bingung juga harus berbicara apa. Atau lebih tepatnya menunggu sang adam berbicara.

"Terimakasih atas tumpangannya." Benar kan? Akhirnya ia akan bicara juga.

"Sama-sama," jawab sang lelaki sekenanya. Tak lupa senyum manis yang menampilkan kedua lesung pipi yang dalam.

"Tapi saya lupa jalan ke rumah," Kamal bercicit pelan. Sang lelaki kembali tersenyum sembari menyahut.

"Saya tau rumah kamu."

"Hah?" Kamal terkejut namun ekspresinya terlalu pelit untuk ditampilkan.

"Sebelum itu perkenalkan. Saya Choi Soobin, ah.... Tolonglah. Menggelikan sekali menggunakan bahasa formal," kekehnya pelan. Sekaligus membuat Kamal kembali berfikir keras.

Like a Poem •Hueningkai•(Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang