Dua Belas : Memandang

287 54 1
                                    

Hai👋

Sebenarnya aku update cerita ini nggak nentu🙃
Waktu itu emang seminggu satu kali, tapi sekarang kadang seminggu sekaligus dua chapter.

Gitu aja sih, ahaha.
Aku tau yang minat genre historical-fiction itu jarang banget, makanya di sini aku mix sama unsur-unsur kekinian. LoL

Misalnya aja dengan nama dari karakter di sini dan penyebutan 'gue-lo' yang aku pakai. Aku juga berusaha buat nunjukkin komedi ringan dengan hadirnya Aka (adik gumush-nya Cayara) dan Gean (si mata biru yg jago ngomong Sunda).

Oh ya, sebelumnya maaf untuk pengucapan Bahasa Sunda yang kayaknya agak kasar di sini. Karena jujur, aku nggak terlalu jago bahasa itu walaupun aku asli orang Sunda wkakakak.

And last, happy reading!
Lov u all❤

———

| Chapter 12 |

Caya berdeham. Jari telunjuknya menggaruk pipi, padahal tidak gatal. Kepalanya merunduk, tidak berani menatap Wadi yang tersenyum cerah di depannya.

“Saya harus ke kebun untuk membantu Emak. Apa tidak apa-apa kalau hari ini sampai sini saja?” kata Wadi. Agak memiringkan kepalanya untuk melihat wajah Caya. “Kayara?”

“Eh, ya, nggak apa-apa. Lagian aku harus balik ke tempatku, sekarang –ya, sekarang, hehe.” Caya merutuk dalam hati karena sikapnya yang tiba-tiba seperti ini. Entahlah, ia sendiri merasa aneh setelah mendengar Wadi yang mengatakan bahwa Caya adalah milik Wadi. “Kalau gitu, sana kamu pergi duluan.”

Wadi mengangguk polos. “Baiklah, saya pamit lebih dulu. Sampai jumpa lain waktu, Kayara! Hati-hati!”

Caya membalas lambaian Wadi dengan kaku. Setelah Wadi benar-benar sudah tak terlihat olehnya, ia langsung berjongkok sambil menutupi wajah menggunakan dua tangan. Kepolosan Wadi itu memang alami, tidak dibuat-buat atau berlebihan. Tetapi, karena kepolosannya itu, Caya menjadi tak karuan seperti ini.

Ingin rasanya Caya menukar Aka dengan Wadi. Mungkin akan seru juga saat melihat Aka yang kelimpungan dengan semua yang ada di masa lalu. Caya saja tidak bisa memakai pompa air, apalagi Aka. Bahkan sepertinya Aka pun tidak tahu nama benda satu itu.

Sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga, Caya berdiri. Bosan, ia mulai melangkah menelusuri jalan yang masih berupa tanah. Sebenarnya Caya masih ingin menikmati suasana di sini, melihat-lihat apa yang belum pernah dilihatnya di masa depan.

Ada untungnya juga tidak bisa dilihat oleh orang-orang, selain Wadi tentunya. Caya merasa bebas. Tidak perlu takut tertembak atau dipukuli massa karena berpakaian berbeda dari orang-orang di sekitarnya sekarang. Rumah gubuk tampak mendominasi daripada rumah yang terbuat dari batu bata dan beratap genting. Semuanya berdiri di sepanjang jalan.

Langkah Caya terhenti di tengah-tengah jalan. Bahunya mengendur, tapi sorot matanya malah menatap datar. Beberapa meter di depannya, terdapat sekumpulan anak-anak yang sedang bermain permainan tradisional. Semua tampak biasa saja—mereka bermain dengan ceria.

Namun, ada seorang perempuan yang membuat Caya terdiam di tempat. Sepertinya sudah remaja, cantik dengan rambut pirang bergelombang yang menjuntai hingga punggung. Tubuhnya tertutupi oleh sebuah gaun biru redup selutut yang bagian bawahnya mengembang. Kaki jenjangnya pun seperti memakai stoking dan sepasang sepatu berhak kecil.

Gaunnya dipenuhi hiasan rumit yang sulit dijelaskan bentuknya. Ada yang bergelombang horizontal, bahkan ada corak-corak aneh berwarna putih. Di atas kepalanya terpasang topi yang memiliki warna sama dengan gaunnya. Iris matanya seperti Gean—sewarna batu safir yang begitu indah. Warna kulitnya terlihat pucat.

The Lost History; Indonesia [Book 1]✔Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon