Delapan : Petualangan Bersama Wadi

361 58 1
                                    

| Chapter 8 |

"Lho, kok kamu bisa ada di sini?!"

Caya tersenyum lebar. Melambaikan tangannya dengan antusias. "Hai, Wadi!"

Bingung, Wadi menatap sekitar. Orang-orang masih sibuk memukul batu besar, sebagian ada yang sedang memindahkannya ke gerobak kayu. Wadi tampak seperti biasa-kumal dan banyak cemong hitam di wajah.

"Ayo, ikut saya." Wadi langsung menarik tangan Caya. Membawa gadis itu untuk bersembunhi dulu sebelum ketahuan para bangsawan. Langkahnya terlihat waspada setiap kali ada warga pribumi yang melihatnya.

"Sudah saya bilang, jangan main-main di tempat tadi. Kamu nggak mendengarkan apa yang saya bilang, ya?" ujar Wadi begitu mereka sudah berada balik pohon besar.

Caya mengangkat kedua alisnya. "Kamu juga nggak ngedengerin apa yang aku bilang," balas Caya tak mau kalah.

"Apa maksudnya?"

"Udah aku bilang 'kan, jangan terlalu formal. Biasa aja dong, 'kan kita udah jadi bestfriend." Caya merangkul pundak Wadi sembari tertawa.

"Formal itu apa?" tanya Wadi. Matanya mengerjap polos. "Dan tadi apa kata kamu? Befren? Apa itu befren?"

Tangan Caya menjauh perlahan. Tiba-tiba saja otaknya memaksa keras untuk berpikir. "Formal itu semacam ... kayak terikat sama peraturan. Nah, kalau dalam bahasa, biasanya kata 'saya' itu termasuk formal. Jadi -ah, gimana, ya jelasinnya."

"Saya mengerti penjelasan kamu," sahut Wadi.

"Tuh, kamu masih ngomong formal begitu. Nggak enak tau didengernya. Coba deh pakai bahasa 'gue-lo' biar keren." Caya menaik-turunkan alisnya sambil melipat tangan di depan dada.

Wadi menggelengkan kepalanya. "Orang-orang di sini biasa bicara bahasa daerah atau bahasa yang kamu sebut formal itu."

Bola mata Caya berputar. Lama-lama lelah juga menjelaskan hal seperti ini pada Wadi. Namun, anehnya ia ingin terus bersama laki-laki ini.

"Lalu, befren itu apa? Bahasa manusia di masa depan aneh-aneh, ya?"

Tuh 'kan, sekarang Cayara malah merasa kesal dan gemas di saat yang bersamaan. Wajah polos yang ditunjukkan Wadi membuat Caya ingin mencubit pipi penuh cemong hitam itu. Andai saja Wadi itu adalah adiknya.

Punggung Caya bersandar pada batang pohon. Matanya menatap lurus pada bongkahan kayu besar beberapa meter di depannya. Ia menarik napas lebih dulu sebelum menjelaskan. "Bukan befren, tapi bestfriend. Bestfriend itu kayak temen deket. Bisa dibilang sahabat gitu deh. Sekarang kamu ngerti, 'kan?"

Wadi mengangguk dengan wajah yang terlihat masih kebingungan. Melihat itu, Caya terkekeh. Caya mengibaskan tangannya ke depan wajah Wadi hingga membuat laki-laki itu agak terkejut.

Perhatian Caya teralihkan oleh suara gaduh yang timbul dari balik semak-semak. Ia bertatapan dengan Wadi sejenak, lalu melangkah ke arah suara tersebut. Suara gaduh itu terdengar seperti dua orang yang tengah saling melawan menggunakan benda yang besar dan berat.

Dugaan Caya benar. Ada dua orang-pria. Yang satu memakai pakaian kumuh yang memiliki lubang di beberapa sisi, yang satunya lagi memakai setelan seragam berwarna navy lengkap dengan aksesoris berwarna emas yang menghiasi.

The Lost History; Indonesia [Book 1]✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora